Luar Biasa, Memaafkan Tanpa Mendendam ala Nabi Yusuf AS

Marahnya sudah mentok, tidak bisa memaafkan lagi. Ini adalah gambaran umum pada diri seseorang jika marah. Terlebih pada kasus yang menyakitkan. jika ditilik dari sisi ilmu psikologi, kemarahan bisa menjadi emosi yang sangat kuat yang ditandai dengan perasaan permusuhan, agitasi, frustrasi, dan antagonisme terhadap orang lain.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Mei 2023, 10:30 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2023, 10:30 WIB
Ilustrasi maaf-maafan (Foto: iStock)
Ilustrasi maaf-maafan (Foto: iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Marahnya sudah mentok, tidak bisa memaafkan lagi. Ini adalah gambaran umum pada diri seseorang jika marah. Terlebih pada kasus yang menyakitkan.

jika ditilik dari sisi ilmu psikologi, kemarahan bisa menjadi emosi yang sangat kuat yang ditandai dengan perasaan permusuhan, agitasi, frustrasi, dan antagonisme terhadap orang lain.

Kemarahan bisa menjadi masalah jika berlebihan atau diungkapkan dengan cara yang tidak sehat, berbahaya, atau merugikan orang lain. Marah yang tidak terkendali dapat dengan cepat berubah menjadi agresi, pelecehan, atau kekerasan.

Lalu, pertanyaannya, dapatkah Anda bayangkan bila satu ketika Anda disakiti oleh seseorang atau bahkan oleh saudara sendiri dengan perilaku yang begitu menyakitkan dan bahkan hampir menghilangkan nyawa Anda, mampukah Anda memaafkan kesalahannya?

Atas kezaliman yang sedemikian rupa dapatkah Anda memaafkan kesalahannya tanpa menyisakan rasa dendam sedikitpun dalam hati Anda, dan bahkan setelah itu Anda tetap bersahabat dan bersaudara secara baik dengannya?

Kisah Nabi Yusuf AS ini barangkali bisa menjadi contoh, bagaimana seseorang memaafkan dan dendam.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Nabi Yusuf AS Korban Kezaliman Luar Biasa

Memaafkan yang dalam bahasa Arab disebut ‘afwun dan pelakunya disebut al-‘âfî berasal dari kata ‘afâ – ya‘fû semakna dengan kata mahâ – yamhû – mahwûn yang berarti menghapus (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab–Indonesia [Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1997], hal. 1302).

Orang yang memberi maaf tidak sekadar mengucapkan kata maaf belaka, namun juga disertai rasa keridhaan, keikhlasan, dan tidak mendendam.

Dalam Al-Qur’an, melalui kisah Nabi Yusuf, seperti dinukil dari nu.or.id telah menggambarkan dan mengajarkan bagaimana semestinya seseorang memberikan maaf kepada orang yang menyalahinya dan kemudian kembali bersahabat sebagaimana mestinya.

Sebagaimana telah dipahami bersama bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis salâm adalah korban kezaliman luar biasa yang dilakukan oleh saudara-saudara kandungnya sendiri karena merasa tidak diperlakukan sama baiknya oleh orang tua. Mereka dengan sengaja bermaksud menyingkirkan Yusuf dengan memasukkannya ke dalam sumur.

Sebelumnya bahkan mereka menyiksa Yusuf terlebih dahulu dan tak menghiraukan permintaan tolongnya. Perjalanan kehidupan berikutnya dilalui oleh Yusuf dengan berbagai cobaan yang tak ringan.

Ia sempat menjadi budak yang diperjualbelikan di pasar budak hingga dipenjara atas sebuah tuduhan satu tindakan tak bermoral yang tak pernah ia lakukan. Pada gilirannya Nabi Yusuf menjadi seorang pejabat penting di Mesir.

Ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar di negerinya. Ia menentukan banyak kebijakan publik bagi bangsanya. Dan pada saat posisinya yang begitu kuat ini Allah menunjukkan kemuliaan dan kebesaran hati Nabi Yusuf.

 

Nabi Yusuf AS Memberi Maaf Tanpa Dendam

Saudara-saudara Nabi Yusuf yang dulu telah membuangnya beberapa kali datang ke Mesir untuk satu keperluan kebutuhan hidup. Mereka diterima langsung oleh Nabi Yusuf namun tak mengenalinya karena menyangka Yusuf telah meninggal di dasar sumur itu.

Pada akhirnya mereka mengenali bahwa pejabat negara yang selama ini mereka datangi dan membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah orang yang dahulu pernah mereka singkirkan secara aniaya.

Kini mereka telah mengetahui dan mengakui bahwa Allah lebih memberikan kemuliaan kepada Yusuf dari pada kepada mereka. Yusuf telah menjadi orang penting, terpandang dan mulia. Dan kini di hadapan Nabi Yusuf mereka mengakui kesalahan dan dosa-dosanya.

Sebagai seorang pejabat yang memiliki kekuasaan dan sangat berpengaruh pada saat itu semestinya Nabi Yusuf memiliki kesempatan dan kemampuan untuk membalas dan memberikan hukuman yang berat bagi saudara-saudaranya.

Saat itu bisa saja Nabi Yusuf membalas dendam atas apa yang dilakukan oleh mereka kepadanya. Namun itu semuanya tak dilakukan olehnya. Pada saat seperti itu kemuliaan akhlaknya justru menuntunnya untuk berbesar dan berlapang hati mengucapkan satu kalimat:

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ

Artinya: “Tak ada celaan bagi kalian di hari ini, semoga Allah mengampuni kalian.” (QS. Yusuf: 92).

Ada dua hal yang disampaikan Nabi Yusuf dengan kalimat tersebut. Pertama, dengan kalimat “tak ada celaan bagi kalian di hari ini” Nabi Yusuf ingin menegaskan bahwa ia memberikan maaf kepada saudara-saudaranya tanpa ada rasa dendam di dalam hatinya. Ia benar-benar telah memaafkan mereka dengan menghapus semua kesalahan dari ingatan dan hatinya.

Ia tak ingin mencela, mencemooh dan bahkan mengecam orang-orang yang telah menyengsarakannya, bahkan hampir saja menghilangkan nyawanya. Imam al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’âlimut Tanzîl (2016:500) menuliskan penafsiran kalimat itu dengan “tak ada kecaman bagi kalian pada hari ini dan aku tidak akan menyebut-nyebut dosa kalian setelah hari ini.”

 

Nabi Yusuf AS Selain Memaafkan juga Memohonkan Ampunan

Sementara Az-Zujaj sebagaimana dikutip Al-Qurtubi dalam Al-Jâmi li Ahkâmil Qur’ân (2010, V:232) menafsirkan “tak ada perusakan terhadap kehormatan dan persaudaraan di antara aku dan kalian”.

Kedua, Nabi Yusuf AS tidak saja memaafkan para saudaranya dan membebaskan mereka dari celaan dan kecaman di kehidupan dunia ini, dengan kalimat “semoga Allah mengampuni kalian” Nabi Yusuf juga menginginkan mereka diampuni oleh Allah atas dosa-dosanya sehingga kelak di akhirat pun mereka terbebas dari siksaan.

Tidak sekadar itu, pada ayat berikutnya Nabi Yusuf juga meminta para saudaranya untuk kembali lagi datang ke mesir dengan membawa serta semua anggota keluarga besar mereka; istri dan anak-anak mereka. Inilah pemberian maaf yang sesungguhnya yang diajarkan Al-Qur’an melalui kisah Nabi Yusuf. Memaafkan tidak hanya sekadar mengucapkan kata maaf belaka namun jauh di dalam hatinya masih menyimpan dendam.

Memberi maaf mesti dibarengi dengan sikap tidak akan mencemooh, menista, mencela, mengecam dan bahkan sekadar mengingat dan membicarakan kesalahan pelakunya.

Ini pula yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika beliau dengan kaum muslimin menaklukan Kota Makkah. Ketika beliau memegang kedua tiang pintu ka’bah beliau menyeru dan bertanya kepada kaum Quraisy, “Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan pada kalian, wahai kaum Quraisy?”

Mereka menjawab, “Engkau akan lakukan kebaikan kepada kami. Engkau saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia. Dan engkau telah mampu melakukan itu.” Rasulullah menimpali, “Pada hari ini akan aku katakan apa yang dikatakan oleh saudaraku Yusuf, lâ tatsrîba ‘alaikumul yauma, di hari ini tak ada kecaman bagi kalian.” Mendengar apa yang disampaikan oleh Rasulullah itu sahabat Umar bin Khattab merasa sangat malu sekali hingga mengucur keringatnya. Ini dikarenakan sebelumnya ia sangat ingin sekali membalas apa-apa yang telah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy kepada kaum muslimin, namun ternyata Rasulullah menyatakan sikap yang begitu mulia; memaafkan tanpa ada dendam. Wallâhu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya