Liputan6.com, Kediri - Penceramah muda NU, Muhammad Iqdam Kholid atau Gus Iqdam membagikan kisah menarik selama dirinya nyantri di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri.
Selain itu, dia juga menceritakan kisah sedihnya saat gurunya wafat.
Advertisement
Baca Juga
Namun dengan wafatnya gurunya, justru menjadi salah satu sebab ia memperoleh hidayah. Sebab sebelumnya, berdasarkan penuturannya, dia enggan menimba ilmu di pondok pesantren.
Bahkan niat awal dirinya bersedia nyantri bukan karena ingin memperdalam ilmu agama, akan tetapi agar dibelikan sepeda motor.
Sepeninggal gurunya, ia merasakan kesedihan yang luar biasa. Hal ini juga yang pada akhirnya menyadarkannya dari kekeliruannya.
Tulisan ini akan mengisahkan perjalanan Gus Iqdam selama menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso dan hidayah yang diperoleh lantaran wafatnya seorang guru.
Simak Video Pilihan Ini:
Belum Betah
Selama menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Gus Iqdam tidak langsung betah dan nyaman. Ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa beradaptasi dengan kultur di pesantren tersebut.
“1 tahun, 2 tahun, dua setengah tahun itu belum ada perubahan. Ngaji belum tertarik, cita-cita masih sepeda motor. Dulu saya begitu,” kisahnya, dikutip dari tayangan YouTube Pengajian Gus Baha, Kamis (05/10).
Namun setelah 3 tahun terakhir, ia baru merasakan bahwa isyarat mimpi kakaknya, Gus Dalhar dulu itu memang benar.
“Ternyata luar biasanya apa, isyarah Gus Dalhar dalam mimpinya itu benar-benar terwujud ketika saya sudah mondok 3 tahun,” tuturnya.
Advertisement
Sedih Sebab Gurunya Wafat
Ia menceritakan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun itu, ada kejadian menyedihkan yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya, yakni meninggalnya KH Munif Djazuli. Kepergian KH Munif ini menyisakan duka yang mendalam di hatinya.
“Singkat cerita, 3 tahun terakhir, Mbah Yai Munif sakit dan meninggal dunia. Mbah Yai Munif meninggal kok perasaan saya aneh, tiba-tiba galau. Saya tidak tahu tiba-tiba perasaan saya susah dan menyesal dan perasaan bersalah lainnya,” katanya.
Kemudian, sembari diliputi rasa sedih, ia ikut santri lainnya mempersiapkan pemakaman Mbah Yai Munif ini.
“Di situ saya lari, saya ikut bersih-bersih. Jadi Mbah Yai saya itu antik luar biasa. Calon tempat pemakamannya saja keluarganya dan santri-santrinya saja tidak ada yang tahu. Baru menjelang wafatnya baru pesan ingin dimakamkan di mana, dalam situasi yang serba mendadak ini akhirnya para santri bekerja sama,” kenang Gus Iqdam.
Takut Tidak Memperoleh Keberkahan
Sepeninggal Mbah Yai Munif, kesedihannya tak kunjung hilang. Gus Iqdam menceritakan kesedihannya kepada kakaknya Gus Dalhar. Dengan meminjam handphone milik temannya ia segera menghubungi kakaknya.
“Mas, aku ini bagaimana kalau tidak mendapatkan keberkahan?” ucapnya kepada kakaknya.
“Gus Dalhar paling kaget sebab ketika itu saya tidak ingin pinter, tidak ingin ngaji kok tiba-tiba bilang keberkahan,” kata Gus Iqdam
“Aku kalau mondok di sini tidak berkah bagaimana mas, kalau sampai tidak jadi orang bagaimana, mas?” kisah Gus Iqdam ketika menelpon kakaknya sembari menahan tangis.
Dengan tenang Gus Dalhar menyarankan untuk silaturahmi kepada dzuriyahnya, yakni putra-putranya.
“Sudah tidak apa-apa, besok saya temani menemui putra-putranya, sudah saya mau bilang ke ibu besok ketika pulang saya anter menemui putra-putranya Mbah Yai Munif minta restunya,” saran Gus Dalhar sebagaimana diceritakan Gus Iqdam.
Advertisement
Memperoleh Hidayah
Gus Iqdam menceritakan sejak kepergiannya KH Munif Djazuli, tidak ada keinginan lagi untuk memiliki sepeda motor dan lainnya.
“Sejak itulah pak, apa ini yang disebut hidayah, tiba-tiba keinginan saya, ingin motor, ingin apa itu semuanya hilang. Keinginan saya cuma satu, saya ingin mondok lagi ke pondok induk, sudah bu saya tidak ingin HP baru, kasih saya uang saja untuk membeli kitab, saya akan puasa dan tirakat dan akhirnya benar-benar saya minta mondok,” katanya.
Bahkan keinginan ibunya untuk kuliah di sebuah perguruan tinggi sembari nyantri di tempat lain ia tolak. Gus Iqdam ingin tetap nyantri di pondok pesantren ini.
Ngaji dan Tirakat Hingga Masak Sendiri
Keinginan untuk mengaji semakin kuat. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di pondok Induk setelah sebelumnya ia tinggal di Queen Al-Falah. Bukan hanya ngaji, Gus Iqdam juga melakukan tirakat puasa.
“Setelah saya di pondok induk, tinggal semua, saya cuma ingin, ngaji dan ngaji. Meskipun saya tidak begitu tekun. Akhirnya saya puasa sampai badan saya kurus. Diuji hafalan Alfiyah sampai kurus, tapi saya pantang menyerah,” kisahnya.
Bukan cuma puasa, ia juga hidup sederhana tidak seperti dulu lagi. Keinginan duniawinya seketika itu lenyap. Bahkan ketika pulang dan hendak ke pondok lagi, ia tidak lagi meminta uang saku, melainkan bahan makanan ala kadarnya untuk di masak sendiri.
“Setelah itu, biar tidak boros dan neko-neko, sebab ketika di Queen saya, boros, untuk melebur dosa saya kepada orang tua saya, akhirnya saya masak sendiri. Jadi kalau pulang saya tidak minta uang saku tapi terong. Kembali ke pondok bawa terong, tambah susah. Badan rasanya tidak enak, ternyata tirakat itu tidak enak. Sandal tidak punya, sarung Cuma sedikit, namun saya nikmati. Tapi saya niati untuk melebur dosa,” tuturnya
“Pada momen perjuangan itu, dalam hati saya mengatakan bahwa Mbah Yai Munif itu adalah sosok yang menjadi perantara saya mendapatkan hidayah dari Allah SWT supaya menjadi orang yang bermanfaat. Makanya saya tidak pernah lupa hadiah Fatihah ke Mbah Yai Munif,” imbuhnya.
Demikian sekelumit kisah menarik sekaligus menyedihkan sewaktu Gus Iqdam menimba ilmu di Pondok Pesantren.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement