Jelang Pilpres, Begini Hukum Memilih Pemimpin Menurut Gus Baha

Lalu bagaimana jika dari para kandidat yang mencalonkan diri tidak ada sosok yang soleh? Menurut Gus Baha tetap harus memilih, dengan berpegang pada qoidah usul fiqih yaitu aqollu daroron.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 22 Okt 2023, 20:30 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2023, 20:30 WIB
Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan
3 Tokoh yang menyatakan bakal maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2024, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Liputan6.com, Jakarta - Tiap gelaran pemilihan umum, mulai dari Pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota hingga Bupati, selalu ada kelompok yang menyerukan agar tak mencoblos. Para penyerunya mengidentifikasi diri sebagai golongan putih alias golput.

Para penyeru golput biasanya menjadikan rekam jejak buruk para calon pemimpin sebagai alasan tak menyoblos. Menurut mereka, dengan tak datang ke tempat pemungutan suara, mencegah ikut berbuat dosa bila calon dengan rekam jejak buruk tadi terpilih.

Seruan-seruan terkait golput ini, rupanya telah dibahas ratusan lalu oleh ulama kelahiran Mesir Syekh Ibrahim Al-laqqani, dalam kitab Jauharoh At-tauhid.

Kitab ini menjadi salah satu Kitab kuning yang sering dibaca dan dipelajari oleh KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha dalam sejumlah pengajian.

Syekh Ibrahim, kata Gus Baha, mewajibkan umat Islam menggunakan hal pilihnya dalam memilih pemimpin.

Di Indonesia, pemilihan umum adalah wadah untuk memilih pemimpin lewat hajatan lima tahunan. Baik itu memilih presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati.

Lalu bagaimana jika dari para kandidat yang mencalonkan diri tidak ada sosok yang soleh? Menurut Gus Baha tetap harus memilih, dengan berpegang pada qoidah ushul fiqih yaitu aqollu daroron.

"Misalkan diantara para kandidat tidak ada calon yang soleh, maka aqollu daroron yaitu memilih sosok yang kadar mudaratnya kepada kaum muslimin lebih minim," kata ulama yang hafal Al-Qur'an ini.

Simak Video Pilihan Ini:

Contoh Kaedah Aqollu Daroron

Sayid Said Agil Husin Al Munawwar, Gus Baha dan Gus Mus.
Sayid Said Agil Husin Al Munawwar, Gus Baha dan Gus Mus. (Sumber: Instagram/republik.santri)

Gus Baha kemudian memberikan sekian contoh terkait kaedah tersebut. Menurut Gus Baha, umpamanya anda tinggal di daerah nonmuslim, kemungkinan besar calonnya di pemilu adalah nonmuslim.

Anggap calon pertama orang fanatik agama, calon kedua lebih agamanya lebih sekuler. Maka, umat Islam wajib memilih calon yang sekuler.

"Lebih baik memilih yang sekuler karena tidak punya fanatisme pada agamanya. Artinya mudaratnya lebih minim dibanding yang fanatik agama karena bisa berorientasi memperbesar agamanya jika diberi kekuasaan," jelas dia.

Dalam contoh lain, Gus Baha mengandaikan bila ada dua calon pemimpin yang sama-sama fasik. Umpamanya, calon pertama pernah melakukan pembunuhan, sementara calon kedua adalah penjudi.

Menurut Gus Baha, jika melihat kadar kesalahannya, maka lebih baik memilih calon yang penjudi, karena kadar kefasikannya lebih ringan dibanding pembunuh.

Sebab itu, jika ada yang berfikiran, jika ada dua kandidat fasik semuanya, maka sebaiknya tidak milih, maka bagi gus baha, keilmuan orang tersebut masih dangkal.

"Jangan kuper karena islam itu selalu menyediakan jawaban terhadap semua persoalan," ucap Gus Baha.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya