Penjelasan Menohok Gus Baha bagi Orang yang Anggap Bawa Keris Adalah Syirik

Orang jawa tempo dulu tidak nyaman kalau tidak bawa keris, orang sekarang gak nyaman kalau pergi tanpa ponsel dan ATM, bagaimana menghukumi syirik?

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jul 2024, 04:30 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2024, 04:30 WIB
Gus Baha
Gus Baha (TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Ulama yang terkenal alim alamah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha memberikan penjelasan dan analogi yang menarik mengenai perbedaan antara ketergantungan pada benda dan keyakinan yang mendekati syirik.

Mengutip tayangan youtube kanal @hobitani11, dalam salah satu ceramahnya, Gus Baha membahas fenomena ketergantungan pada keris di kalangan orang Jawa tempo dulu dan pada teknologi modern seperti ponsel dan kartu ATM.

Gus Baha mengatakan bahwa bagi masyarakat Jawa tradisional, membawa keris dianggap penting untuk kenyamanan dan rasa aman.

Keyakinan ini, menurut Gus Baha, bagi sebagian orang dianggap bisa mendekati syirik jika seseorang meyakini bahwa keris memiliki kekuatan gaib yang memengaruhi nasib atau keselamatan mereka.

“Kalau orang membawa keris menjadi syirik karena percaya sama makhluk,” katanya.

Di sisi lain, Gus Baha membandingkan dengan kebiasaan orang modern yang merasa tidak nyaman tanpa membawa ponsel atau ATM.

Gus Baha menyoroti bahwa ketergantungan pada benda-benda seperti ponsel dan ATM adalah hal yang praktis dan tidak terkait dengan keyakinan gaib. “Orang kota itu kalau enggak bawa ATM juga enggak nyaman,” ungkapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Begini Hakikat Syirik

Rezeki Pencuci Keris Pusaka di Bulan Suro
Ilsutrasi Mandikan Keris | Sumber Foto: sabdalangit.wordpress.com

Gus Baha menegaskan bahwa ketergantungan pada benda-benda modern tidak sama dengan syirik. “Kamu pergi lupa bawa HP, nyaman gak Nak? Kenapa ndak dihukumi syirik,” tanya Gus Baha, menunjukkan bahwa ketergantungan pada teknologi praktis tidak melibatkan keyakinan terhadap kekuatan supranatural.

Gus Baha menjelaskan bahwa syirik terjadi ketika seseorang meyakini bahwa benda memiliki kekuatan selain Allah SWT. “Syirik itu ketika kita percaya ada kekuatan lain selain Allah,” tegas Gus Baha.

Menurut Gus Baha, penting untuk memahami perbedaan ini agar umat Islam dapat menjaga kemurnian iman dan tauhid. Pendidikan agama yang benar akan membantu umat untuk membedakan antara kebutuhan praktis dan keyakinan yang salah, serta menjaga kepercayaan tertinggi hanya kepada Allah SWT.

Mengutip muslim.or.id secara bahasa, syirik dari kata asyraka-yusyriku yang artinya “menjadikan sesuatu tidak bersendirian”. Dan kata “syirik” maksudnya asy-syirku fiihima (adanya persekutuan dalam keduanya). Secara istilah syar’i, syirik artinya mempersembahkan sesuatu yang khusus bagi Allah kepada selain Allah, sehingga Allah tidak bersendirian dalam hal-hal yang khusus bagi-Nya. Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

حقيقة الشرك بالله: أن يعبد المخلوق كما يعبد الله، أو يعظم كما يعظم الله، أو يصرف له نوع من خصائص الربوبية والإلهية

“Hakikat syirik terhadap Allah adalah: (1) menyembah makhluk seperti menyembah Allah, atau (2) mengagungkan makhluk seperti mengagungkan Allah, atau (3) memalingkan salah satu kekhususan Allah kepada makhluk dalam rububiyah atau uluhiyyah.” (Tafsir As-Sa’di, 2: 499)

Contoh, seseorang mempersembahkan ibadah salat kepada berhala. Ini termasuk syirik karena menyembah makhluk seperti menyembah Allah.

Seseorang mengagungkan seorang kyai dengan penuh pengagungan, sujud dan rukuk kepadanya, meyakini dia memiliki kuasa-kuasa terhadap nasib, rizki, dan semisalnya. Ini termasuk syirik karena mengagungkan makhluk seperti mengagungkan Allah.Seseorang mengklaim mengetahui yang terjadi di masa depan. Ini termasuk syirik karena masa depan adalah perkara yang khusus bagi Allah.

 


Awal Terjadinya Kesyirikan

Mesin Kartu ATM
Ilustrasi Foto Mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) (iStockphoto)

Awal terjadinya kesyirikan adalah di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,

كان بين نوحٍ وآدمَ عشرةُ قرونٍ كلُّهم على شريعةٍ من الحقِّ فاختلَفوا فبعث اللهُ النبيين مُبشِّرينَ ومُنذرِين

“Dahulu antara Nuh dan Adam terpaut 10 generasi. Mereka semua di atas syariat yang benar. Setelah itu, mereka berpecah-belah sehingga Allah pun mengutus para Nabi untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan” (HR. At-Thabari dalam Tafsir-nya [4048], disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 3289).

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

فأولهم نوح عليه الصلاة والسلام بدليل قوله تعالى: {وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ} بعثه الله إلى قومه لما غلوا في الصالحين بعد أن كان الناس على دين التوحيد منذ آدم عليه السلام إلى عشرة قرون وهم على التوحيد

“Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis shalatu was salam, dengan dalil firman Allah (yang artinya), “dan para Nabi setelahnya” (QS. An Nisa: 163). Allah mengutus Nuh pada kaumnya karena mereka ghuluw (berlebihan) dalam mengkultuskan orang salih. Setelah sebelumnya manusia di atas tauhid seluruhnya sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam sampai 10 generasi, semuanya di atas tauhid” (Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 288).

Allah Ta’ala berfirman tentang kesyirikan di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) kepada Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون أنصاباً وسموها بأسمائهم ففعلوا، فلم تعبد، حتى إذا هلك أولئك وتنسخ العلم عبدت

“Ini adalah nama-nama orang salih di zaman Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaumnya untuk membangun tugu di tempat mereka biasa bermajelis, lalu diberi nama sesuai dengan nama-nama mereka. Dan (bisikan) itu dilakukan. Ketika itu tidak disembah. Namun ketika generasi tersebut wafat, lalu ilmu hilang, maka lalu disembah.” (HR. Bukhari)

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 


Simak Video Pilihan Ini:

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya