Kisah Kiai NU Bungkam 2 Gembong PKI DN Aidit dan Musso

Bicara DN Aidit dan Musso, ada kisah menarik ketika dua tokoh PKI itu kena sekakmat oleh kiai Nahdlatul Ulama (NU). Berikut kisahnya.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 01 Okt 2024, 01:30 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2024, 01:30 WIB
DN Aidit dan Musso
Kolase tokoh PKI DN Aidit dan Musso. (Liputan6.com/Switzy Sabandar dan Wikipedia.org - Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap tanggal 30 September selalu mengingatkan pada pembunuhan terhadap tujuh Pahlawan Revolusi sehingga kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S/PKI. Tepat 59 tahun lalu, enam jenderal dan satu perwira dibunuh lalu dimasukkan ke sumur tua yang kini dikenal Lubang Buaya di Jakarta Timur.

Menurut Hairul Amren Samosir dalam buku ajar Pancasila (2023), dalang di balik peristiwa yang dinamai Gerakan 30 September (G30S) masih menjadi perdebatan di lingkungan akademisi. 

Salah satu pendapat populer adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memotori G30S, kala itu pemimpinnya adalah DN Aidit. Sebabnya adalah PKI ingin mengganti ideologi negara Pancasila menjadi komunis.

Jika menilik jauh ke belakang, kekejaman PKI tidak hanya terjadi pada 1965. 17 tahun sebelumnya, PKI melakukan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Musso adalah tokoh utama di balik pemberontakan PKI Madiun.

Bicara DN Aidit dan Musso, ada kisah menarik ketika dua tokoh PKI itu kena sekakmat oleh kiai Nahdlatul Ulama (NU). Berikut kisahnya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Kisah DN Aidit Kena Sekakmat Kiai Saifuddin Zuhri

DN Aidit
Sejumlah fakta yang jarang terungkap soal sosok DN Aidit, tokoh politik pasca kemerdekaan, yang kerap dikaitkan dengan G30S PKI (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Mengutip laman resmi GP Ansor PAC Karanganyar Demak, DN Aidit pernah kena skakmat dari kiai NU KH Saifuddin Zuhri. Kala itu, Kiai Saifuddin sedang menjabat sebagai Menteri Agama RI.

Dalam sidang DPA yang membicarakan hama tikus yang merusak tanaman padi di sawah, Aidit secara sengaja bertanya dengan nada sindiran terkait hukum memakan daging tikus dalam Islam. Padahal posisi duduk dia dengan Menag Kiai Saifuddin kala itu sangat dekat.

“Saudara ketua, baiklah kiranya ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam memakan daging tikus?” tanyanya.

Kiai Saifuddin merasa ditantang dengan sindiran beraroma penghinaan itu. Dalam pandangannya, sebagai tokoh partai yang cerdas, sejatinya Aidit sudah mengetahui jawabannya sebelum menjawab. Ia kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan tak kalah cerdiknya.

“Saudara ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku ini sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng, karena itu jangan dibelokkan untuk makan daging tikus!”

Seketika jawaban Kiai Saifuddin membuat para anggota yang hadir termasuk Soekarno yang memimpin sidang tertawa. Dapat dibayangkan bagaimana Aidit diam seribu bahasa ketika sindirannya dibalas dengan cerdik.

Debat Musso dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah

Munawar Musso atau Musso, tokoh PKI yang terlibat dalam pemberontakan Madiun 1948. (Foto: Wikipedia.org - Wikimedia Commons)
Munawar Musso atau Musso, tokoh PKI yang terlibat dalam pemberontakan Madiun 1948. (Foto: Wikipedia.org - Wikimedia Commons)

Mengutip buku Berangkat dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri, tokoh PKI Musso pernah terlibat perdebatan dengan KH Abdul Wahab Hasbullah mengenai adanya Tuhan. Sebagai seorang ateis, Musso tentu saja tidak percaya pada Tuhan. Perdebatan pun makin seru dan menjurus kasar karena Musso memang seorang yang emosional.

Orang-orang yang menyaksikan perdebatan tersebut khawatir terjadi sesautu yang tak diinginkan. Mbah Wahab pun berpikir bahwa tak ada gunanya juga melanjutkan diskusi dengan ‘orang jahil’ semacam Musso ini.

Bukan karena Kiai Wahab takut adu jotos, jika itu terjadi tampaknya begitu mudah bagi Mbah Wahab, mengingat ia adalah pendekar silat yang pernah menaklukan tiga atau empat penyamun yang tubuhnya jauh lebih besar dari Musso ketika melakukan perjalanan angker antara Makkah dan Madinah sekitar tahun 1920-1925. 

Bagi Mbah Wahab, diskusi dengan Musso yang mengandalkan adu jotos dan mulut besar hanya buang-buang waktu saja. Sejatinya, senjata manusia adalah akal pikiran dan akhlak mulia, bukan kepalan tinju.

Haji Hasan Gipo yang menjadi Tanfidziyah NU tahun 1926 mengambil alih tempat kiai Wahab dalam berdebat dengan Musso. Ia terkenal sebagai tokoh NU yang siap melayani lawan dengan cara apa saja, main halus atau kasar pun siap.

Musso lantas ditantang Haji Hasan Gipo meletakkan lehernya masing-masing di atas rel kereta api Surabaya-Batavia (Jakarta) agar digilas serta seluruh rangkaian kereta api hingga tubuh mereka hancur berkeping keping. Hal ini untuk membuktikan bahwa Tuhan -Allah SWT- ada.

Akan tetapi, Musso yang terkenal berangasan dan mudah marah itu seolah menciut saja ditantang seperti itu oleh Haji Hasan Gipo. Musso pun gentar. Ia takut jika beneran lehernya tergilas.

Kisah Musso yang ditantang kiai NU ini disarikan dari laman NU Online. Wallahu a’lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya