Profil Yahya Sinwar yang Gugur Ditembak Israel, Lahir di Kamp Pengungsian lalu Jadi Pemimpin Hamas

Yahya Sinwar terpilih sebagai kepala politik Hamas pada Agustus 2024 menggantikan Ismail Haniyeh yang dibunuh Israel di ibu kota Iran, Teheran, setelah ia menghadiri upacara pelantikan presiden baru Iran pada 31 Juli 2024

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 19 Okt 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2024, 20:30 WIB
Yahya Sinwar
Beberapa menit setelah pengumuman tersebut, sayap bersenjata Hamas, Brigade Ezzedine Al-Qassam, mengatakan bahwa mereka menembakkan rentetan roket dari Jalur Gaza ke arah Israel. (MAHMUD HAMS / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Angkatan Darat Israel dalam pernyataan resminya di X, Kamis (17/10), memastikan Pemimpin Hamas Yahya Sinwar gugur dalam satu operasi militer di Jalur Gaza.

Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, juga mengonfirmasi perihal syahidnya pemimpin Hamas berusia 61 tahun itu.

Melansir Antara, Militer Israel mengakui bahwa tidak ada tanda-tanda keberadaan sandera di area tempat Yahya Sinwar terbunuh.

Yahya Sinwar terpilih sebagai kepala politik Hamas pada Agustus 2024 menggantikan Ismail Haniyeh yang dibunuh Israel di ibu kota Iran, Teheran, setelah ia menghadiri upacara pelantikan presiden baru Iran pada 31 Juli 2024.

Pemilihan Sinwar sebagai pemimpin tertinggi kelompok perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Zionis Israel itu mencerminkan sejarah panjangnya dengan Hamas.

Dia telah menjadi tokoh tertinggi Hamas di Gaza selama dua periode berturut-turut, pertama pada 2017 dan kedua pada 2021.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Kehidupan Awal

Yahya Ibrahim Hassan Sinwar lahir pada 1962 di kamp pengungsi Khan Younis, Gaza Selatan.

Keluarganya berasal dari Kota al-Majdal, yang kini menjadi bagian dari Ashkelon di Israel selatan setelah mereka dipaksa pindah pada 1948.

Ia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sejak muda dan belajar di Universitas Islam Gaza, di mana ia meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Arab.

Selama masa kuliahnya, ia memimpin “Blok Islam,” sayap mahasiswa Ikhwanul Muslimin.

Pada tahun 1985, Sinwar mendirikan aparat keamanan untuk Ikhwanul Muslimin yang dikenal dengan nama “Al-Majd.”

Organisasi ini berfokus pada perlawanan terhadap penjajahan Israel di Gaza dan melawan para kolaborator Palestina.

Aktivitas semasa mahasiswanya itu memberi Sinwar pengalaman yang kelak memungkinkannya mengambil peran kepemimpinan di Hamas setelah didirikannya organisasi ini pada 1987.

 

Penahanan

Pada 1982, tentara Israel pertama kali menangkap Sinwar dan membebaskannya beberapa hari.  Lalu, Sinwar kembali dijebloskan ke bui di tahun yang sama, dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan tuduhan "terlibat dalam kegiatan keamanan melawan Israel."

Pada 20 Januari 1988, Israel menangkapnya kembali dan menjatuhkan hukuman empat kali penjara seumur hidup ditambah 30 tahun atas tuduhan "mendirikan aparat keamanan Al-Majd dan berpartisipasi dalam pendirian sayap militer pertama Hamas, yang dikenal sebagai Mujahidin Palestina."

Sinwar menghabiskan 23 tahun di penjara Israel sebelum dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel pada 2011, yang dikenal dengan “Kesepakatan Shalit.”

"Kenapa kalian belum membebaskan Palestina?" tanya Sinwar kepada rekan-rekannya dalam pernyataan pertamanya setelah dibebaskan dari penjara.

Berdasarkan kesepakatan yang dieksekusi pada 11 Oktober 2011, Israel membebaskan 1.027 tahanan Palestina sebagai pertukaran dengan pembebasan tentara Israel Gilad Shalit oleh Hamas.

 

Memimpin Hamas di Gaza

Setelah dibebaskan pada 2011, Sinwar ikut dalam pemilihan internal Hamas pada 2012, memenangkan kursi di biro politik dan bertanggung jawab mengawasi sayap militer kelompok tersebut, Brigade Qassam.

Pada September 2015, Amerika Serikat (AS) memasukkan Sinwar ke dalam daftar "teroris internasional."

Layanan keamanan Israel juga menjadikan Sinwar  target utama untuk dibunuh di Gaza, kata media Israel.

Yahya Sinwar gugur secara patriotik ketika Israel terus melakukan operasi genosida di Gaza menyusul serangan lintas batas Hamas pada 7 Oktober 2023.

Israel terus menggempur Gaza kendati ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. Akibatnya, lebih dari 42.400 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, serta lebih dari 99.200 orang lainnya terluka, kata otoritas kesehatan setempat.

Aksi genosida Israel itu juga memaksa hampir seluruh penduduk Jalur Gaza mengungsi di tengah blokade yang terus berlangsung, yang menyebabkan krisis stok pangan, air bersih, dan obat-obatan.

Israel menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya di Gaza.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya