Bolehkah Orang yang Belum Berhaji Menjadi Badal Haji?

Mazhab Syafi’i menyatakan orang yang menjadi badal atau menggantikan haji orang lain, termasuk orang tuanya yang telah wafat disyaratkan yang sudah haji untuk dirinya sendiri

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Jun 2022, 08:57 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2022, 08:00 WIB
Jemaah Calon Haji Indonesia
Jelang wukuf, banyak WNI yang mendaftar menjadi petugas badal haji. (dream.co.id)

Liputan6.com, Cilacap - Badal haji adalah ibadah haji yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal atau tidak mampu berangkat sendiri karena faktor usia yang sudah lanjut dan kesehatan yang tidak lagi memungkinkan. Perihal bolehnya melakukan badal haji, banyak hadis Nabi SAW yang menjelaskannya.

Meskipun badal haji tersebut diperbolehkan, terkait orang yang akan menjadi badal atau melaksanakan ibadah haji atas nama orang lain ada syarat tertentu. Salah satunya yakni soal pernah melaksanakan ibadah haji atau belum.

Mengutip NU Online, bahwa boleh dan tidaknya hal tersebut merupakan persoalan yang diperselisihkan ulama.

Pendapat Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i menyatakan orang yang menjadi badal atau menggantikan haji orang lain, termasuk orang tuanya yang telah wafat disyaratkan yang sudah haji untuk dirinya sendiri. Bila ia belum berhaji, maka tidak cukup atau tidak boleh untuk menggantikan haji orang lain.

Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ أَوْ قَرِيبٌ لِيْ. قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَة )رواه أبو داود والدار قطني والبيهقي وغيرهم باسانيد صحيحة (

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sungguh Nabi SAW mendengar seorang lelaki membaca talbiyah: ‘Laibaika dari Syubrumah.’ Beliau pun meresponnya dengan bertanya: ‘Siapa Syubrumah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Saudara atau kerabatku.’ Nabi tanya lagi: ‘Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?’ Orang itu menjawab: ‘Belum.’ Nabi pun bersabda: ‘Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian baru haji untuk Syubrumah.” (HR Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya dengan sanad shahih).

Dari hadis inilah ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa orang yang belum haji tidak boleh mengganti orang haji orang lain. Bila ia tetap melakukannya, maka ibadah haji yang dilakukan menjadi haji bagi dirinya. Pendapat seperti ini juga menjadi pendapat Ibnu Abbas RA, al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (An-Nawawi, Al-Majmû’ Syahrul Muhaddzab, juz VII, halaman 117-118).

Pandangan tersebut berangkat dari redaksi hadis tersebut di mana Nabi SAW menanyakan kepada lelaki tersebut perihal apakah telah melaksanakan haji untuk dirinya. Ketika lelaki tersebut mengatakan belum pernah berhaji, maka Nabi SAW menyarankan agar melaksanakan ibadah haji untuk dirinya sendiri dahulu baru kemudian berhaji atas nama Syubrumah yang merupakan kerabatnya.

Dari sini dapat dipahami bahwa seandainya tidak ada hukum yang berbeda bagi orang yang belum berhaji dan telah berhaji dalam menggantikan haji orang lain, niscaya Nabi SAW tidak perlu menanyakannya.

Hal ini sebagaimana pandangan Alauddin al-Kasani dalam kitab Badaaius Shana’i fi Tartibis Syara i’ Juz II halaman 213 bahwa orang tidak boleh menghajikan orang lain sebelum menghajikan dirinya sendiri. Selain itu haji bagi dirinya sendiri hukumnya wajib baginya, sementara haji orang lain tidak wajib baginya, sehingga orang tidak boleh meninggalkan kewajiban dirinya sendiri sebab melakukan sesuatu yang tidak wajib baginya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pendapat Mazhab Hanafi

Sementara menurut mazhab Hanafi, orang yang belum haji boleh dan dianggap cukup untuk menjadi badal atau mengganti haji orang lain yang berhalangan.

Ulama mazhab Hanafi berpedoman pada keumuman hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم. فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Al-Fadhl bin Abbas menjadi pengawal Rasulullah saw. Lalu datang perempuan dari Khats’am (salah satu kabilah dari Yaman). Sontak al-Fadlu memandang perempuan itu dan perempuan itu pun memandangnya. Seketika itu pula Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl sisi lain (agar tidak melihatnya). Lalu perempuan itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji dari Allah kepada hamba-hambanya telah menjadi kewajiban bagi ayahku saat ia tua renta dan tidak mampu berkendara. Apakah aku boleh berhaji sebagai ganti darinya?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Ya.’ Peristiwa itu terjadi dalam haji Wada’. (Muttafaq ‘alaih, dan redaksi ini dari al-Bukhari).

Menurut mazhab Hanafi, hadis ini menjadi dasar bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan orang lain. Sebab dalam hadits ini Nabi jelas-jelas membolehkan perempuan Yaman itu untuk menghajikan orang tuanya yang sudah tua renta dan tidak mampu berkendara.

Saat itu Nabi SAW pun tidak menanyakan apakah perempuan itu sudah haji untuk dirinya sendiri atau belum. Andaikan antara orang yang belum haji dan yang sudah haji hukumnya berbeda, SAW akan menelisik dan menanyakan lebih lanjut, apakah perempuan itu sudah haji atau belum. Sesuai redaksi hadis tersebut Nabi SAW tidak menanyakannya.

Berangkat dari pemahaman ini, mazhab Hanafi menyatakan bila orang melakukan haji dan diniatkan orang lain, meskipun dirinya belum melaksanakan ibadah haji maka haji itu terlaksana untuk orang lain tersebut.

Meskipun ada dua pendapat yang bersebrangan perihal boleh atau tidaknya badal haji dilakukan oleh orang yang belum berhaji, maka dalam hal ini kita dapat mengambil keputusan yang bijaksana, yakni tidak perlu menyalahkan salah satunya.

Meskipun demikian, untuk kemaslahatan dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebaiknya memilih orang yang telah berhaji untuk menjadi badal haji.

Hal ini sebagaimana pendapat KH Sahal Mahfudz dalam buku ‘Dialog Problematika Umat’, yakni orang yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh, dan berakal), dan mampu melakukannya.

Tidak dibenarkan mewakilkan kepada orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri. Hendaknya dicarikan orang yang dapat dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Penulis: Khazim Mahrur

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya