Liputan6.com, Takalar Tumpukan batu bata merah membentuk dinding tebal selebar empat meter dan setinggi enam meter. Batuan rapuh berlumut tak terawat itu melintang sepanjang 20 meter saja, namun usianya jauh lebih tua dari negara Indonesia.
Benteng Sanrobone, itulah namanya. Ia lahir pada abad XV dari buah tangan Raja Sanrobone I, Karaeng Dampang Panca Belong. Benteng ini mulai dibangun pada tahun 1515 atas perintah Raja Gowa Tumapa'risi Kallonna dan rampung pada tahun 1520. Terletak di Desa Sanrobone, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar Sulsel, sekitar 80 kilometer dari Makassar.
Benteng ini dulunya seluas 25.54 Ha dengan ukuran sisi barat sepanjang 573 m, sisi selatan 529 m, sisi timur 748 m dan sisi utara 332 m. Benteng ini terbuat dari batu bata dan berbentuk perahu dengan panjang sekitar 3,7 km dan mempunyai 7 pintu yaitu 4 pintu besar searah dengan mata angin dan 3 pintu kecil.
Sisa-sisa benteng yang ada pun hanya sekilas tampak seperti tembok lebar berbatu bata merah biasa dengan hiasan dua meriam panjang seberat 150 kg yang kini berkarat tak terpelihara. Selebihnya hanya tanah lapang luas dengan papan bertuliskan "Kawasan Ini Dilindungi Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala".
Benteng ini runtuh bersama dengan benteng somba opu dan beberapa benteng lain yang diratakan dengan tanah oleh Cornelis Speelman, Jenderal pasukan VOC pada perang Makassar (Oktober 1666-12 Juni 1669). Total di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo ada 14 benteng. Kini hanya tersisa satu benteng yang masih utuh yakni Benteng Pannyua atau Fort Rotterdam.
Kompleks Benteng Sanrobone semakin hancur pada masa pemberontakan DI/TII. Istana kerajaan dibakar pada tahun 1956 oleh pemberontak lantaran Raja Sanrobone ke 23 (raja terakhir 1950-1956), Mallombasi Daeng Kilo, memihak ke negara kesatuan Republik Indonesia.
Akibatnya, semua catatan sejarah tentang Sanrobone dan barang kerajaan ludes tak bersisa. Yang tersisa hanya tungku besar terbuat dari batu bata merah untuk membuat roti dan tiang pemancang yang digunakan sebagai penanda upacara pengangkatan Raja Sanrobone. Hanya itu.
Di kompleks ini juga terdapat Masjid Raya Baitul Muqqadis yang berdiri sejak tahun 1603. Daeng Nompo, Imam Desa Sanrobone kepada Liputan6.com, Sabtu (16/5/2015) mengatakan masjid tersebut didirikan Syekh Muhyidin yang bergelar Tuantarilima.
"Syekh ini yang memperkenalkan Islam dan mendirikan shalat Jumat pertama kalinya di Sanrobone," singkat Daeng Nompo. Di bagian lain, terdapat kompleks pemakaman tua milik raja dan keturunannya seluas 60 x 44 meter persegi. Setidaknya ada 44 nisan penuh lumut dengan pahatan tak jelas hampir terhapus berserakan di sebidang tanah penuh ilalang. Yang paling menarik perhatian adalah dua nisan berkubah runcing setinggi lima meter bercat putih kusam dengan hiasan kubah.
Dua nisan itu bertuliskan kaligrafi Arab gundul dengan pola hias sulur-suluran dan tumbuh-tumbuhan. Makam berkubah itu pernah dipugar ulang karena bagian atapnya runtuh akibat dimakan usia. "Sang penghuni nisan adalah raja ke-14, Karaengta Kalukuang dan Karaeng Timinanga Ri Masigeria bergelar Tuminanga Ri Agurana, ulama penyebar Islam di Sanrobone," ucap Daeng Nompo.
Sekilas, makam berkubah Sanrobone tampak sama bentuknya dengan makam berkubah di kompleks pemakaman raja-raja Gowa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Kesamaan ini konon menunjukkan Kerajaan Gowa, Tallo, dan Sanrobone termasuk kerajaan kembar.‎ (Eka Hakim/ret)
Advertisement