Liputan6.com, Jakarta Pohon rambutan. Ya hanya sebuah pohon rambutan yang ditanam di sudut pekarangan. Sebuah pohon yang jika senja hari senantiasa menggugurkan daun-daunnya. Tidak beda dengan pohon rambutan lainnya. Tapi siapa sangka jika pohon rambutan itu adalah sebuah monumen bagi Tere. Monumen kepercayaan seseorang yang harus dirawat.
Tak beda dengan pohon rambutan lainnya, pohon ini juga menjadi favorit satu dua pasang burung prenjak, ciblek dan pleci. Burung-burung itu selalu tampak bersemangat. Berlompatan sambil ujung paruhnya, terselip seekor ulat.
Pohon rambutan yang daunnya rimbun itu, yang jarang berbuah itu, merupakan hadiah dari Gege. Hadiah kecil ketika Tere melewati fase cinta monyet saat SMA.
Advertisement
"Ingat ya Re. Tolong jaga pohon rambutan ini. Meski nanti tak berbuah, setidaknya akan jadi peneduh pekarangan rumahmu," kata Gege saat itu.
Dan benar, pohon rambutan itu ia rawat sepenuh jiwa. Bukan hanya disiram setiap pagi dan sore, bahkan ketika diserang penyakit, Tere kelabakan. Apalagi saat itu beberapa ranting dan daunnya mulai mengering.
Saat itu, Tere dengan sungguh-sungguh merawatnya. Mencari obat, berkonsultasi dengan penyuluh pertanian.
***
Masa sekolah Tere memang penuh kekonyolan. Kelas 1 ia terlibat cinta monyet. Tere yang pendiam, berkulit gelap, berhidung mancung ternyata ditaksir Gege yang agak tengil dan slengekan. Selalu saja ada ulah Gege yang membuat Tere malu. Mulai dari mengenakan sepatu sandal perempuan, hingga mengenakan baju Korpri saat hari jumat yang memang dibebaskan tidak berseragam.
"Re, nanti jam pelajaran biologi kita kabur ya," tulis Gege di selembar kertas yang kemudian dilempar.
Tere tak membalas. Ia mengerlingkan ekor matanya yang bening. Menyibakkan poni yang menutupi sebagian matanya. Mulutnya menyunginggkan senyum.
Benarlah, saat istirahat Tere sudah berada di boncengan Gege. Mereka menuju ke arah selatan. Motor melaju pelan, melintasi sungai Progo. Mereka menuju ke Sendangsono. Sebuah tempat yang biasa untuk berkontemplasi umat Katolik. Tempat ini selain berada di tengah kompleks pegunungan Menoreh, juga merupakan monumen bagi penyebaran agama Katholik di Jawa.
"Tahu kenapa aku mengajakmu jalan Re?" tanya Gege.
"Kamu naksir, kan?" Rere balik bertanya.
"Aku hanya pengin menunjukkan bahwa aku sungguh-sungguh sayang kamu Re. Rela mengorbankan ulangan biologi," kata Gege tanpa bersalah.
Deg. Rere baru ingat kalau hari ini ada ulangan. Tapi sudah terlanjur ia duduk di boncengan Gege. Akhirnya ia diam dan menikmati perjalanan.
Hanya setengah jam naik sepeda motor dengan kecepatan rendah, mereka sudah tiba di Sendangsono. Siang itu tempat yang dibangun tahun 1927-1929 sangat sepi. Pepohonan rimbun dan suasana adem.
Keduanya duduk berhadapan di tepian selokan yang ditata oleh romo YB Mangunwijaya seperti tempat duduk teater terbuka. Pohon Sono (angsana) raksasa yang akhirnya disematkan menjadi nama tempat ini melindungi mereka dari sengatan panas matahari.
Dua anak SMA yang terlilit cinta monyet itu akhirnya berkeliling. Melihat-lihat dan menikmati kerimbunan pepohonan. Sumber air (sendang) yang sudah dilindungi dengan bangunan kecil sudah tak terlihat. Tere dan Gege sudah sangat paham bahwa sumber air itu yang diberkati Rama van Lith SJ pada 14 Desember 1904 dan menjadi tempat pembaptisan 173 umat Katolik.
Sebuah gua buatan berisikan patung Maria, mereka pandangi berlama-lama.
"Lihatlah wajah patung itu. Sedemikian adem. Kayak aku kalau di dekatmu," Gege mulai menebar pujian gombalnya.
"Trus kenapa kita kesini?" Tere menyergah.
"Karena tak ada tempat lain yang seadem disini," Gege menjawab sekenanya.
Kembali mereka memandang gua buatan. Gua yang dibangun atas usul romo JB. Prennthaler SJ tahun 1923, yang dilengkapi dengan patung patung Bunda Maria. Patung itu diperoleh dari Swiss dan diangkut bersama-sama dari Sentolo Wates, Kulon Progo, 30 km dari Sendangsono.
***
Pulang dari Sendangsono sudah menjelang tengah hari. Sengaja Gege tak mau berlama-lama karena ia ingin saat jam pulang sekolah, bisa bersama dengan teman-temannya sehingga tak ketahuan kalau membolos.
"Mas, tolong dibeli pohon rambutan ini. Seikhlasnya," seorang ibu setengah baya menawari sebatang pohon rambutan.
Singkat cerita, pohon rambutan itu berpindah tangan. Ketika membeli, Gege tak tahu akan diapakan pohon itu. Ia memang penggemar tanaman, namun pekarangan rumahnya tak cukup luas untuk ditambah koleksi pohon rambutan itu.
"Nanti kamu saja yang bawa. Tanam dalam pot saja, nanti kalau Tere sudah memiliki rumah sendiri, barulah dipindah," kata Gege saat itu.
***
Tere tegang. Ia baru saja menerima pesan singkat bahwa Gege akan pulang ke kota ini. Gege mengajaknya bertemu. Ia memang sempat berkomunikasi ketika terjadi revolusi komunikasi yang ditandai dengan kepemilikan ponsel di nyaris seluruh manusia Indonesia, Tere mendapat nomer kontak Gege dari temannya. Dalam komunikasi itu, Tere mendengar cerita bagaimana perjalanan Gege selama 26 tahun mencarinya.
"Kita tak perlu mengulang cinta monyet kita di masa lalu. Namun aku hanya ingin silaturahmi kita tetap terjaga," kata Gege.
Saat itu ada rasa bersalah terselip di hati Tere. Entah kenapa Tere merasa tak perlu menunggu Gege dan memilih menikah. Tere menganggap cinta Gege adalah cinta monyet.
Namun ia coba merawat kenangan yang pernah terjalin dengan si tengil itu. Pohon rambutan yang didapat ketika membolos dulu, benar-benar ia rawat. Bahkan saat ia mengikuti suaminya, pohon rambutan itu akhirnya ia boyong dan ia tanam di pojok pekarangan.
Kini, Gege mengajaknya bertemu. Dalam pesan yang dikirimkan, Gege hanya mengajak bertemu, tak membahas sedikitpun tentang kisah yang pernah mereka rajut. Tere sendiri merasa harus menebus kesalahannya di masa lalu. Pertemuan dua manusia yang diam-diam saling mencari dan memperhatikan itu sebentar lagi terjadi.
Pohon rambutan di pojok pekarangan Tere mulai menghitam. Pertanda hari mulai gelap. Tere masuk ke dalam rumah, menyalakan lampu teras. Ia berbaring saja di kasur. Suaminya? Entahlah, lelaki itu sudah beberapa tahun belakangan menghilang.
Pernah suatu ketika Tere sakit, tapi ia tetap harus bekerja menegakkan tiang ekonomi. Bahkan berobatpun akhirnya harus melibatkan campur tangan ayahnya yang sudah renta. Namun Tere tak pernah mengeluh. Ia memang type pendiam.
***
"Kamu nggak banyak berubah Ge. Kecuali sikapmu yang kini lebih dewasa," kata Tere ketika akhirnya benar-benar bertemu Gege di sebuah kafe.
Gege hanya tersenyum. Ia membetulkan letak kacamatanya yang miring. Di hadapannya, duduk seorang perempuan setengah baya yang selama ini membayanginya. Tere tak banyak berubah. Kulitnya tetap gelap, hidung mancung, bahkan potongan rambutnya yang sebahu itu, tetap tak berubah gayanya.
"Kamu juga Re. Di hadapanku masih Tere yang dulu. Yang nggak bisa dandan dan pake lipstik," kata Gege.
Ucapan yang awalnya dimaksudkan sebagai basa basi itu menjadi penuh ketulusan dan kejujuran. Mereka saling memuji. Saling mencela.
Tangan mereka saling menggenggam ketika Tere menceritakan hidupnya pasca berpisah dengan Gege. Bagaimana ia harus berjibaku bersilat otak untuk mendidik kedua anaknya. Suaminya memang sempat menunjukkan tanggung jawabnya. Namun hanya dua tahun pertama pernikahannya. Bahkan rumah yang ditempati Tere, dibeli dari tabungan Tere sendiri. Parahnya, suami yang mencoba dicintainya, ternyata kabur entah kemana dan entah kenapa.
Sementara itu Gege juga bercerita, ia memang sempat menikah. Namun isterinya yang memiliki tabiat pendiam seperti Tere, tewas saat terjadi kecelakaan di tol Jatingaleh Semarang. Saat itu, isterinya ingin menengok orang tuanya, dan bus yang ditumpanginya terbalik, menewaskan 16 penumpangnya.
"Perjalanan kita sungguh aneh. Aku nggak menyangka kalau kita masih dipertemukan," kata Gege.
"Iya tapi keadaan sudah berbeda. Seburuk apapun, aku masih bersuami," kata Tere.
Keduanya diam. Mendadak ada rasa teduh dalam perjumpaan mereka. Selarik garis ditarik di bibir Tere. Olala Tere tersenyum.
"Masihkah kau simpan pohon rambutan dulu itu re?" pertanyaan Gege memecah kesenyapan.
"Masih ada. Dan semakin kuat. Meskipun jarang berbuah, tapi masih ada dan masih aku rawat," kata Tere.
"Kenapa kau relakan waktumu untuk merawatnya?"
"Tak setiap peristiwa bisa dijawab dengan pertanyaan mengapa. Tak setiap tindakan bisa dijelaskan dengan menjawab pertanyaan itu," kata Tere.
Gege diam. Dia masih hafal tabiat Tere. Tanpa ditanya dia pasti melanjutkan omongannya yang memang sering diputus di tengah jalan.
"Akhir-akhir ini, daunnya sering jatuh. Meskipun tak ada angin. Membuatku jadi sering bercermin. Ingin membandingkan usiaku dengan gelora hatiku," kata Tere.
Sangat wajar jika daun yang sudah tua jatuh ke bumi, membusuk dan menjadi pupuk bagi pohon induknya. Namun, mungkinkah seorang yang berkepala empat jatuh cinta lagi. Mengulang kisah cinta monyet. Cinta anak-anak? Sementara status pernikahan Tere masih jelas. Bersuami. Sedangkan Gege? Ah, persetan dengan status perkawinannya.
Tere tidak tahu. Tere tidak mau tahu. Dan Tere tidak ingin tahu semua hal tentang Gege. Baginya, ia sudah mengenal Gege keseluruhan. Jika tak menyisakan cinta, tak mungkin ia menemuinya. Namun Tere juga tahu, Gege tak punya keberanian untuk mengatakan perasaannya. Sama persis dengan 26 tahun lalu.
Mereka mengobrol cukup panjang. Semua tentang kerepotan Tere ketika harus merawat pohon rambutan itu. Gege tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia menatap mata Rere penuh kerinduan, perasaan bersalah, dan juga kekaguman.
"Dulu pohon rambutan itu sudah hampir mati. Ketika aku pindahkan dari pot di rumah bapak ke rumah ini," kata Rere.
"Kau tahu Re, rasa yang dulu kita pernah miliki, juga nyaris mati. Entah apa sebabnya. Tapi ia tak mati-mati. Hingga aku menemukanmu beberapa hari lalu," kata Gege.
Jemari tangan mereka saling menggenggam. Angan mereka berdua bisa jadi memikirkan hal yang sama. Hati Tere berdesir. Ia memandang bibir Gege. Bibir yang belum pernah sekalipun menciumnya, meski ia sangat ingin.
Di matanya, Gege bersikap wajar dan apa adanya.
"Kau sudah menjelma menjadi manusia wajar, yang istirahat ketika lelah, yang tidur saat mengantuk," kata Gege.
"Kau juga makin mengendap. Aku lihat kamu makin menginjak tanah dan tak lagi bermimpi tentang tatanan dunia yang muluk-muluk. Aku suka itu," kata Tere.
Jemari tangan mereka makin kuat saling menggenggam. Ada rasa nyaman di hati mereka.
"Kapan kamu pulang Ge?" Tere mendadak bertanya.
"Pulang kemana?"
"Ke kotamu. Ke rumahmu,"
"Bukankah ini kotaku? Rumahku pun kau sudah tahu," kata Gege mencoba berteka-teki.
"Jadi...."
"Ya...aku memutuskan pulang dan menetap disini. Aku ingin bisa sewaktu-waktu melihat pohon rambutan di pojok pekaranganmu itu," kata Gege.
Tere terbeliak. Ia tak bisa membayangkan sering bertemu Gege tanpa diberi kesempatan menghapus rasa bersalahnya.
"Tolong jangan jadikan aku seorang mempelai yang tak sudah-sudah," Tere membatin.
Tangan mereka erat menggenggam. Pohon rambutan di pojok pekarangan itu juga tenang. Tak lagi ada daun yang jatuh.
Â
Â
Edhie Prayitno Ige, penulis, guyonis. Pernah menulis Peradaban Salah Urus (Kumpulan Esai) dan Sang Koruptor (Novel) Â