Liputan6.com, Jakarta Saat zaman represi pada era Orde Baru, karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer (Pram) dilarang "tampil". Aktivitas Pram di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berhaluan kiri setidaknya memengaruhi pandangan orang tentang karya-karyanya yang dianggap berbau komunis.
Namun, Hasta Mitra berani menjadi penerbit progresif yang pertama kali menerbitkan karya-karya Pram pada zaman Soeharto. Meski, para pembaca kala itu perlu sembunyi-sembunyi untuk bisa menikmati perenungan Pram dalam karya-karyanya.
Zaman bergulir, pada era Reformasi karya Pram justru bukan hanya menjadi bacaan sastra, melainkan menjadi potret lengkap kehidupan sosial, politik, dan sejarah masyarakat Indonesia yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dipelajari banyak orang, termasuk Max Lane, kritikus sastra asal Australia.
Max Lane merupakan orang pertama yang memperkenalkan karya-karya Pram kepada dunia pada zaman Soeharto. Dirinya bahkan adalah orang yang menerjemahkan tetralogi Pulau Buru ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Inggris, Australia, dan Amerika.
Dari pergumulan bertahun-tahun melalui proses menerjemahkan dan interaksinya dengan banyak karya Pram, hingga diskusi langsung bersama Pram, Max menuliskan analisisnya yang dikumpulkan dan dituangkan ke dalam buku Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia yang diterbitkan Penerbit Djaman Baroe, Yogyakarta, dan diluncurkan hari ini, Sabtu (12/8/2017), oleh Dewan Kesenian Jakarta di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.Â
Buku tersebut berisi esai dan artikel yang berupaya memberi gambaran umum tentang karya-karya Pram, menganalisis berbagai ide Pram tentang sejarah nusantara, asal-usul Indonesia sebagai bangsa, dan tentang hubungan antara kasta dan kelas.
Dalam bukunya, Max mengungkapkan setidaknya bangsa Indonesia perlu paham, ada pesan terselubung dari Pram untuk pembaca tentang apa yang harus disadari dalam menghadapi masa depan Indonesia.
Simak juga video menarik berikut ini:
Advertisement