Liputan6.com, Jakarta - Dari 5 anak Gen Z yang ditanya, hanya 1 yang bisa menjawab pertanyaan: siapa Pramoedya Ananta Toer? Eksperimen kecil-kecilan dengan mengambil sampel menanyakan secara langsung terhadap anak-anak zaman sekarang itu membuktikan, mereka belum mempunyai perhatian yang lebih terhadap sastra, terlebih pada ceruk besarnya, yaitu nilai-nilai budaya dan sejarah bangsanya sendiri.
Banyak faktor yang kemungkinan besar menyebabkan anak-anak zaman sekarang kurang peduli pada sastra. Tumbuh di ruang yang segalanya serba mudah dan digital, membuat mereka lambat laun merasa tidak tertarik, atau bahasa kasarnya, ‘nir-faedah’ jika harus berpusing-pusing memikirkan kedalaman makna di dalam karya sastra klasik. Mengingat banyak hiburan instan yang lebih ringan dan mudah diakses lewat video pendek di TikTok atau YouTube.
Baca Juga
Siapa yang peduli jika di Bumi Manusia karya Pram misalnya, ada cerita pergolakan anak muda pribumi mempertahankan identitas budayanya di tengah kolonialisme Belanda. Buang-buang waktu juga jika harus memikirkan isi kepala Pram di novel Gadis Pantai, mengingat sekarang banyak buku - itu pun kalau tak malas membaca – yang ‘right on target and straight to the point’ bagi anak-anak zaman sekarang. Sebut saja seperti buku Think & Grow Rich (Cara Para Jutawan dan Miliarder Meraih Kekayaan) tulisan Napoleon Hill.
Advertisement
Padahal pada masa Orde Baru, bukan perkara mudah bagi anak-anak zaman itu untuk bisa sekadar membaca buku karya Pram, apalagi membeli, memilikinya, dan mendiskusinyannya. Sederet stigma negatif tentang hantu komunis dilekatkan kepada peraih penghargaan Ramon Magsasay tahun 1995 itu.
"Anak-anak muda pada masa itu kalau mau baca Bumi Manusia, ngumpet-ngumpet, kalau mau pinjem dari tangan satu ke tangan lainnya udah kayak transaksi narkoba, ga berani, PKI kan di zaman Orba itu jadi hantu banget," cerita Irsyad, seorang Gen X menceritakan.
Padahal kalau kita baca sekarang, sisi mengerikan Bumi Manusia itu ada di mana, kata Irsyad heran. Justru dari Bumi Manusia, orang-orang Indonesia saat ini dan generasi muda khususnya bisa belajar potret manusia Indonesia di awal-awal Kebangkitan Nasional. Tentang bagaimana orang-orang kita yang tercerai berai bisa menjadi satu sebagai nation.
"Kepada seorang Pram harusnya kita berterima kasih," katanya.
Namun apa yang terjadi pada seorang Pram? Dia malah cap komunis, dipenjara karena aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang dianggap penguasa sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pun ditangkap pada 1965 tanpa proses pengadilan, kemudian dibuang ke Nusa Kambangan dan akhirnya mendekam di Pulau Buru.
"Tapi dibuang ke Pulau Buru dan karya-karyanya dilarang untuk dibaca karena dianggap berbau komunis, itu justru jadi membuat anak-anak zaman itu, mahasiswa-mahasiswa itu penasaran mau membacanya. Semakin dilarang kita kan jadi semakin penasaran," kata Jodi, pembaca Pram yang kini menjadi guru.
Bagi Jodi, Pram bukan hanya seorang novelis, dia sejarawan yang menjadikan sastra sebagai media untuk mengutarakan pemikiran-pemikiran zamannya. Tulisan-tulisannya bukan hanya menggugah kesadaran kita sebagai manusia modern, lebih dari itu dia sedang mengisahkan sejarah bangsanya dan perjuangan anak-anak bangsanya kala itu yang ingin mendapatkan kebebasan dan keadilan.
Pemaparannya yang begitu realistis dalam setiap karyanya, kata Jodi, membuat pembaca dibawa untuk berperspektif bahwa apa yang ditulis Pram sedikit banyak terinspirasi dari kehidupannya sendiri.
"Karya-karya seperti Lari dari Blora, Bukan Pasar Malam, itu kan erat kaitannya dengan masa kecil Pram yang lahir dan dibesarkan di Blora," katanya.
Pram memang lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925. Ayahnya seorang guru bernama Mastoer. Lahir dari keluarga berhaluan Islam-nasionalis, memberi pengaruh besar dalam membentuk pandangan hidup Pram. Mastoer sendiri mengajar di Holandcsh Islandsche School (HIS), sebelum akhirnya dipindah ke Institut Boedi Oetomo (IBO). Selain seorang guru, Mastoer juga aktif dalam pergerakan politik di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno.
Selain sang ayah, ibunya juga turut andil membentuk pemikiran-pemikiran seorang Pram dalam karyanya. Menurut Eka Kurniawan dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, ibunda Pram bernama Oemi Saidah, seorang aktivis perempuan, anak dari seorang selir penghulu Rembang, yang setelah melahirkan diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Kisah hidup sang nenek itu kemudian menginspirasi Pram menulis Gadis Pantai, sebuah roman yang membongkar tradisi feodalisme Jawa yang sarat dengan ketidakadilan, terutama ketimpangan hubungan antara perempuan dan laki-laki.
Pram muda kemudian hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik di Domei, kantor berita Jepang. Dari situ dirinya mulai menambah wawasan dengan banyak membaca beragam informasi di meja redaksi. Bukan berlatar belakang akademis lulusan kampus ternama, tapi mengapa tulisan-tulisan Pram sangat detail, sistematis, dan lekat dengan sejarah, ternyata Pram seorang yang rajin melakukan riset dan mendokumentasikan sejarah bangsanya, serta menerjemahkan karya-karya penulis dunia, terutama dari bahasa Belanda.
Di Jakarta, Pram juga sempat bekerja di The Voice of Free Indonesia. Dia pernah mendapat order dari atasan tempatnya bekerja untuk mencetak dan menyebarkan pamflet dan majalah perlawanan, saat agresi militer Belanda 1947. Menurut Bahrum Rangkuti dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja diceritakan, usai menyebarkan majalah perlawanan, Pram ditangkap marinis Belanda. Ia disiksa lalu dijebloskan ke penjara Bukit Duri yang selanjutnya dibawa ke Pulau Damar tanpa proses hukum yang wajar. Situasi itu tidak menyulutkan semangatnya untuk terus menulis sastra. Bagi seorang Pram, penjara Belanda malah menjadi tempat mendapat pencerahan dan dorongan untuk terus menulis. Dari penjara itu lahir karya Pram yang berjudul Mereka yang Dilumpuhkan, sebuah roman yang menceritakan 'si Aku' yang kemanusiaannya dicuri hanya karena ingin memperjuangkan bangsanya sendiri.
Sempat keluar masuk penjara, Pram kemudian ditahan lagi dari penjara Salemba dibawa ke Nusa Kambangan, untuk kemudian dikirim ke Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik lainnya. Lebih dari 10 tahun hidupnya dihabiskan dalam pengasingan di Pulau Buru tanpa proses hukum yang adil. Meski begitu, selama belasan tahun di penjara, Pram menelurkan banyak karya sastra, salah satunya yang paling terkenal adalah Bumi Manusia yang menjadi awal bagi cerita tetralogi Pulau Buru.
Pada 1979, Pram bebas dari penjara. Meski begitu, sebagai warga negara Indonesia, Pram merasa tidak punya kemerdekaan dalam bersuara, bahkan buku-bukunya masih dilarang. Pram bukan hanya sekadar pereka cerita, ia mencatat untuk bangsanya. Sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia dan dihargai dunia, tapi dilupakan bangsanya sendiri, sebuah ironi.
Jelas, Pram Bukan Patriarkis
Dari banyak karya Pram, Dongeng Calon Arang adalah novel yang 'menggiring' Pram menjadi seorang patriarkis. Meski sebenarnya cerita Calon Arang yang ditulisnya itu, diambil dan disarikan dari naskah aslinya dan hanya untuk mengisi kekosongan bacaan anak pada waktu diterbitkan.
Dalam novel Dongeng Calon Arang menghakimi 'perempuan' sebagai biang keladi kekacauan yang menyebabkan penyakit aneh menyebar menjangkiti penduduk Desa Girah. Dalam teks Bahasa, perempuan selalu digambarkan sebagai biang keladi kekacauan. Lebih jauh mari kita periksa, dari lembaran awal novel Dongeng Calon Arang, Pram sudah menggambarkan Calon Arang sebagai perempuan terkutuk.
”Calon Arang ini memang buruk kelakuannya. Ia senangmenganiaya sesama manusia, membunuh, merampas dan menyakiti. CalonArang berkuasa. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untukmembunuh orang.” (Dongeng Calon Arang, 1999:3)
Secara utuh membaca Dongeng Calon Arang, semua akan terjebak dalam cara berpikir dikotomi: perempuan jahat, laki-laki baik. Nenek sihir, tidak ada kakek sihir. Perempuan penyebab wabah penyakit, laki-laki pemberi solusi, dan seterusnya.
Cara berpikir dikotomi tersebut muncul di masyarakat sebagai hasil dari kebudayaan, bukan sebagai pakem kodrati yang sudah ditentukan Tuhan. Karena itu, perempuan harus keluardari kerangka kebudayaan, yang secara kultural selalu merepresentasikannya sebagai makhluk kelas dua.
Lalu apakah dengan begitu Pram seorang patriarki? Jika pembaca teliti melihat katapengantar dalam novel Dongeng Calon Arang di cover lama, di situ tertulis, Pram menulis ulang cerita Calon Arang dengan maksud hanya ingin mengisi kekosongan bacaan anak.
Dengan begitu, Pram bukan pencipta, melainkan hanya menulis ulang apa-apa yang sudah diceritakan sebelumnya tentang legenda Calon Arang.
Terkait itu, Gadis Arivia dalam bukunya Feminisme Sebuah Kata Hati (2006:161) juga membela Pram. Bagi Gadis, struktur cerita dalam novel Dongeng Calon Arang yang penuh nuansa patriarki tidak serta merta menjadikan Pram sebagai seorang pendukung budaya patriarki. Dalam hal ini, Pram hanya seorang tokoh yang memperjuangkan misi manusia modern. Sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat universalismedan kebenaran tunggal, perjuangan kemanusiaan yang baik melawan kekuasaan yang jahat.
Ide-ide besar itu, kata Gadis, tentu mementingkan peran rasionalitas, lalu mau tidak mau, Pram akan mengesampingkan dulu tetek bengek perempuan. Tidak ada waktu baginya memikirkan problematika seorang janda. Calon Arang bagi Pram menjadi gender netral.
Memang tidak etis memandang Pram sebagai seorang pendukung budaya patriarki, pasalnya begitu banyak karya Pram sendiri yang justru mengangkat persoalan-persoalan dan pemikiran perempuan. Misal Gadis Pantai, roman yang mencoba membongkar tradisi feodalisme Jawa yang sarat ketidakadilan, terutama ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan. Gadis Pantai merupakan gambaran kasar tentang nenek Pram sendiri, yang setelah terusir dari rumah Bendoro, dia mencoba untuk hidup mandiri.
Advertisement