Halal Tourism, Wisata Ramah Muslim yang Toleran dan Bersahabat

Istilah Halal Tourism adalah pariwisata yang bersahabat, ramah, dan terbuka, bukan dipersepsi sebagai pariwisata yang tertutup untuk pengunjung wisata non muslim

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Okt 2019, 20:42 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2019, 20:42 WIB
Paket Wisata Lombok
Paket Wisata Lombok. (Sumber: iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Istilah Halal Tourism atau Wisata Halal sering disalahpersepsikan seakan inklusif dan tertutup untuk kalangan non muslim. Namun hal itu terbantahkan dalam Halal Tourism International Conference yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Mandalika Lombok. 10-11 Oktober 2019.

Dalam acara yang dihadiri dan diresmikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Wakil Presiden terpilih, Prof. Dr. K.H. Maruf Amin itu memberikan pemahaman bahwa Halal Tourism merupakan salah satu indikator keberhasilan mendatangkan devisa negara khususnya di sektor pariwisata.

Salah satu pembicara acara tersebut, Menteri Pariwisata, Dr. Arief Yahya membeberkan sejumlah data mengenai prestasi Indonesia dalam Halal Tourism di kancah internasional. Pada tahun ini Indonesia berhasil menjadi The Best The World Halal Tourism Destination 2019 versi GMTI (Global Moslem Tourism Index). Posisi Indonesia mengalahkan Malaysia, Turki, dan Arab Saudi.

Prestasi ini sangat menggembirakan mengingat di 2030 menurut data GMTI, jumlah pengunjung wisata muslim mencapai 230 juta. Namun di sisi lain, prestasi Indonesia tersebut bisa menurun kalau tidak kita jaga bersama.

Istilah Halal Tourism harus intensif dikomunikasikan sebagai pariwisata yang bersahabat, ramah, dan terbuka. Bukan dipersepsi sebagai pariwisata yang tertutup dan tidak aman untuk pengunjung wisata non muslim.

Hal tersebut diutarakan Pakar Ekonomi Kerakyatan, Frans Meroga Panggabean, disela-sela acara tersebut. Menurut Frans, berbagai acara seperti koneferensi ini perlu didorong agar masyarakat luas mengetahui bahwa Halal Tourism itu terbuka, bersahabat, dan mencatat kontribusi ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat.

"Halal Tourism sebenarnya hanya terminologi untuk kepentingan branding dan marketing," terang Frans. "Jadi memang masyarakat secara luas harus diberikan edukasi yang jelas agar tidak terjadi salah persepsi dengan istilah halal dan haram dalam terminologi agama," lanjut lulusan MBA dari University of Grenoble, Perancis ini.

Menpar Arief Yahya
Tim Penulis "The Ma'ruf Amin Way" bersama Menteri Pariwisata Dr. Arief Yahya dan Sekretaris Jenderal MUI Dr. Anwar Abbas.. foto: istimewa

Indonesia juga harus bisa menjaga citra sebagai negara muslim yang toleran dan terbuka, seperti halnya Malaysia, Turki, dan Emirat Arab. Di Indonesia sendiri ditunjukkan oleh Lombok yang merupakan destinasi muslim nomor satu di Indonesia versi Indonesia Muslim Travel Index (IMTI).

"Di Lombok kita lihat banyak turis luar negeri banyak berkunjung menikmati indahnya pantai dan keindahan alam lain dengan nyaman. Masyarakat Lombok juga sangat sadar bahwa pariwisata bisa menjadi andalan periuk nasi mereka," ujar Frans kembali yang merupakan tim penulis buku "The Ma'ruf Amin Way" ini.

Hal ini juga diamini oleh Sekretaris Jenderal MUI Dr. Anwar Abas. "Kita mengharapkan apa yang terjadi di Lombok bisa dijadikan benchmark destinasi pariwisata di daerah lainnya. Di tengah kelesuan ekonomi saat ini, pariwisata bisa menjadi terobosan untuk meningkatkan perekonomian setempat," harapnya.

"Kita harus yakin dengan didukung program-program yang tepat untuk mendorong destinasi Pariwisata Halal, target pemerintah untuk menjadikan pariwisata sebagai leading sector akan bisa tercapai dalam waktu dekat," ucap Frans menutup pernyataannya.

Tim Penulis "The Ma'ruf Amin Way" bersama Menteri Pariwisata Dr. Arief Yahya dan Sekretaris Jenderal MUI Dr. Anwar Abbas di sela International Halal Tourism Conference.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya