Liputan6.com, Jakarta - Sungai sangat penting dalam perjalanan perabadan manusia. Namun, sungai saat ini belum dimasukan sebagai bagian integral dari konsep maritim Indonesia. Padahal, akses masyarakat terhadap sungai itu sangat besar, bahkan di beberapa daerah, masyarakatnya menyebut sungai sebagai laut dan laut bagi mereka adalah sungai.
"Bagi masyarakat Jambi, jika ditanya mau ke mana, mereka akan bilang mau ke laut. Padahal, yang dimaksud ke laut bagi mereka adalah mau ke sungai," ujar peneliti dari Seloko Institute, Ratna Dewi, dalam webinar International Forum on Spice Route (IFSR) 2020, Rabu, 23 September 2020.
Advertisement
Baca Juga
Ratna mengungkapkan, konsep maritim yang ada saat ini belum secara utuh melibatkan mereka yang tinggal di pesisir, terutama pesisir sungai. Padahal, sungai adalah bagian dari sejarah yang membentuk identitas maritim Indonesia hari ini.
"Kerajaan maritim di Indonesia itu, seperti Sriwijaya dan lain-lain itu sangat ditentukan oleh sungai, bukan hanya pertukaran rempah, emas, kapas. Lalu lintas orang itu terjadi dari sungai. Lada itu dari pedalaman Minangkabau, itu tidak serta merta bisa dibawa ke laut, tapi harus melalui sungai lebih dulu," papar Ratna.
Bagi Ratna, peradaban-peradaban besar yang terjadi di dunia itu lahir, tumbuh, dan besar di tepi sungai. Peradaban besar mana pun berdekatan dengan sungai, begitu juga peradaban besar di Indonesia.
"Peradaban-peradaban besar di Indonesia itu lahir, tumbuh, dan besar juga di tepi sungai. Kedatuan Sriwijaya, Batanghari, Musi, dan Kampar. Ada juga yang menyebut bahwa Sriwijaya itu bermula dari Muara Takus dengan pertemuan dua sungai, Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kemudian kerajaan Melayu, kerajaan Mataram, Banjar, termasuk Batavia. Kalau kita baca buku-buku sejarah, Batavia itu sangat tergantung kehidupannya dengan Sungai Ciliwung," tutur Ratna.
Sungai pun dalam kajian akademisi, para sejarawan, itu sempat diabaikan dalam waktu yang relatif lama. Kalau pun ditulis, sungai tidak merupakan satu tema khusus, tapi tapi jadi bagian tema besar yang lain. Baru akhir-akhir ini gairah untuk meneliti dan menulis kembali sungai kembali muncul.
Berdasarkan catatan-catatan kolonial, para ahli geografi Belanda yang mengadakan ekspedisi dari Sumatera mencatat dengan detail tentang fungsi sungai, perubahan sungai, budaya dan masyarakatnya. "Informasi itu sangat berharga dan penting untuk melanggengkan kolonisasi di Nusantara," kata Ratna.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sungai Sebagai Tempat Sampah Raksasa
Di banyak daerah di pedalaman, sungai masih sangat hidup, seperti di Riau dan Sumatera Barat. Sungai adalah rahim dari tata nilai, adat istiadat, kearifan, sistem konservasi masyarakat.
Ratna mencontohkan, tradisi semah rantau di Sumatera yang merupakan tradisi ucap syukur terhadap panen yang baik selama setahun dilaksanakan di sungai. Begitu juga dengan tradisi lubuk larangan. Contoh tradisi yang masih hidup di masyarakat itu bukti bahwa masyarakat sangat arif mengelola sungai.
"Sebagai contoh yang lain, ada beberapa tradisi turun mandi di Minangkabau, ada juga tradisi mapangir, tradisi menjelang Ramadan. Ini semua tradisi yang masih hidup di banyak masyarakat. Mapangir ini, tidak hanya di ada di Sumatera, tapi juga di Jawa," imbuh Ratna.
Bagi masyarakat, sungai atau air itu locus yang suci dan menyucikan. Oleh karena itu, bayi yang sudah berumur 30 hari itu biasanya akan dibawa ke sungai untuk dimandikan atau turun mandi. Air itu akan membersihkan kotoran-kotoran yang dibawa saat ia dilahirkan.
Di masa lalu, sungai itu selain sebagai jalur perdagangan dan transportasi dan migrasi suku bangsa. Namun, saat ini terjadi pergeseran sungai
"Selain sebagai pemasok air untuk industri dan rumah tangga, sumber tenaga listrik, irigasi, dan yang paling memilukan, masyarakat kita memfungsikan sungai sebagai tempat sampah raksasa," kata Ratna.
Ratna menekankan, kejayaan maritim Indonesia pada masa lalu itu itu berpijak erat relasi antara samudera dan sungai-sungai. Oleh karena itu, gagasan maritim hari ini tidak boleh berhenti pada gagasan tentang laut.
"Padahal, yang tidak kalah penting itu interkoneksi antara sungai dan laut. Itu yang belum ada secara representatif dalam kebijakan kementerian maritim. Bahkan, sejak zaman kolonial hingga saat ini belum ada data yang pasti tentang berapa sungai yang ada di Indonesia," tandas Ratna Dewi.
Advertisement