Liputan6.com, Jakarta - Masa pandemi mengharuskan anak-anak belajar dari rumah secara daring. Situasi itu tak hanya menuntut anak untuk beradaptasi, tetapi juga para orangtua yang harus pandai berperan dalam mendukung belajar online anak. Pola asuh anak pun harus diseimbangkan dengan baik antara kegiatan belajar, bermain, dan bercengkerama bersama mereka.
Nyatanya, banyak orangtua merasa kesulitan dengan kegiatan belajar online yang mengharuskan mereka menaruh perhatian ekstra pada kegiatan anak di rumah. Pasalnya, banyak orangtua, khususnya para ibu, yang masih harus bekerja dan mengurus rumah. Menumpuknya pekerjaan di rumah akhirnya mengakibatkan rasa kewalahan dan stres emosional yang berdampak pada anak.
Advertisement
Baca Juga
Berkaitan dengan kegiatan mengasuh anak selama belajar dan bermain di rumah, Donna Agnesia membagikan pengalamannya dan tipsnya bagi para ibu di rumah. Hal itu disampaikan dalam webinar HUT kedua komunitas Sahabat Ibu Pintar yang diusung perusahaan e-commerce Blibli.
Baginya, bagian utama dalam usaha mendidik anak adalah cara komunikasi yang tepat, terlebih saat membimbing dan membantu mereka dalam pembelajaran daring. "Kita harus mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu bertanggung jawab terhadap tugas-tugas mereka. Kalau ada kesulitan, anggota keluarga lain bisa diajak membantu, jadi memang kita berusaha untuk bekerja sama supaya pembelajaran online di rumah dapat berjalan baik, termasuk pengumpulan tugas," ujar Donna dalam webinar bertema Parenting Happy Hadapi Pandemi, Sabtu, 26 September 2020.Â
Hal itu juga dibenarkan oleh Najeela Shihab, Kepala Sekolah.mu yang mengatakan bahwa orangtua harus ingat tujuan pembelajaran anak. Menurutnya, penting bagi anak untuk dapat mengenal tanggung jawab, berinovasi, berkomunikasi, atau bisa merefleksikan diri melalui tahap pembelajarannya.
"Kita bukan sekadar mau anak hafal banyak, bukan sekadar dapat nilai tinggi, walaupun akhirnya sang ibu yang yang mengerjakan. Kita itu sesungguhnya sedang menumbuhkan kompetensi anak yang penting buat masa depan mereka," katanya menambahkan.
Maka, Donna dan Najeela mengatakan bahwa perlu untuk membiasakan komunikasi sebelum dan setelah anak belajar atau mengerjakan tugas agar mereka paham tujuan belajar tersebut. Jika anak mulai kewalahan dengan pekerjaan rumahnya, orangtua lah yang berperan untuk memberi pengertian betapa pentingnya kewajiban itu mereka selesaikan, bukan dengan memaksa mereka untuk melakukannya, atau bahkan mengancam anak.
"Kalau mereka merasa tugasnya terlalu banyak, orangtua bisa mengajak anak untuk mengerjakannya secara bertahap, tidak perlu sekaligus," ujar Najeela.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Atur Penggunaan Gawai
Anak cenderung akan merasa jenuh jika terlalu banyak belajar atau harus dihadapkan dengan tugas sekolah yang menumpuk, sehingga mereka lebih banyak bermalas-malasan dan menghabiskan waktu luang dengan bermain gim atau kegiatan lainnya dengan gawai mereka. Bagi Donna dan Najeela, tidak ada salahnya memberi waktu bermain bagi anak, tetapi semuanya harus dilakukan dengan tepat dan seimbang dengan kegiatan fisik lainnya.
"Yang namanya online dan offline learning akan selalu jadi bagian dari pendidikan di masa depan dan sekarang ini. Makanya, perlu dibiasakan untuk blender learning waktu berhadapan depan layar dengan aktivitas fisik," ungkap Najeela.
Baginya, banyak juga anak yang menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar komputer atau gawai malah berujung pada kegiatan negatif. Untuk itu, orangtua perlu menciptakan suasana belajar dan bermain di rumah yang menyenangkan bagi anak. "Kalau ada aktivitas menyenangkan lain, mereka bisa menyeimbangkan off screen dan on screen," katanya lagi.
Donna juga berpendapat terkait aktivitas fisik dan kehidupan sosial anak-anak. Baginya, penting sekali untuk menghabiskan waktu bersama anak, seperti belajar sambil bermain, membaca buku bersama, atau berolahraga bersama untuk mengajarkan nilai-nilai dalam kehidupan, selain pendidikan di sekolah.
"Cari kegiatan bersama yang juga ada isinya, ga sekadar main untuk kesenangan sesaat, tapi ada suatu hal yang bisa jadi bekal mereka untuk kemudian hari, seperti permainan board game yang ada unsur edukasinya," ucapnya.
Advertisement
Cari Waktu untuk Sendiri
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menunjukkan ada 3.928 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan sejak Januari hingga Juli 2020, melansir Liputan6.com, Sabtu (26/9/2020). Survei juga membuktikan, banyak kekerasan fisik maupun verbal diterima anak terkait permasalahan sistem belajar online, seperti mencubit, memukul, hingga merendahkan kemampuan anak.
Donna menyadari bahwa munculnya stres dan rasa kesal saat menghadapi anak-anak adalah hal yang wajar bagi semua orangtua. Namun, emosi tersebut tidak seharusnya dilampiaskan kepada anak. Sebagai orangtua, melepaskan stres bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti bercerita dengan suami atau kerabat dekat, beristirahat sejenak dengan melakukan hal yang digemari, dan lainnya. Â
"Jangan ketika kita stres lalu dilimpahkan ke anak, karena yang harus selalu kita sadari adalah anak-anak tidak akan pernah tahu masalahnya orangtua karena mereka tidak pernah jadi orangtua, tapi kita pernah menjadi anak-anak," ungkapnya.
Donna juga mengatakan akhir-akhir ini dirinya juga menghindari berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya, walaupun sebagai orangtua meminta maaf dan menjelaskan kepada anak duduk permasalahannya. "Pada dasarnya anak itu tidak suka diomelin. Aku juga belajar banyak banget semasa pandemi ini, kuncinya memang anak harus bisa diajak berkomunikasi, dan harus dibiasakan," katanya menambahkan.
Najeela juga menambahkan bahwa memang sulit bagi orangtua mengelola emosi di masa sulit, tetapi kemampuan untuk mengendalikan emosi sangatlah dibutuhkan. Orangtua sesungguhnya dapat meminta waktu untuk sendiri dulu, agar emosi dapat segera reda dibandingkan melampiaskannya kepada anak.
"Hindari hubungan dengan kekerasan, marah-marah atau memukul itu adalah tindakan yang tidak pernah ada gunanya, malah akan menimbulkan rasa ingin membangkang (dari anak)," katanya. "Jangan pernah menganggap anak itu punya niat jahat kepada orangtua saat anak misbehave, itu cara mereka untuk menyampaikan kebutuhan mereka."Â (Brigitta Valencia Bellion)