Cerita Akhir Pekan: Darurat Sampah Plastik di Masa Pandemi

Pengurangan sampah plastik rumah tangga yang meningkat selama pandemi bisa dilakukan dengan mulai masak sendiri di rumah.

oleh Henry diperbarui 10 Okt 2020, 13:03 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2020, 08:30 WIB
Ilustrasi sampah plastik
Ilustrasi sampah plastik. (dok. RitaE/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

Liputan6.com, Jakarta Masalah sampah, terutama sampah plastik, masih jadi tantangan yang harus dijawab tuntas. Penanggulangan tentu tak mudah, meski sejumlah peraturan telah diberlakukan. 

Tak bisa dihindari bahwa pandemi melahirkan sederet kebiasaan baru. Salah satunya tampak pada kebiasaan makan yang memanfaatkan jasa pengantaran makanan karena banyak restoran meniadakan layanan makan di tempat.

Menurut Ujang Solihin Siddik selaku Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI dalam jumpa pers virtual program Dropbox Sampah Kemasan, akhir September lalu, jumlah sampah di kawasan bisnis, hotel, dan restoran memang menurun.

Namun, jumlah sampah rumah tangga meningkat selama pandemi, Peningkatan jumlah sampah rumah tangga terjadi seiring kebijakan bekerja dan belajar dari rumah. Hal itu membuat sejumlah masyarakat memesan produk makanan secara daring dengan sebagian besar kemasannya memanfaatkan plastik, terutama plastik sekali pakai.

Lalu, bagaimana menanagani masalah sampah plastik di masa pandemi?  Menurut Ujang, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan bank sampah. Sayangnya, program bank sampah di Indonesia berjalan lambat karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah. Berdasarkan data Sustainable Waste Indonesia tahun 2018, Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun, di mana 3,2 juta ton per tahun masuk ke laut.

Dengan kondisi ini, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia. Besarnya jumlah sampah tersebut bersumber dari rumah tangga sebesar 48 persen, pasar tradisional 24 persen, kawasan komersial sembilan persen, dan sisanya dari fasilitas publik.

Dari jumlah sampah tersebut, hanya tujuh persen yang berhasil didaur ulang. Sedangkan, 69 persen berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan 24 persen dibuang tanpa izin.

Ujang menegaskan, upaya edukasi ini seharusnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan segenap elemen lain, khususnya swasta yang memproduksi kemasan plastik untuk produk tertentu. Selama pandemi, keterlibatan tim medis dan rumah sakit juga harus ditingkatkan seiring makin banyaknya sampah plastik kegiatan medis akibat pandemi Covid-19. 

"Ini tantangan berat dan harus diselesaikan dengan pemda, yayasan, dan sarana prasarana lain. Sebagian masyarakat belum punya kesadaran dan pemahaman yang benar sehingga pemerintah dan dunia usaha harus bersinergi. Masyarakat kita juga harus diedukasi dalam memilah sampah karena untuk buang sampah pada tempatnya saja masyarakat kita belum lulus," terangnya.

Mengenai sampah plastik rumah tangga yang meningkat selama pandemi, ia mengusulkan agar masyarakat mengurangi jajan online dan mulai masak sendiri di rumah.

"Beli makan atau belanja di luar rumah juga tak masalah, yang penting bawa kantong sendiri atau tas belanjaan sendiri yang ramah lingkungan," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Manfaatkan Barang di Rumah

Aksi Tolak Plastik Sekali Pakai
Aktivis pemerhati lingkungan mengarak monster plastik saat aksi Tolak Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Sabtu (20/7/2019). Monster plastik itu berupa rangka berbentuk ikan jenis anglerfish yang ukurannya sebesar mobil sampah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Hal senada juga disarankan Tiza Mafira dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Menurut wanita yang ikut memperjuangkan dihapusnya kantong plastik dari mini market, supermarket, maupun toko-toko besar lain di Jakarta ini, biasakanlah menggunakan produk yang dapat digunakan berulang kali.

"Biasakanlah memanfaatkan barang-barang yang sudah ada di rumah. Seperti bawa tas untuk belanja, bawa kontainer untuk wadah daging atau ikan mentah, tas jaring untuk buah-buahan, rantang untuk takeaway makanan. Selain mengurangi plastik, lebih terjamin juga kebersihannya karena kita membersihkan sendiri," terangnya pada Liputan6.com, Jumat, 9 Oktober 2020.

Ia mengakui penanganan sampah plastik di masa pandemi terasa lebih sulit. Pasalnya, konsumen yang sudah ingin mengurangi pemakaian plastik sekali pakai pun merasa tak berdaya karena tak ada pilihan non-plastik dari vendor pengirim barang maupun kurir. Di samping, sosialisasi ke pedagang pasar tradisional dan warung juga lebih sulit karena bersifat individu, juga informal.

"Pasar tradisional sebenarnya sudah diatur oleh Pergub 142. Jadi, kalau konsumen menemukan pelanggaran, bisa dilaporkan ke DLH Pemprov DKI Jakarta. Ada mekanisme di mana pasar bisa kena teguran, dan kalau berkali-kali melanggar, bisa kena sanksi," jelasnya.

Pendapat serupa juga dilontarkan Febri Pratama Putra selaku Chief Technology Officer & Co-Founder Gringgo. Gringgo sendiri merupakan perusahaan olah sampah asal Bali yang mencoba menyelesaikan masalah sampah melalui aplikasi. Febri menyarankan, mereka yang memesan barang atau makanan mungkin bisa minta diantar tanpa kantong plastik atau utensil plastik.

Selain itu, kurangi pembelian daring yang tak perlu. Sedangkan, untuk mengurangi sampah kemasan plastik dan memilah sampah di rumah bisa juga diberikan pada pemulung untuk di daur ulang. Ia menambahkan, regulasi mungkin bisa dibuat lebih ketat, namun pergerakannya harus dibarengi upaya masyarakat.

Bawa Kemasan Besar Saat Belanja

Berbagi Edukasi Sampah Plastik Bersama Tiza Mafira di BukaTalks. Sumberfoto: Bukalapak
Berbagi Edukasi Sampah Plastik Bersama Tiza Mafira di BukaTalks. Sumberfoto: Bukalapak

"Masyarakat masih tetap menggunakan plastik karena itu adalah media yang cukup murah dan mudah didapat. Namun, sekarang penggantinya sudah banyak dan mungkin bisa lebihdiketatkan untuk menggunakan alternatif plastik," terang Febri, Jumat, 9 Oktober 2020.

Pendapat lain dikemukakan Ica Marta Muslin, Koordinator Indonesian Waste Program (IWP). Ia mengakui bahwa penangan sampah di masa awal pandemi memang agak sulit karena petugas sampah merasa khawatir dengan penularan melalui sampah masker dan barang serupa. Alhasil, muncul beban yang cukup tinggi di TPA. Namun, sejak terjadi pelonggaran Juli lalu, situasi mulai berangsur normal.

"Di beberapa kota mungkin WFH sangat berdampak terhadap peningkatan jumlah plastik sekali pakai karena makanan online. Tapi, di banyak kota kecil yang terjadi justru sebaliknya karena terjadi penurunan kemampuan belanja yang cukup signifikan. Itu bisa dilihat dari tren grow your own food, yang menurut kami malah merupakan blessing in disquise untuk pengurangan masalah sampah," tuturnya.

Ica juga menyarankan, bagi yang ingin belanja, sebaiknya dalam waktu tertentu saja dengan membawa kemasan besar. "Secara harga, belanja banyak biasanya akan lebih murah. Lalu, bisa mengurangi waktu untuk keluar rumah, dan pilihan kemasan besar bisa didaur ulang akan jauh lebih baik daripada penggunanaan kemasan-kemasan kecil," tambahnya.

Tak hanya masyarakat dan pemerintah, apakah para produsen, terutama usaha mengantar barang atau makanan yang banyak memakai kemasan plastik, juga berusaha mengurangi penggunaan plastik maupun kantong plastik? Salah satu e-commerce platform di Indonesia, Tokopedia, menegaskan dukungan mereka untuk mengurangi konsumsi plastik.

Menurut Ekhel Chandra Wijaya selaku External Communications Senior Lead Tokopedia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 8 Oktober 2020, Tokopedia tak menyuguhkan botol plastik sekali pakai pada semua tamu yang hadir, juga terus mengimbau seluruh Nakama (karyawan Tokopedia) mengurangi penggunaan plastik.

Usung Produk Ramah Lingkungan

Google AI
Febriadi Pratama, Co-founder Gringgo Indonesia Foundation saat di acara Google Solve with AI. (Liputan6.com/ Yuslianson)

Tokopedia juga secara konsisten memberi panggung pada para pelaku usaha lokal, termasuk mereka yang mengusung produk berkonsep ramah lingkungan.

"Contohnya Demi Bumi. Salah satu pegiat UMKM di Tokopedia ini berinisiatif memasarkan berbagai produk dan kemasan ramah lingkungan, seperti tas yang didaur ulang dari vitrase gorden atau sisa kain dari industri tekstil," terangnya.

Masyarakat juga diimbau untuk menggunakan ulang kantong plastik atau kardus sebagai salah satu upaya mengurangi konsumsi plastik dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menjaga keberlangsungan lingkungan.

Langkah yang tak jauh berbeda juga dilakukan Blibli. Mereka memiliki inisiatif ramah lingkungan, khususnya untuk pengurangan penggunaan plastik dalam operasional bisnis, lewat kampanye #BlibliCintaBumi #AksiCintaBumi.

Dalam keterangan tertulis pada Kamis, 8 Oktober 2020, program ini ditujukan untuk mengedukasi karyawan dan mengajak pelanggan Blibli mulai menjalankan gaya hidup peduli lingkungan untuk kelangsungan hidup alam. Blibli mengajak karyawan dan pelanggannya untuk mengelola sampah plastik dan mengembalikan kardus bekas yang mereka miliki, baik dari hasil berbelanja di Blibli ataupun tempat lain.

Sampah plastik dan kardus bekas ini dapat diberikan ke Blibli melalui kurir BES pada saat mereka mengantar barang pesanan pada pelanggan atau melalui #BlibliCintaBumi Collection Boxes yang tersebar di berbagai titik lokasi Jabodetabek. Selain itu, pada halaman khusus #BlibliCintaBumi terdapat kurasi produk ramah lingkungan.

Harga Tidak Bersahabat

Wrapping paper digunakan untuk menjadi filler material pengganti bubble wrap di dalam kemasan Blibli.
Wrapping paper digunakan untuk menjadi filler material pengganti bubble wrap di dalam kemasan Blibli. foto: dok. Tokppedia

Kampanye Blibli ini mendapat respon positif dari pelanggan. Hingga saat ini, sudah lebih dari lima ribu pelanggan dari beberapa daerah di Jabodetabek yang turut berpartisipasi dalam mengumpulkan kardus bekas Blibli melalui kurir BES.

Meski begitu, belum semua produsen bisa mengurangi sampah plastik. Salah satunya, Gorry Gourmet, sebuah perusahaa rintisan katering diet sehat di Jakarta. Meski sudah berencana dan berusaha mengurangi penggunaan kemasan plastik, mereka belum bisa menerapkannya secara maksimal untuk saat ini.

Dalam keterangan tertulis pada Jumat, 9 Oktober 2020, pihaknya belum bisa bebas platik 100 persen karena terkendala suplai barang yang terbatas. Ditambah lagi harga kemasan lebih ramah lingkungan yang kurang bersahabat karena bisa dua sampai tiga kali lipat lebih mahal.

Menurut Herry Budiman selaku CEO Gorry Holdings, untuk wadah atau kompartemen selain plastik tidak stabil dan implikasinya pelanggan kurang puas, bahkan sampai komplain. Ditambah, selama pandemi, banyak pelanggan meminta tambahan pengaman untuk delivery.

Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat
Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya