Seputar Toxic Masculinity di Kalangan Lelaki dan Cara Memutus Lingkarannya

Toxic masculinity adalah salah satu pemahaman yang banyak dianut pria atas pandangannya terhadap wanita. Apa yang membuatnya jadi bermasalah?

oleh Dinny Mutiah diperbarui 01 Feb 2021, 11:17 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2021, 11:16 WIB
Ilustrasi Teman, Sahabat
Ilustrasi teman sahabat pria. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Istilah toxic masculinity belum banyak dikenal publik. Secara sederhana, Public Relation Yayasan Pulih Wawan Suwandi mendefinisikannya sebagai pemikiran bahwa lelaki akan terlihat lebih keren bila bisa mengganggu semakin banyak perempuan.

"Di psikologi, toxic masculinity itu menganggap pria memiliki kuasa atas tubuh perempuan," kata Wawan dalam webinar edukasi Ambil Bagian! Bersama Lawan Kekerasan Seksual, Rabu, 27 Januari 2021.

Pemahaman tersebut bukan muncul tiba-tiba. Pola asuh orangtua turut berkontribusi pada berkembangnya toxic masculinity di kalangan pria. Menurut Wawan, saat mempersiapkan anak lelaki sebagai sosok superior, orangtua secara tak sadar sedang menjebak anak ke dalam konsep tersebut.

"Kita sering melihat anak laki-laki nangis atau curhat itu diomeli. Anak laki-laki selalu dibilang harus kuat, jangan nangis karena akan jadi pemimpin. Secara tak langsung, itu sedang persiapkan jebakan masuk ke toxic masculinity," tutur dia.

Pola asuh tersebut juga membuat lelaki lebih sulit memahami emosi orang-orang sekitarnya. Di sisi lain, laki-laki juga kesulitan mengungkapkan perasaannya saat bermasalah. Didikan orangtua memaksanya harus memendam semua sendiri di hatinya.

"Masalah yang terus dipendam ini akan jadi bom waktu. Bisa dilihat, angka bunuh diri banyak didominasi laki-laki karena anak laki-laki tidak punya kanal untuk menyalurkannya," ujar Wawan.

Maka itu, ia menganjurkan orangtua tidak memilah-milah gender. Wawan mengatakan tak masalah bila anak lelaki bermain boneka, tetapi diarahkan dengan tepat. Misalnya, lewat boneka, orangtua bisa mengajarkan anak lelakinya bagaimana cara menyayangi adiknya atau anak yang lebih kecil darinya.

"Ketika dia sudah besar, dia punya adik, sudah terbiasa dengan permainan mengasuh adiknya. Sementara setelah berkeluarga, dia akan jadi ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak," ucap dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Cinderella Syndrome

Ilustrasi ibu dan anak perempuan
Ilustrasi ibu dan anak perempuannya. (Photo by Fonsi Fernández on Unsplash)

Sementara itu, perempuan juga dididik agar tidak terjebak dalam cinderella syndrome. Sindrom tersebut membuat perempuan di alam bawah sadarnya menganggap lelaki adalah penyelamatnya sehingga semua pria itu akan dipandang baik.

"Padahal, laki-laki juga bisa berpotensi jadi predator seksual," kata Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah.

Orangtua dan pendidik perlu menjelaskan soal sistem pemberitahuan dini kepada setiap anak perempuan mereka perihal ini sejak awal. Yulianti mengingatkan agar saat penjelasan disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami agar bisa lebih dimengerti.

"Kalau tubuhmu disentuh, nyaman tidak, oleh orang lain? Kalau enggak nyaman, itu bagian dari kekerasan seksual," Yulianti mencontohkan.

Sistem pemberitahuan dini dalam hal ini berkaitan dengan peningkatan kewaspadaan, bukan semata berpikiran buruk. "Kewaspadaaan itu penting. Disebut sebagai ijtihad," kata dia.

 

Tarik Ulur RUU PKS

Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya