Liputan6.com, Jakarta - Kasus pelecehan seksual, termasuk perkosaan, di Indonesia bak gunung es. Jumlahnya tampak sedikit, padahal aslinya tak demikian. Dalam sebuah survei yang digelar Lentera Lintas, hanya tujuh persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan hanya satu persen yang diproses hukum.
"Hanya sedikit (korban perkosaan) yang bersuara, sebagian besar diam, trauma, depresi, dan tidak sedikit yang mengakhiri hidup," kata Aryo Widiwardhono, CEO The Bodyshop Indonesia, dalam webinar edukasi Ambil Bagian! Bersama Lawan Kekerasan Seksual, Rabu, 27 Januari 2021.
Salah satu yang bersuara adalah Kartika Jahja, penulis dan pencipta lagu. Ia mengaku mengalami perkosaan saat berusia enam tahun. Selama 25 tahun, ia memilih menutup mulut terkait kejadian mengerikan yang dialaminya.
Advertisement
Baca Juga
"Kenapa saya diam dan menyimpan sendiri? Karena saya hidup dalam budaya patriarki yang kuat, yang disalahkan adalah korbannya," kata Tika, panggilannya.
Memendam semua pengalaman buruk itu tidaklah mudah. Tika mengaku depresi hingga beberapa kali mencoba mengakhiri hidup saat usianya belum memasuki masa remaja.
Tika baru berani bersuara setelah bertemu dengan penyintas lain yang juga punya pengalaman menjadi korban kekerasan seksual. Sejak itu, ia mulai merasa tidak sendirian, malu, memiliki aib, merasa bersalah, ataupun merasa kotor.
"Itu semua hilang. Yang harusnya malu dan dihukum bukan saya, korban, tapi pelakunya," sahut dia.
Ia menyebut persaudarian menjadi simpul penting untuk memecah kebisuan para korban sekaligus membantu mentransfromasi mereka dari korban perkosaan menjadi penyintas. Ia pun mulai berjuang lewat media yang dia miliki, seperti musik, desain, dan film.
"Nekatnya come out sebagai survivor itu pertama kali di media massa, di koran. Di situ banyak yang mulai menghubungi saya, berbagi cerita. Jadi, langkah pertama ya bersuara dulu kepada orang yang percaya dan tidak menghakimi," tutur Tika yang juga kerap berbagi pengalamannya lewat media sosial.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Jangan Paksa Korban Bercerita
Sementara, Wawan Suwandi, Public Relations Yayasan Pulih, mengingatkan agar publik menunjukkan empati saat menghadapi korban kekerasan seksual. Ketidakpekaan akan membuat korban makin terpuruk, apalagi sampai menyebarkannya ke media sosial hanya demi mendapat likes dari warganet.
"Saat mengalami itu, korban pasti sangat syok, dikuasai perasaan malu, bingung, bahkan salahkan diri sendiri," ujarnya.
Hal yang tidak boleh dilakukan adalah tidak meminta korban bercerita, tetapi menunggunya siap. Bila dipaksa, akan menimbulkan trauma sama besarnya saat mengalami perkosaan tersebut.
"Memaksakan itu sama seperti mengorek luka," dia mengingatkan.
Banyak alasan korban tak bercerita. Di samping harus menangani segala perasaan yang dialami diri sendiri, korban juga mempertimbangkan kemungkinan pemerkosa bakal balas dendam. Di sisi lain, ada pula yang meragukan proses hukum dan takut keterangannya tidak dipercaya.
"Kalau korban menunda atau tidak melapor, bukan berarti kasus tidak terjadi, tapi ada beban yang lainnya," sahut Wawan.
Advertisement
Pentingnya Pengesahan RUU PKS
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah kembali menekankan pentingnya segera mengesahkan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kembali masuk Prolegnas DPR pada tahun ini. RUU tersebut penting untuk mengisi kekosongan hukum terkait perlindungan terhadap korban pelecehan seksual.
Dalam produk hukum yang ada, khusus KUHP, pemerkosaan didefinisikan terlalu sempit, yakni hanya penetrasi penis ke vagina dan ada sperma. Dalam banyak kasus, kekerasan seksual tidak selalu demikian.
Produk legislasi yang ada juga mengadopsi pemulihan kondisi korban kekerasan seksual. Sementara, hal itu diatur dalam RUU PKS. Namun, beberapa pihak berusaha mendeviasi RUU ini dengan isu-isu lain yang akhirnya kontraproduktif.
"Di masyarakat ada yang meyakini RUU ini produk Barat, padahal kenyataannya tidak," ujar Yulianti.
Ia mengatakan hukum Islam pun mengatur soal itu. Ia juga menerangkan cara Nabi Muhammad SAW menangani persoalan yang serupa di masanya, disebut sebagai hirabah atau muharib. Kesaksian korban didengarkan dan identitasnya dilindungi.
"Bahkan saat korban salah menunjuk pelaku, Nabi tidak menghukumnya," kata Yulianti.