Liputan6.com, Jakarta - Pancasila merupakan titik temu dari segala macam ideologi, agama, identitas. Titik temunya terdapat dalam nilai-nilai dasar yang terdapat dalam esensi pokok manusia.
"Manusia harus dikembalikan kepada esensi pokoknya. Manusia itu makhluk jasmani dan rohani. Oleh karena itu, setiap fitrahnya manusia itu kebutuhan dasarnya harus dipenuhi, sandang, papan, pangan. Manusia jika kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi, maka insting kebinatangannya akan muncul," ujar Pakar Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, dalam dialog nasional "PANCASILA-IS-ME: Nilai-Nilai Pancasila Untuk Indonesia Maju dan Bahagia”, yang diselenggarakan secara daring, Jumat, 11 Juni 2021.
Advertisement
Baca Juga
Manusia juga tidak cukup untuk dipenuhi kebutuhan materialnya. Sekarang banyak negara yang tingkat bunuh dirinya tinggi, seperti terjadi pada artis K-pop dan lain-lain.
"Artinya, perkembangan rohaniahnya juga perlu dipenuhi. Oleh karena itu, hak orang untuk beribadah harus dipenuhi, begitu juga dengan hak orang untuk mendirikan rumah ibadah harus dipenuhi," imbuh pengarang buku Negara Paripurna.
Kata Yudi, manusia itu makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Setiap individu tercipta secara istimewa dengan bawaan kodratnya masing-masing.
"Oleh karena itu, hak individu untuk mengembangkan diri menjadi versi terbaik dari dirinya itu penting untuk dijamin oleh negara ini. Saat yang sama bagaimana keistimewaan pribadi itu tidak menimbulkan chaos bagi kebersamaan," tutur Yudi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Keistimewaan Pribadi
Keistimewaan pribadi, kata Yudi, harus menjadi harmoni bagi kebersamaan. Karena individu yang baik hanya akan tumbuh optimum dalam lingkungan kolektif yang baik.
Dalam lingkungan kolektif yang buruk, pribadi-pribadi yang baik bisa menjadi buruk. Oleh karena itu, perlu keseimbangan antara memenuhi hak individu dan hak kolektif.
"Jika sistem politik menekankan pada kolektivisme, seperti Uni Soviet, maka akan gagal. Kalau menekankan pada individualisme, ternyata individu itu ada yang oportunis, bisa serakah, itu bisa menimbulkan krisis ekonomi seperti di Amerika pada 2008," imbuh penulis buku Genealogi inteligensia: pengetahuan & kekuasaan inteligensia Muslim Indonesia abad XX.
Berikutnya, lanjut Yudi, manusia itu makhluk universal, sekaligus makhluk partikular. Manusia itu apapun ras dan warna kulitnya punya keterkaitan universal.
"Kalau kita belek, warna darah kita sama merah dan tulang kita sama putih. Jika kita susuri lewat biologi molukuler, manusia itu bermula dari induk yang sama," jelas Yudi.
Advertisement
Ruang dan Waktu
Namun, pada saat yang sama selama manusia terikat pada ruang dan waktu. Ruang dan waktu itu manusia hidup berbeda-beda. Ada yang hidup di padang pasir, ada yang hidup di savana, ada juga yang hidup di kawasan hijau.
"Manusia itu bukan seperti binatang yang asal ikut alam. Tapi manusia itu harus bisa memodifikasi alam sehingga melahirkan budaya, karena lingkungan yang spesifik dapat melahirkan karakter-karakter budaya khas yang partikular. Oleh karena itu, globalisasi tidak bisa menghabisi keragaman atau pluralitas manusia," kata Yudi.
Supaya partikularitas tidak anarki maka harus ditarik dalam bentuk nation state, dalam satu kesamaan geopolitik. "Sehingga keragaman, lokalitas, itu dipersatukan dalam civic nationalism, secara internasional kita akan membentuk kosmopolitanisme yang mengarah pada persaudaran bangsa-bangsa di dunia," tandas Yudi.