Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi semakin hari semakin maju dan sulit dibendung. Berbagai inovasi baru pun bermunculan, termasuk di bidang makanan. Salah satunya adalah inovasi daging yang dibuat dari udara dan diprediksi jadi makanan di masa depan.
Teknologi makanan saat ini sudah berhasil menciptakan daging dengan bahan nabati. Tekstur dan rasanya dianggap sangat mirip dengan daging pada umumnya. Daging nabati ini diklaim menjadi solusi untuk mengurangi konsumsi daging biasa.
Sebuah perusahaan start-up yang berbasis di California, Amerika Serikat, Air Protein, mengembangkan daging yang terbuat dari udara. Melansir CNN, Selasa, 15 November 2022, daging dari udara ini dibuat dengan menggunakan teknik transformasi karbon untuk membuat protein dan menyerupai daging.
Advertisement
Baca Juga
Teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan sains berkelanjutan Kiverdi ini terinspirasi dari konsep siklus karbon loop tertutup NASA (Badan Antariksa Amerika Serikat). Siklus itu mengubah karbon dioksida yang diembuskan oleh para astronaut menjadi protein selama menjalani misi di luar angkasa.
Proses mengubah karbon menjadi protein ini disebut hanya berlangsung dalam hitungan jam saja. Proses ini dibuat dalam tangki fermentasi yang berisi karbon dioksida dan berbagai nutrisi.
Hasil akhir dari proses ini adalah zat dengan profil asam amino, sama seperti protein daging yang dapat digunakan dalam burger, pasta, sereal, dan minuman. Menurut Kiverdi, teknologi ini menggunakan 10 ribu kali lebih sedikit tanah dan 2.000 kali lebih sedikit air dibandingkan proses pertanian pada umumnya.
Daging berbasis udara juga bebas dari pestisida, herbisida, hormon, atau antibiotik. Belum diketahui secara pasti bagaimana rasa daging dari udara ini. Rencananya daging dari udara ini mulai bisa dinikmati tahun depan.
Alternatif Daging yang Lebih Murah
Daging alternatif sangat dibutuhkan untuk menjaga pangan global. Pertumbuhan populasi membuat petani perlu meningkatkan pangan sebanyak 70 persen, sedangkan pertambahan tanah hanya 5 persen. "Kita perlu memproduksi lebih banyak makanan dengan mengurangi ketergantungan pada sumber daya tanah dan air. Daging berbasis udara mengatasi masalah sumber daya ini dan banyak lagi." kata ilmuwan sekaligus CEO Air Protein Lisa Dyson dalam sebuah pernyataan.
"Para ilmuwan d NASA selalu punya pemikiran berbeda. Kalau kita ingin melakukan sesuatu yang revolusioner dan baru tentang perubahan iklim, kita juga harus punya pemikiran berbeda," lanjutnya. Sampai saat ini, jumlah daging alternatif baru mencapai 1 persen dari keseluruhan industri daging global. Angka ini diprediksi naik pada 2029 menjadi 10 persen.
Menurut Dyson, saat ini dunia ketergantungan dengan daging nabati. Tapi, daging berbasis udara merupakan sebuah evolusi yang berkelanjutan. "Ini akan berfungsi sebagai salah satu solusi untuk memberi makan populasi yang tumbuh tanpa membebani sumber daya alam," terangnya.
Dengan mengandalkan mikroba pemakan CO2, Dyson mengklaim bahwa Air Protein bisa menjadi alternatif daging yang lebih murah dan berkelanjutan. Produk ini mengandalkan elemen udara yang kita hirup, sehingga jumlahnya dianggap bisa melimpah. Hal itu membuat industri daging udara diyakini bisa lebih efisien dibandingkan daging asli maupun daging buatan lainnya.
Keuntungan lain dari produk protein berbasis udara ini adalah waktu produksi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk merawat sapi dan menghasilkan daging sapi. Sedangkan daging nabati butuh waktu berbulan-bulan untuk menunggu masa panen kedelai.
Advertisement
Gas Rumah Kaca
Sementara daging berbasis udara diklaim bisa diproduksi hanya dalam hitungan hari. Air Protein diharapkan bisa menjadi solusi makanan di masa depan sebagai salah satu sumber protein. Dyson memutuskan untuk fokus di industri makanan karena mendapatkan fakta bahwa industri ini menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca dibandingkan sektor transportasi.
Industri makanan gobal telah menghasilkan sekitar 17,3 miliar ton metrik emisi karbon dioksida, hampir 19 kali jumlah yang dihasilkan oleh penerbangan internasional atau sekitar 35 persen dari semua jumlah emisi yang disebabkan oleh manusia, menurut sebuah studi dari University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat. Dengan populasi global diprediksi mencapai 9,8 miliar jiwa pada 2050, konsumsi daging juga diperkirakan akan semakin meningkat.
Hal itu tentunya membutuhan tanah pertanian dan peternakan yang semakin besar. Situasi itu bisa menimbulkan degradasi tanah yaitu suatu proses yang mengakibatkan penurunan kapasitas tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Secara umum, degradasi tanah berarti penurunan kualitas tanah, dalam arti menghilangnya satu atau lebih fungsi tanah Peternakan sapi juga menyebabkan berkurangnya jumlah air bersih di bumi. Zat pencemaran air oleh peternakan berasal dari antibiotik, hormon, bahan kimia dari pengulitan hewan, pupuk, dan pestisida yang disemprot ke tanaman untuk menghasilkan pakan ternak.
Daging Sapi dan Lingkungan
Melansir laman National Geographic, daging sapi yang berasal dari mamalia yang diternakkan memang disukai oleh banyak orang, karena tekstur dan rasanya yang lebih enak dibandingkan daging ayam dan ikan. Daging sapi juga mengandung kalori yang tinggi sehingga dapat meningkatkan berat badan, terutama bagi kalian yang ingin menambah berat badan.
Mengurangi makan daging adalah salah satu cara mudah untuk hidup lebih berkelanjutan demi menjaga kelestarian lingkungan. Lalu, apa sebetulnya hubungan konsumsi daging sapi dengan lingkungan?
Jika jumlah emisi karbon terus meningkat, maka dapat mempercepat terjadinya perubahan iklim. Perubahan Iklim adalah perubahan signifikan yang terjadi pada suhu, curah hujan, dan angin yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama, bisa dalam satu dekade atau bahkan lebih. Dan dampak yang ditimbulkan seperti kerusakan ekosistem laut, masalah kebutuhan pangan, cuaca ekstrim, bencana alam (seperti banjir dan kekeringan), serta mengganggu kesehatan dan penyebaran berbagai penyakit (misalnya penyakit malaria).
Untuk mengakomodasi area peternakan sapi menyebabkan para peternak sapi untuk menebang atau membakar hutan (pepohonan) untuk membuka lahan peternakan.Sedangkan kita tahu bahwa pohon sangat berguna untuk mengubah gas karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) bagi kehidupan manusia.
Advertisement