Liputan6.com, Jakarta Fesyen berkelanjutan semakin jadi perhatian di tengah krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan, di mana sampah produk fesyen jadi penyumbang polusi nomor dua. Praktik fesyen berkelanjutan sebenarnya sudah lama digaungkan, bahkan di Amerika sejak tahun 1970-an saat anak-anak muda di negeri Paman Sam itu suka bereksperimen baju lama dengan baju baru.
"Saya lihat di Jakarta kecenderungannya mulai ada sekitar lima atau delapan tahun belakangan, setelah pandemi konsumen juga lebih pandai dan bijaksana untuk mengonsumsi produk fesyen," ungkap Taruna K. Kusmayadi, Penasihat Indonesian Fashion Chamber saat ditemui di Jakarta, Rabu, 11 Januari 2023.
Advertisement
Baca Juga
Ia mengatakan dalam praktiknya kini orang tetap membeli produk fast fashion, tapi pada saat yang bersamaan menggabungkan slow fashion sudah lebih teredukasi. Selain itu alasan orang akhirnya membeli prelove atau second hand dalam praktik fesyen berkelanjutan sebenarnya juga merupakan pilihan karena berdasarkan budget.
"Bukan karena suka tapi pilihannya ke situ, belum punya budget pembelanjaan yang besar sehingga harus memikirkan. Baju prelove, baju dari kakak atau tante yang bisa dipakai, as long as mereka bisa combine dengan baik," jelas Taruna.
Namun lebih lanjut, Taruna mengungkapkan praktik fesyen berkelanjutan sebenarnya secara tidak disadari sudah dilakukan para desainer. Ia mencontohkan saat seorang perancang busana menciptakan koleksi menggunakan inspirasi budaya Indonesia ke desainnya.
"Memproduksi pakai kain-kain pengrajin, kain wastra Indonesia itu termasuk sustainability," tukasnya.
Ia menyambung ada pelestarian budaya lokal dan pengurangan jejak karbon yang dilakukan para desainer dengan menggunakan kain-kain pengrajin. Lantaran memenuhi produksi lokal yang dibeli orang lokal, dibanding dengan membeli produk luar negeri yang jejak karbonnya lebih panjang.
Baju Bisa Diwariskan
Lebih jauh Taruna mengatakan, fesyen berkelanjutan dapat dipahami dengan luas karena melewati banyak aspek. "Di dalamnya termasuk membayar upah yang layak bagi pekerja, melindungi alam, udara, tapi dari semua ini harus menguntungkan, karena jika tidak produsennya bisa tutup toko," bebernya.
Sementara itu, dengan proses yang cukup panjang itu fesyen berkelanjutan seringkali menjadi mahal, hal ini menurut Taruna tidak masalah. "Sustainable jadi mahal tidak apa kalau barangnya bagus tahan lama, misalnya kamu beli sepatu harga Rp8 juta tapi awet 12 tahun dibanding beli sepatu ratusan ribu tapi hanya sebulan," pungkasnya.
Senada, Desainer Hannie Hananto menambahkan sebenarnya ekosistem fesyen berkelanjutan sudah terlihat jelas. Paling terkenal adalah di Pasar Senen yang menjual baju bekas dan banyak peminatnya. "Tanpa disadari kebiasaan kita di keluarga untuk mewariskan baju dari ibu ke anak juga termasuk sustainability fashion. “Ini batiknya mama, ini bros, tenunnya itu termasuk sustainability, barangnya tetap dipertahankan itu sebabnya juga kita penting untuk tidak menggunakan mass product itu hanya dipakai sebentar,”
Advertisement
Praktik di Sisi Desainer
Sementara prakik fesyen berkelanjutan bisa diaplikasikan secara mudah. "Kita tidak harus berpikir, sustainability itu kain bekas digunting-gunting,” tukasnya.
Dalam hal penggunaan bahan, sebagai desainer Hannie mengatakan tidak bisa sepenuhnya dijalankan sustainable lantaran bahan seperti linen dan katun tertentu di Indonesia harganya sangat mahal. Harga per meter bahan tidak mungkin menutup biaya produksi dengan harga yang dijual ke konsumennya.
"Kembali lagi, setiap brand ada perhitungannya jadi saya mungkin masih berpikir untuk betul-betul sustainable, sulit sekali. Apalagi bahan print kalau dibahan yang seratus persen katun hampir tidak mau nempel tintanya," pungkasnya.
"Yang paling masuk akal bagi saya pribadi untuk dilakukan, baju bisa diwariskan, baju dijual lagi (prelove)," sambung Hannie.
Lebih lanjut ia mengatakan dibandingkan dengan produk masal yang setiap tahun sangat cepat membuat koleksi baru atau disebut fast fashion, koleksi desainer yang saat menjual baju lebih ke arah kuantitas dan kualitas. Meski menjual tidak sebanyak produk fast fashion namun lebih bermutu dari sisi jahitan, material bahan, ide mewujudkannya dan bisa lebih tahan lama.
Praktik Sederhana
Menambahkan mengenai praktik fesyen berkelanjutan, Desainer Ichwan Thoha mengatakan saat ini sudah banyak kesadaran dan penetrasi kampanye cukup kuat. Namun gerakan fesyen berkelanjutan harus lebih semangat lagi untuk dikampanyekan.
"Kalau menurut saya jangan terlalu dipikirkan terlalu jauh sustainability itu jika sebagai idealisme luar biasa agak susah diterapkan. Kita bisa mulai dari yang ringan-ringan," sebutnya.
Ia mencontohkan praktik untuk menyumbangkan baju tidak terpakai lagi yang bisa didonasikan, termasuk membuat ulang lagi baju lama yang sudah ada maupun menjual kembali dengan harga lebih murah. Salah satu idenya adalah terus mengkampanyekan fesyen berkelanjutan lewat T-shirt bertuliskan kampanye kalimat yang mendukung menjaga bumi, mengurangi sampah, termasuk fesyen yang ramah lingkungan.
"Kebanyakan orang berpikir terlalu jauh dan susah, padahal bisa dilakukan yang sesuai dengan kemampuan kita," tutupnya.
Advertisement