Liputan6.com, Jakarta - "No Kids Zone," begitu bunyi pengumuman yang dilaporkan muncul di banyak tempat umum di Korea Selatan, terutama ibu kotanya, Seoul. Sesuai namanya, tanda itu berarti suatu tempat, yang kebanyakan merupakan kafe, perpustakaan, dan galeri seni, melarang anak-anak masuk ke sana.
Zona bebas anak disebut telah membuat para orangtua di Negeri Ginseng frustasi. Di jagat maya, situasi ini dianggap akan memengaruhi tingkat keramahan wilayah itu sebagai tujuan liburan keluarga, kendati sampai sekarang belum ada dampak signifikan yang dilaporkan.
Baca Juga
Dalam antisipasinya, baru Pulau Jeju yang akan memberlakukan aturan larangan pemilik perusahaan, terutama restoran atau kafe, menetapkan bisnis mereka sebagai zona bebas anak. Mengutip Korea Times, 10 Mei 2023, pulau tersebut akan jadi wilayah pertama yang memiliki peraturan seperti itu.
Advertisement
Di antara yang menentang zona bebas anak adalah anggota parlemen Korea Selatan, Yong Hye In. Dilansir dari Japan Today, Sabtu, 29 Juli 2023, Yong bercerita meninggalkan rumah setelah melahirkan dan menangis ketika ditolak masuk ke kafe karena bayinya.
Pengalaman itu memberi Yong sebuah misi baru: memberantas "zona bebas anak" yang sedang berkembang di Korea Selatan. Di negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, munculnya semakin banyak fasilitas yang melarang anak-anak membuat marah para orangtua seperti Yong.
Katanya, aturan ini juga secara tidak sengaja menggagalkan kebijakan pemerintah negara itu yang berupaya meningkatkan angka kelahiran bayi selama beberapa dekade. Seoul telah menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mendorong warga Korea Selatan memiliki lebih banyak anak.
Otoritas kota itu menawarkan subsidi tunai, layanan pengasuhan anak, dan dukungan perawatan infertilitas, tapi tidak berhasil. Data terbaru mencatat hanya 0,78 kelahiran per wanita, yang mana angka itu jauh di bawah tingkat penggantian yang diperlukan untuk menjaga ukuran populasi tetap stabil.
Tidak Semata-mata Faktor Ekonomi
Banyak ahli mengatakan bahwa faktor sosial, bukan semata-mata faktor ekonomi, kemungkinan mendorong penurunan tingkat kelahiran bayi di Korea Selatan. Yong mengatakan, zona bebas anak murni diskriminasi dan berdampak, khususnya pada ibu muda.
"Saya merasa seperti telah diusir dari komunitas saya sendiri," kata Yong pada AFP ketika ia mengingat pengalamannya ditolak masuk kafe setelah akhirnya mengumpulkan energi untuk keluar rumah bersama bayinya.
Ia mengatakan, ia telah berjuang melawan depresi pascapersalinan dan "menangis setiap hari saat menyusui." Yong semula berharap kunjungannya ke kafe akan jadi langkah untuk kembali "hidup normal." Sayang, pengalamannya justru getir.
"Saya sekarang telah jadi orang yang dapat dengan mudah ditolak di tempat-tempat, seperti restoran, kafe, bar, dan bioskop. Saya ingat banyak menangis dalam perjalanan pulang," curhatnya.
Majelis Nasional Korea Selatan sendiri "secara efektif" merupakan zona bebas anak, karena hanya anggota parlemen dan staf berwenang yang diizinkan masuk. Badan itu juga tidak memiliki kebijakan tentang cuti hamil untuk anggota parlemen. Yong merupakan anggota parlemen ketiga dalam sejarah Korea Selatan yang melahirkan saat bekerja.
Advertisement
Mengusulkan Undang-Undang Baru
Ketika kembali bekerja, Yong mengusulkan undang-undang yang mengizinkan bayi di bawah 24 bulan menemani ibunya bekerja. Itu masih tertunda, yang menurutnya tidak mengejutkan.
"Karena Majelis Nasional (Korea Selatan) didominasi laki-laki berusia 50-an dan lebih tua, ada sedikit minat pada sistem yang dapat menggabungkan kegiatan mengasuh anak dan parlementer," kata Yong. "Ini bukan masalah mendesak bagi mereka karena tidak memengaruhi kehidupan mereka."
Kecuali pemerintah mengalihkan perhatian ke isu-isu sosial, seperti ketidaksetaraan dan kesenjangan upah gender, ia menilai negara itu tidak akan mampu memperbaiki krisis demografis yang dihadapi. Bagi banyak anak muda, "bahkan sulit memprediksi apa yang akan Anda lakukan untuk mencari nafkah tahun depan," katanya.
Yong bekerja di sebuah hotel mewah sebagai server untuk menghidupi dirinya sendiri selama masa kuliah, menghasilkan 3.500 won per jam dan bekerja 14 jam sehari untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara itu, setiap steak yang ia sajikan harganya 70 ribu won.
"Bahkan jika Anda bekerja selama 14 jam, gaji harian Anda tidak akan memungkinkan Anda membeli steak yang Anda sajikan," katanya. "Ketika Anda bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup Anda sendiri dalam setahun, memiliki anak jadi pertaruhan besar."
Tidak Percaya pada Negara
Yong pertama kali jadi perhatian nasional ketika didakwa melanggar hukum karena mengorganisir "protes diam" atas bencana kapal feri Sewol pada 2014, di mana ratusan orang yang kebanyakan anak sekolah, meninggal dunia.
Setelah pertarungan hukum selama enam tahun, ia dinyatakan tidak bersalah pada 2020, tahun yang sama ia pertama kali terpilih jadi anggota Majelis Nasional Korea Selatan dengan dukungan kuat dari para pemilih muda.
Setelah Sewol, dan tragedi Halloween Itaewon yang mematikan tahun lalu, banyak anak muda Korea kehilangan kepercayaan pada pemerintah mereka, katanya. Orang-orang merasa "bahkan jika Anda melahirkan dan membesarkan anak-anak Anda, negara tidak akan melindungi mereka," kata Yong pada AFP.
Ia menambahkan, bagi banyak anak muda Korea, ingin jadi orangtua "dianggap tidak rasional." Zona bebas anak menggambarkan bagaimana masyarakat Korea memandang kesulitan jadi orangtua, seperti kurang tidur dan menyusui, sebagai hal yang harus ditanggung sendiri oleh perempuan, katanya.
Otoritas yang didominasi laki-laki mungkin ingin meningkatkan angka kelahiran, tambahnya, tapi juga "lebih suka jika proses membesarkan anak yang berisik, sulit, dan menyakitkan dilakukan secara terpisah, di suatu tempat yang tidak terlihat, di pulau terpencil."
Advertisement