Liputan6.com, Jakarta - Wawasan lingkungan di sektor pariwisata bukan lagi opsional, melainkan keniscayaan. Praktiknya di lapangan, aturan yang ada banyak yang diterabas begitu saja demi dapat cuan.
"Aturan tinggal aturan, penegakan hukumnya lemah. Mestinya aturan A, mestinya disanksi atau diproses, tapi dibiarkan," kata Nyoman Sukma Arida, dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Bali, kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 31 Mei 2024.
Advertisement
Baca Juga
Banyak kasus pembangunan pendukung pariwisata mengabaikan aspek lingkungan. Salah satu buktinya adalah pembangunan lift di tebing oleh pemilik Ayu Terra Resort di kawasan Ubud, Bali. Lift tersebut jatuh pada 1 September 2023 dan menyebabkan lima orang tewas. Padahal menurut Nyoman, aturannya pembangunan di sempadan jurang dilarang mengingat daerah itu berbahaya karena rawan longsor.
Advertisement
Namun, kecelakaan tersebut tak membuat pihak lain kapok. Pembangunan malah semakin masif, terlihat dari berderetnya pembangunan kafe di sepanjang jalan kawasan Kintamani, terutama yang menghadap ke arah Gunung Batur. Pemilik kedai memanfaatkan pemandangan menawan gunung tersebut untuk menarik banyak pengunjung tanpa memedulikan potensi bahaya karena membangun di tepi jurang.
"Di Kintamani dekat jurang itu berjejer coffee shop. Tapi, masyarakat yang lemah wawasannya tidak tahu kalau itu melanggar, ya datang saja. Pelanggaran berbagai pihak secara bersama-sama itu akhirnya dibiarkan," ucapnya, menyoroti lemahnya penegakan hukum.
Dari sederet contoh kasus, menurut Nyoman, investor lah yang dianggapnya sebagai biang keladi dalam pelanggaran berbagai aturan. Mengingat orientasi mereka adalah keuntungan besar, mereka bisa mengarahkan agar pekerja melakukan apapun demi target tercapai.
"Investor ini kita enggak tahu siapa dan di mana. Mereka bisa dari mana-mana, dari luar negeri tapi punya anak buah di sini. Ketika lingkungan di sini rusak, mereka bisa gampang cabut, sehingga lebih sulit dikendalikan. Kalau investor-investor lokal, bisa lebih gampang mengendalikan, apalagi kalau mereka juga tinggal di sini," ucap Nyoman.
Â
Penegakan Hukum Jadi PR Besar
Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi Kemenparekraf Frans Teguh mengakui bahwa penegakan hukum masih jadi pekerjaan rumah besar pemerintah dalam mendukung konsep pariwisata hijau dan berkelanjutan. "Kebijakannya sudah ada, katakanlah ada tata ruang atau analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), tapi implementasinya perlu kontrol yang ketat, pengawasan ketat," kata dia.
"Sanksi dalam kerusakan ekologis tidak terlalu menjadi dalil-dalil yang dianggap sangat penting sehingga pelanggaran masih ada," sambung dia.
Menurut Frans, hal itu salah satunya disumbang soal minimnya wawasan lingkungan. Banyak yang lupa bahwa bicara tentang lingkungan adalah untuk kepentingan jangka panjang. Namun, pelanggar 'dibutakan' kebutuhan pragmatis jangka pendek.
"Padahal, lingkungan ini harus dilihat dalam kacamata jangka panjang. Di daerah, praktiknya tidak cukup sadar. Garis pantai diambil padahal mengakibatkan kerusakan ekosistem. Sumber mata air diambil, pohon ditebang, yang bikin krisis air," sahutnya.
Itu pula yang dikritisi Nyoman. Dia menekankan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih tegas menegakkan aturan mengingat mereka semestinya menjadi garda terdepan dalam mencegah kerusakan lingkungan berkelanjutan.Â
"Jangan nunggu viral, disorot media, baru ditertibkan. Kalau langgar, langsung ditertibkan. Masyarakat tidak akan berani macam-macam kalau hukum ditegakkan dan pemerintah bertindak," ucapnya.
Â
Advertisement
Tidak Bisa Mengandalkan Satu Pihak Saja
Frans menambahkan bahwa sektor pariwisata tak bisa berdiri sendiri, melainkan ditopang beragam unsur yang kewenangannya seringkali berada di kementerian/lembaga di luar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). "Menghadirkan pembangunan berwawasan lingkungan enggak bisa satu pihak, tapi harus kolaborasi dengan banyak pihak, termasuk pemerintah," ucapnya.
Pihaknya selain berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga lain, juga mengajak elemen masyarakat yang fokus pada advokasi lingkungan. Mereka dijadikan mitra agar bisa mengingatkan bila ada pelanggaran yang terjadi di lapangan. Pasalnya, masyarakat sekitar lah yang akan kena getahnya pertama kali bila aktivitas pariwisata minim wawasan lingkungan terus berlanjut.
Di sisi lain, ia menilai kesadaran masyarakat atas pelestarian lingkungan sudah mulai tumbuh. Namun, pasarnya menurut dia, masih didominasi segmen high-end karena implementasi ramah lingkungan saat ini memerlukan modal relatif besar. Misalnya, perangkat penyedia sumber energi terbarukan agar tidak melepaskan emisi terlalu banyak, atau biaya pengelolaan sampah agar tidak terbuang langsung ke TPA.
"Pasar jadi bagian tidak terpisahkan, tapi purchasing power jadi satu hal. Saat ini, cost mengenai lingkungan cukup besar dan belum merata dilakukan secara luas oleh masyarakat. Itu yang kita lihat di lapangan," katanya.
Perlukah Investasi Mahal demi Mewujudkan Pariwisata Ramah Lingkungan?
Namun, Nyoman punya pendapat berbeda, ia menilai bahwa penerapan pariwisata yang berwawasan lingkungan tidak harus mahal. "kenapa enggak bisa pariwisata berbasis alam? Yang enggak bisa itu motif itu tadi, terlalu profit-oriented," ucapnya.
Ia menyatakan tidak semua turis mengharapkan menginap di tempat yang glamor. Menurut dia, perlu diubah cara pandang pariwisata yang terlalu mendewakan tamu karena permintaan menginap di properti ekstrem tidak banyak.
"Pariwisata itu enggak butuhkan properti ekstrem, bisa hotel melati atau bintang 1. Bintang 4--5 berapa persen sih? Harusnya lebih wisdom, arif," katanya.
Untuk itu, pemerintah melalui Kemenparekraf berusaha lebih konsisten menerapkan aturan dan sanksi lebih mendidik agar persoalan lingkungan bisa dilihat sebagai kepentingan jangka panjang semua pihak. Edukasi, literasi, dan sosialisasi terus digencarkan lewat berbagai forum. Begitu pula dengan pendampingan dan pengembangan kapasitas.
Frans menyebut sejumlah pilot project dibuat sebagai model yang bisa ditiru beragam kalangan. Misal untuk mereka yang menggarap pasar kelas atas, kawasan Nusa Dua dijadikan sebagai contoh prototipe praktik berkelanjutan. Sementara untuk pasar menengah ke bawah, desa-desa wisatalah yang jadi andalan.
"Dalam dua tahun terakhir, kita sudah mensertifikasi 36 desa wisata yang comply dengan standar keberlanjutan. Di standar berkelanjutan itu ada empat pilar yang diaudit. Satu aspek ekologis, lalu sosial budaya, ekonomi berkelanjutan, dan pengelolaan yang berkelanjutan," ucap Frans.
Advertisement