Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kehutanan melalui Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan melakukan penertiban usaha tambang di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang merupakan daerah aliran sungai (DAS) Cisadane di Kabupaten Bogor.
Tindakan ini diambil sebagai upaya mencegah kerusakan hutan, khususnya pada bagian hulu DAS yang berperan penting dalam pengendalian tata air dan keseimbangan ekosistem. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, mengatakan dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Selasa, 18 Maret 2025. "Kami turut prihatin atas bencana hidrologi yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, khususnya Jabodetabek."
Baca Juga
"Banjir bandang di wilayah Puncak Cisarua, serta banjir yang merendam beberapa wilayah di Bekasi dan Jakarta jadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan daerah aliran sungai," imbuhnya.
Advertisement
Setelah kegiatan penertiban, Selasa, pihaknya akan melakukan pemanggilan dan konfirmasi pemilik maupun pelaku usaha untuk memastikan proses hukum lebih lanjut. Penegakan hukum yang diambil nantinya diklaim akan mengedepankan asas kepastian hukum, keadilan, serta manfaat dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan sebagai Wakil Ketua Satuan Tugas Penyelamatan Kawasan Hutan (Satgas PKH) pada DAS, Yazid Nurhuda, mengatakan bahwa proses hukum akan ditempuh melalui upaya perdata, pidana, serta sanksi administratif terhadap pihak-pihak yang terindikasi melakukan kegiatan tidak sesuai aturan dan peruntukkan kawasan dengan tetap mengedepankan pendekatan restorative justice.
"Kegiatan penertiban ini merupakan langkah konkret dalam melindungi dan memulihkan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Kami akan terus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa kawasan hutan tetap terlindungi dari aktivitas yang tidak memiliki izin dan berpotensi merusak lingkungan," janjinya.
Penyebab Utama Bencana Hidrologi
Sebelumnya disebutkan bahwa masalah tutupan lahan di wilayah hulu DAS jadi penyebab utama bencana hidrologi, di samping faktor cuaca ekstrem. Merespons terjadinya bencana hidrologi, baru-baru ini, Kementerian Kehutanan membentuk Satgas PKH pada DAS.
Satgas tersebut telah melaksanakan beberapa operasi penertiban kawasan hutan pada 9 sampai 17 Maret 2025 di kawasan Puncak, Sentul, dan TNGHS. Dalam operasi tersebut, 37 properti yang terdiri dari vila, resort, dan camping ground telah ditertibkan.
Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan mengeluarkan paksaan pada sejumlah korporasi yang berada di hulu DAS Ciliwung, termasuk meminta melakukan pembongkaran bangunan bermasalah secara mandiri.
"Tapi bila tidak (dibongkar mandiri), ada tindakan sampai batas waktu tertentu. Mungkin kami yang akan membongkar paksa," ucap Deputi Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLH Rizal Irawan saat jumpa pers di Jakarta, Selasa, 18 Maret 2025.
Pihaknya sedang memproses sanksi administrasi paksaan pemerintah terhadap PT Sumber Sari Bumi Pakuan, salah satunya karena melakukan pembangunan pabrik pengolahan teh tanpa dokumen yang dibutuhkan. Ada pula beberapa korporasi yang melakukan Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 - Unit Agrowisata Gunung Mas, termasuk PT Pinus Foresta Indonesia, PT Karunia Puncak Wisata, PT Jelajah Handal Lintasan, CV Mega Karya Nurgraha, PT Bobobox Aset Management, dan PT Farm Nature & Rainbow ADD.
Advertisement
Sengketa Lingkungan Hidup
Tim Gakkum KLH juga mendalami penanganan sengketa lingkungan hidup terhadap PT Jaswita Lestari Jaya dan PT Eigerindo Multiproduk Industri terkait pembangunan di kawasan hulu DAS Ciliwung, yang diduga berdampak terhadap peningkatan potensi banjir di daerah limpasan air dan hilirnya. Selain itu, KLH melakukan penertiban di tujuh titik DAS Bekasi. Menurut Rizal, pihaknya sudah memasang papan pengawasan di Summarecon Bogor, Golf Gunung Geulis, Rainbow Hills Golf, dan Perumahan Citra City Sentul.
Dia memastikan akan melakukan pengawasan kegiatan penghentian sementara dan pembongkaran mandiri setelah penerbitan paksaan pemerintah tersebut. "Kami akan meminta bantuan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor dan DLH Provinsi Jawa Barat untuk sama-sama melakukan pengawasan terhadap beberapa area yang sudah kita pasang plang pengawasan. Pastinya ada kolaborasi antara kementerian dengan pemerintah daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten," ungkap Rizal.
Sementara itu, Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH Sigit Reliantoro menyoroti penambahan luasan kawasan pemukiman dan pertanian di segmen 1 DAS Bekasi di wilayah yang sebelumnya berperan melindungi wilayah tersebut, salah satunya sebagai resapan air.
Plang Pengawasan
"Kalau dilihat, DAS Kali Bekasi di segmen 1 di hulunya jauh lebih kecil tutupan lahannya. Jadi kalau dihitung, hanya 3,35 persen dari DAS Kali Bekasi," terang Sigit.
Ia menjelaskan, tutupan vegetasi harus mencapai minimal 30 persen dari luas DAS untuk memberikan perlindungan pada wilayah sekitar, termasuk daerah resapan air. Ini terutama untuk kawasan hulu yang berperan dalam tata kelola air yang kemudian mengalir ke wilayah lebih rendah.
Jika melihat bagian hulu, luas tutupan vegetasinya hanya mencapai 21,24 persen dari total luas hulu DAS Bekasi, padahal DAS Bekasi punya luas sekitar 145 ribu hektare. Itu terbagi jadi segmen Puncak mencakup 28 ribu hektare, yang mana 12.500 hektare seharusnya berfungsi sebagai kawasan perlindungan ekosistem dan pengendalian bencana.
Merujuk data KLH yang membandingkan kondisi tutupan lahan pada 2013 dan 2023, terjadi peningkatan luasan lahan terbangun/terbuka, meningkat dari 6.711,32 hektare pada 2013 jadi 7.629,79 hektare.
KLH sebelumnya memasang plang pengawasan di sejumlah titik di kawasan Puncak, Bogor. Hal itu sebagai bagian dari penertiban kawasan yang beralih fungsi dari sebagai resapan air hujan jadi berbagai bangunan dengan kebanyakan diperuntukan jadi objek wisata.
Advertisement
