Kontroversi Pengosongan Kolom Agama di e-KTP

Rencana Mendagri Tjahjo Kumolo membolehkan pengosongan kolom agama di e-KTP menuai pro dan kontra.

oleh Silvanus AlvinTaufiqurrohmanPutu Merta Surya Putra diperbarui 08 Nov 2014, 00:18 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2014, 00:18 WIB
e-KTP
Rencana Mendagri Tjahjo Kumolo membolehkan pengosongan kolom agama di e-KTP menuai pro dan kontra.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengusulkan untuk membolehkan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk Elektronik  (e-KTP), dengan catatan bahwa agama atau kepercayaan individu yang bersangkutan bukanlah termasuk agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia (RI).

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui Pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu.

Tjahjo pun mengimbau bagi warga negara Indonesia (WNI) penganut ajaran kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah boleh mengosongkan kolom agama yang tertera di e-KTP. Dengan demikian, WNI pemeluk keyakinan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Malim, namun di KTP tertera sebagai salah satu penganut agama resmi, boleh mengoreksi dengan mengosongan kolom agama mereka.

Langkah tersebut menuai protes dari sejumlah pihak. Menurut anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsy, ada 4 hal yang harus diperhatikan Mendagri sebelum memutuskan pengosongan kolom agama di e-KTP.

Pertama, kata Aboe Bakar, harus disadari bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Dalam sila Pertama Pancasila terkandung Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Aboe Bakar, bila Indonesia berlandaskan Pancasila, maka tak perlu kolom agama dikosongkan. "Bila kita percaya bahwa Pancasila merupakan dasar negara dan identitas jati diri bangsa, kenapa harus malu mencantumkan agama pada kolom KTP kita? Ini kan bisa dikatakan sudah tidak Pancasilais lagi," kata Abu Bakar.

Kedua, lanjut Aboe Bakar, pengosongan kolom agama akan menyulitkan pengangkatan para pejabat. Meski Indonesia bukan negara agama, namun sangat mengakui keberadaan agama. Oleh karenanya setiap pejabat, sebelum memangku jabatannya akan selalu diwajibkan mengambil sumpah.

Menurut Aboe Bakar, sumpah jabatan itu menunjukkan bahwa jabatan yang dianut bukan sekadar kontrak sosial dengan masyarakat belaka, namun juga merupakan perjanjiannya dengan Tuhan. Oleh karenanya Ketua Mahkamah Agung (MA) senantiasa akan menyumpah para anggota DPR dan Presiden sebelum menjalankan tugas.  "Selama ini penyumpahan dilakukan berdasarkan identitas yang tercantum dalam kolom KTP. Bila tidak didasarkan pada landasan dokumen yang jelas, bisa kacau pengambilan sumpah para pejabat publik di Republik ini," kata dia.

Ketiga, lanjut dia, pengosongan kolom agama di e-KTP juga akan membawa ketidakpastian hukum. Misalkan saja, saat seseorang akan memberikan kesaksian, pembagian waris, melangsungkan perkawinan, atau bahkan ketika akan dilakukan pemakaman.  "Selama ini tindakan hukum tersebut didasarkan pada identitas di KTP. Bila nanti dikosongkan, lantas apa yang akan menjadi dasar hukumnya?" heran dia.

Keempat, sambung Aboe Bakar, rencana pengosongan kolom agama oleh Mendagri Tjahjo itu juga akan berseberangan dengan janji Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat kampanye dulu. Di mana, Jokowi-JK berjanji akan mempertahankan kolom agama di e-KTP. "Saat kampanye dulu Jokowi-JK berjanji akan tetap mempertahankan kolom agama di KTP," tandas‎ Aboe Bakar.

Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah menilai pengosongan tersebut berpotensi pada penghapusan kolom agama di e-KTP, dan itu diharapkan tidak terjadi di Indonesia. Hal itu, menurut dia, menjadi kekhawatiran keberagaman di Indonesia yang lambat laun bakal dibatasi.

"Habis kosong kan hilang. Kan nggak jelas. Misalnya tetangga non-muslim antar makanan yang tidak halal buat orang muslim. Kan tersinggung. Harus paksa orang tampil dengan identitasnya," tegas Fahri.

Pentingnya Kolom Agama

Senada dengan Aboe Bakar dan Fahri Hamzah, Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini berharap Mendagri berhati-hati atas rencana pengosongan kolom agama dalam e-KTP. Meskipun Indonesia bukan negara agama, namun menurut dia, agama di Indonesia harus tetap menjadi landasan dalam pembangunan bangsa yang tercantum di Pancasila.

"Mendagri sebelum mengambil keputusan harusnya berpikir matang dan dalam. Jangan karena tuntutan segelintir orang lalu mengabaikan kepentingan mayoritas," kata Jazuli kepada Liputan6.com di Jakarta, 7 November 2014. "Agama di Indonesia ini harus jadi landasan pembangunan bangsa dan negara, itu tercermin pada sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa."

Dia menuturkan, bagi semua orang beragama di Indonesia pasti kolom agama di KTP dirasa penting untuk diisi. Karena menurutnya, hal tersebut memiliki implikasi jangka panjang ke depannya. "Buat orang Islam dan saya yakin juga pemeluk agama lain yang sudah diakui, kolom agama ini sangat penting. Itu karena ada implikasinya terkait dengan pernikahan, kematian dan warisan. Ketika tidak tercantum kolom agama, bagaimana mengidentifikasi dan implementasi persoalan-persoalan itu," beber dia.

Selain itu, ia juga mempertanyakan jika ada sebagian orang menganggap kolom agama itu sebuah bentuk diskriminasi, padahal semua agama yang sudah diakui oleh pemerintah dicantumkan semua dalam kolom agama tersebut."Di mana diskriminasi? Kan semua agama dicantumkan bukan hanya agama tertentu," ujar Jazuli.

Terkait dengan keyakinan yang belum diakui pemerintah, menurut Jazuli, hal tersebut bisa dicarikan solusinya oleh pemerintah. "Untuk keyakinan yang belum diakui secara formal, harusnya Mendagri memberi solusi seperti membuka dan memfasilitasi pengurusan pengakuan keyakinan mereka secara formal lewat mekanisme yang berlaku di negeri ini. Ingat demokrasi di negeri ini adalah demokrasi Pancasila bukan demokrasi liberal, kita punya jati diri," tandas Jazuli.

Sementara menurut juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul pengosongan kolom agama bisa dibilang boleh atau tidak. Karena menurut dia, terkait kepercayaan itu urusannya antara manusia dengan Tuhan. "Mungkin akan dibawa Tjahjo ke komisi II. Tapi menurut saya, soal pengosongan kolom agama itu boleh iya, boleh ngga. Itu karena urusan kita sama Tuhan," kata Ruhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, 7 November 2014.

Anggota Komisi III DPR itu berujar, jika kolom agama dipermasalahkan, ada kemunduran pemahaman di Indonesia. Dia menilai, Indonesia sebagai negara Pancasila seharusnya tidak mempermasalahkan keyakinan yang dianut hingga menjadikan polemik masuk kolom e-KTP atau tidak. "Tapi ini sebenarnya kita jadi mundur. Soalnya kenapa itu dimasalahkan, ya begini lah maka lahirlah FPI dan lain-lain itu kan mundur. Kita ini negara Pancasila, bukan dominasi mayoritas dan minoritas tirani," terang mantan Advokat itu.

Saat ditanya apakah Ruhut secara pribadi mendukung pernyataan Mendagri. "Kalau menurut aku boleh saja. Tapi biarkan itu diserahkan ke mitra kerjanya (Komisi II DPR)," tandas Ruhut.

Bersifat Sementara

Mendagri Tjahjo pun menegaskan bahwa pengosongan kolom agama hanya bersifat sementara. Pihak Kemendagri tengah mengupayakan untuk merevisi Undang-Undang agar penganut kepercayaan disahkan pemerintah dan bisa disertakan dalam kolom agama.

"Itu kepercayaan, sementara kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama (Lukman Hakim Saifuddin) untuk membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum," kata Tjahjo usai Rapat Kerja bersama para Eselon I dan II di Kemendagri, Jakarta, Kamis 6 November 2014.

Menurut Tjahjo, setiap warga negara dilindungi untuk memiliki keyakinan atau percaya pada agama tertentu. Namun, yang jadi permasalahan apakah keyakinan tersebut termasuk sesat atau tidak. Hal inilah yang tengah didalami Kemendagri dengan cara berkonsultasi ke Kemenag.

"Misalnya kamu katakan saya orang yang legal tidak beragama, tapi saya punya keyakinan, padahal kan pemerintah menjamin masyarakat Indonesia untuk memeluk suatu keyakinan atau agama yang diyakini. Kami tetep konsultasi pada majelis ulama, PGI, Hindu, semua. Ini masuk agama sesat atau tidak. Itu kan yang tahu kan departemen agama dan tokoh-tokoh," papar dia.

Tjahjo pun menegaskan bahwa pengosongan kolom agama di KTP bukan berarti orang tersebut tak memiliki agama. Ia menuturkan kolom itu baru diisi setelah ada kepastian sesat atau tidak.

"Ingin kosong itu pengertian kosong suatu saat harus diisi. Yang isinya kan bukan kewenangan kami, UU yang mengatur ada departemen agama. Kami segera konsultasi. Jadi jangan sampai orang terhambat karena tidak bisa menunjukkan agamanya apa," imbuh Tjahjo.

"Ini kan bukan negara agama tapi bukan juga negara sekuler. Saya sebagai Mendagri harus melihat kepentingan semua warga negara. Tapi harus mengikuti payung hukum," tandas Tjahjo Kumolo.

Lebih jauh, Tjahjo pun mengemukakan ada sekitar 1 juta penduduk yang berkeyakinan di luar enam agama tersebut terpaksa berstatus "agama KTP" hanya demi mendapatkan tanda identitas penduduk. Ini yang menjadi alasan dirinya mengemukakan gagasan untuk memperbolehkan setiap warga negara Indonesia untuk mengosongkan kolom agama di dalam KTP.

"Selama ini terpaksa ditulis memeluk agama atau ada kebijakan pengecualian. Makanya ada istilah agama KTP. Padahal agama kan harus diyakini. Dari laporan ada di atas 1 juta, yang berkeyakinan lain, seperti pencinta wayangan, pencinta ruwatan, Islam kejawen dan lain-lain," ujar Tjahjo.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendukung langkah Mendagri Tjahjo terkait pengosongan kolom agama di KTP. Menurut dia, kalau memeluk agama di luar 6 agama yang diakui pemerintah, individu tak bisa dipaksa untuk memilih agama tertentu.

"‎Tidak ada penghapusan, hanya pengosongan (kolom agama). Yang ada, tidak diisi kalau tidak memeluk 6 agama itu. Mau diisi apa coba?" terang JK di Kantor Wapres, Jakarta, Jumat (7/11/2014). "Kalau agamanya tidak 6 itu. Contohnya bukan bukan Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu. Katakanlah dia Syiah. Kosongkan saja."

‎Menurut JK, memilih agama atau keyakinan tertentu merupakan masalah personal. Seseorang, lanjut mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, tidak bisa dipaksa untuk memilih agama tertentu. "Kan itu masalah personal. Orang kan cuma datang ke kelurahan, orang tidak mau ngisi kolom agama karena bukan Islam. Masa mau dipaksa," tukas Jusuf Kalla. (Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya