Liputan6.com, Jakarta Banjir kembali merendam Jakarta di awal tahun ini. Bukan cerita lama sebenarnya. Banjir sejatinya adalah 'teman dekat' karena air memang tak pernah menjauh dari kota yang dulunya bernama Batavia ini.
Banjir adalah problem klasik Jakarta sejak dulu. Sejak belum ada mal, gedung pencakar langit, jalan beraspal, hingga permukiman padat penduduk, Jakarta tak pernah bisa menolak datangnya bah. Bahkan, usia banjir jauh lebih tua dibandingkan Jakarta yang tahun ini akan merayakan HUT ke-488.
Melalui seloka berbahasa Sansekerta di Prasasti Tugu peninggalan kerajaan Tarumanagara diketahui bahwa pada Abad ke-4 atau tepatnya tahun 397 Masehi, banjir sudah menyapa wilayah yang kini disebut Jakarta sehingga dibuat saluran atau irigasi menuju laut.
5 Baris tulisan pada Prasasti Tugu yang ditemukan di kampung Batutumbuh, Desa Tugu, yang sekarang menjadi wilayah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara menyebutkan ketika itu Tarumanagara diperintah oleh Raja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada tahun ke-22 masa pemerintahan Purnawarman sehubungan dengan peresmian saluran Sungai Gomati dan Candrabhaga.
Â
Baca Juga
Terjemahan Prasasti Tugu menyebutkan: "Dahulu atas perintah Rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang termasyur akan kemuliaannya dan jasanya di atas para raja. Pada tahun ke-22 pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut. Penggalian itu dimulai pada hari ke-8 bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ke-13 bulan terang bulan Citra, selama 21 hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja sebagai leluhur bersama para Brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah 1.000 ekor sapi."Â Â
Advertisement
Jadi, ketika itu aliran sungai Cai-Taruma (Sungai Citarum) disejajarkan dengan Sungai Gomati di India karena sudah menerjang pusat Kota Tarumanagara. Solusinya, Purnawarman membuat sebuah saluran bernama Candrabhaga untuk mengalirkan air yang jernih itu ke laut.
Purnawarman juga memindahkan ibukota negara ke dekat pantai dan dari situlah nama Sunda Pura dipakai untuk ibukota negara yang kemudian berganti menjadi Sunda Kelapa. Setelah itu kekuasaan berpindah ke Kerajaan Sunda (abad ke 7-16) yang beribukota di Pakuan Pajajaran (Bogor). Mungkin karena intensitas banjir semakin tinggi, sehingga ibukota diletakkan di tempat yang lebih tinggi.
Selanjutnya: Duplikat Amsterdam yang Terendam...
Duplikat Amsterdam yang Terendam
Duplikat Amsterdam yang Terendam
Catatan tentang banjir ini kemudian terputus sejak era Purnawarman hingga kemudian pemerintahan kolonial Belanda menguasai wilayah Sunda Kelapa. Ketika itu, pemerintah Belanda melalui Gubernur Jenderal ke-6 VOC yaitu Jan Pieterszoon Coen berusaha menata kembali kota yang kini bernama Batavia itu menjadi sebuah kota yang bersahabat dengan air.
Coen memimpikan duplikat Amsterdam, Belanda. Ia pun meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sering kebanjiran pada 1619. Kota yang dibangun di atas reruntuhan Jayakarta itu dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan kanal.
Kanal-kanal itu dibuat untuk memperlancar aliran Sungai Ciliwung menuju Laut Jawa. Kanal-kanal yang dibangun di masa kolonial tidak hanya dibangun untuk membantu aliran air sungai-sungai yang melintasi Batavia, tetapi untuk sarana transportasi air di daerah Batavia.
Dengan kanal-kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi banjir, sekaligus menciptakan sebuah kota yang menjadi lalu lintas pelayaran, sebagaimana kota-kota di Belanda. Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dialihkan dan digantikan sebuah terusan lurus, Kali Besar, memotong kota menjadi 2 bagian.
Â
Namun, impian Coen hanya bertahan singkat. Kota Batavia yang dibangun Coen memang sempat dijuluki "Venesia dari Timur", namun tak lama kemudian pertumbuhan kota tak terkendali. Banjir ternyata tak terbendung.
Hanya 3 tahun sejak dibangun atau tahun 1621, Batavia kebanjiran. Banjir juga terjadi pada 1654 dan sejak itu terus membesar. Kota yang dirancang Coen ini perlahan ditinggalkan.
Menurut catatan Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti riwayat banjir Jakarta sejak zaman kolonial hingga sekarang, pada akhir abad ke-18, terjadi perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke daerah yang lebih tinggi dan sehat di selatan, yaitu Weltevreden.
Weltevreden yang semula hutan dan rawa-rawa lantas berkembang pesat. Apalagi 1807, Herman Willem Daendels membangun pusat pemerintahan ibukota koloni Belanda di Asia di Weltevreden.
Awalnya, Daendels hendak membangun pusat pemerintahan di Semarang atau Surabaya. Karena alasan biaya, dia membangun di Weltevreden. Pada 1830, ibukota Hindia Belanda resmi pindah ke Weltevreden, sekitar Lapangan Banteng saat ini.
Selanjutnya: Banjir Mengepung Batavia...
Advertisement
Banjir Mengepung Batavia
Banjir Mengepung Batavia
Meski sudah menjadi ibukota, tetap saja Batavia tak bebas banjir. Pada 1872, misalnya, banjir menggenangi Jalan Pintu Besar dan kawasan Glodok sehingga melumpuhkan aktivitas niaga.
Sedangkan pada 1878, hujan terus-menerus selama 40 hari mengakibatkan hampir seluruh kawasan Batavia dan Omelanden (kawasan penyangga) tergenang dan sistem kanal di Batavia dinilai gagal meminimalisasi banjir.
Bahkan, ketika kawasan pusat kota tetus berkembang pesat, banjir tetap menyertai. Menurut Restu dalam bukunya "Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa", pada 1 Januari 1892 Weltevreden kebanjiran.
Banjir terjadi setelah turun hujan lebat selama 8 jam. Curah hujan yang tercatat di Batavia saat itu 286 milimeter. Banjir tak hanya terjadi di pusat Kota Batavia, namun juga dialami kawasan pinggiran kota termasuk Pasar Minggu.
Salah satu penyebabnya adalah karena Gubernur Jenderal Daendels menghancurkan tembok benteng/kastil Batavia dan mengubur kanal-kanalnya menggunakan material tembok kota di Batavia tersebut. Dan kanal yang tersisa lalu menjadi menjadi dangkal karena pengendapan.
Setahun kemudian, banjir lebih besar melanda. Hampir seluruh kota terendam. Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasayuran, Kebon Jeruk, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam air hingga 1 meter. Banjir memicu wabah kolera sehingga banyak warga meninggal.
Restu juga mencatat, Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904, dan 1909. Pemerintah kolonial pun dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19 Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul "Batavia Onder Water", pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk pengairan yang menjadi cikal bakal Kementerian Pekerjaan Umum.
Pembangunan Kanal Banjir Barat Dimulai
Pada saat pemerintah Hindia Belanda membangun kawasan Menteng (1905-1940) sebagai kawasan elite untuk orang-orang Eropa, banjir telah menjadi persoalan yang menggenangi wilayah Jakarta seperti Senen, Tanahabang, Subang, Tanahtinggi, Kemayoran, Pasar Baru, dan lainnya.
Akhirnya pada 1913, dengan dukungan dana 2 juta gulden, pemerintah Hindia Belanda memutuskan membangun kanal dari Manggarai ke Muara Angke yang sekarang dikenal sebagai Kanal Banjir Barat.
Namun, pemerintah Hindia Belanda pada dasarnya membangun kanal hanya untuk melindungi kepentingan orang-orang Eropa dari masalah banjir dan bukan untuk melindungi warga Jakarta secara keseluruhan.
Banjir besar kemudian menerjang Batavia setelah hujan mengguyur tanpa henti sejak Januari hingga Februari 1918 yang menyebabkan harga sejumlah bahan pokok naik. Selama 22 hari, mendung selalu menggantung di Batavia. Bulan Februari 1918, kampung di Weltevreden terendam banjir selama beberapa hari sehingga penduduk setempat terpaksa mengungsi.Â
Saat itu beberapa kampung yang hingga kini menjadi langganan banjir, Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran sudah terendam. Bahkan Kampung Pejambon terendam sampai satu meter hingga penduduk setempat terpaksa mengungsi ke Gereja Willemsskerk yang tingginya lebih dari 3 meter.
Sejak Februari 1918 banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan Batavia lumpuh. Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkin, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa.
Begitu juga di Angke, Pekajon, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sahari, serta Penjambon, air juga merendam rumah-rumah penduduk. Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian.
Banjir ini juga mengakibatkan hampir seluruh wilayah Gunung Sahari terendam, kecuali sedikit di depan Gang Kemayoran. Untuk menuju Senen, orang harus berenang hingga wilayah Kalilio (jalan ini masih ada hingga sekarang dan terletak di samping terminal Senen). Sampai di Kalilio air terlihat setinggi 50 cm. Gedung kantor Marine menjadi tempat pengungsian warga pribumi dari Gang Chambon.
Sementara, di wilayah Batavia bagian barat, banjir terjadi akibat jebolnya bendungan Kali Grogol. Beberapa kampung seperti Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng, Kapuran berubah menjadi empang. Satu-satunya sarana transportasi yang dapat digunakan adalah sampan dan perahu kecil.
Kondisi serupa terjadi di wilayah Kampung Pesayuran dan Kebon Jeruk. Perahu bahkan bisa berjalan di gang-gang yang biasanya digunakan sebagai jalan kereta kuda. Akhir Februari 1918, banjir mulai surut. Keadaan Batavia berangsur-angsur normal kembali.
Selanjutnya: Kanal yang Hanya Memindahkan Banjir...
Kanal yang Hanya Memindahkan Banjir
Kanal yang Hanya Memindahkan Banjir
Belajar dari pengalaman itu, pemerintahan kolonial Hindia Belanda mulai melakukan berbagai pembenahan sistem pengendali banjir. Selain membangun beberapa infrastruktur baru, proyek pembangunan Kali Grogol, dan Pintu Air Manggarai yang dilengkapi dengan saluran Kanal Banjir Barat diteruskan kembali.
Rencana itu datang dari Herman van Breen, seorang insinyur hidrologi yang bekerja pada Burgelijke Openbare Werken (BOW). Rencana van Breen saat itu cukup sederhana, yaitu memecah aliran sungai yang masuk Batavia melalui sebelah kiri dan kanan Batavia sehingga aliran air tidak ada yang masuk tengah kota. Atas dasar rencana itulah pada tahun 1922 dimulai pembangunan Kanal Banjir Barat setelah sebelumnya membangun Pintu Air Manggarai.
Kanal Banjir Manggarai-Karet atau sekarang dikenal dengan Kanal Banjir Barat dibangun dalam 2 tahap. Tahap pembangunan pertama dimulai dari Pintu Air Manggarai menuju arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet.
Tahap kedua dibangun setelah BOW mendapat bantuan dana dari pemerintah, dibangun dari Karet menuju ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah reservoar di muara, di daerah Pluit.
Dipilihnya Manggarai sebagai awal dari Banjir kanal ini karena letak Manggarai yang merupakan batas kota di sebelah selatan dan dianggap aman dari banjir yang bisa memudahkan pengendalian air saat musim hujan.
Sebenarnya van Breen juga telah merancang pembangunan Kanal Banjir Timur, namun gagal terwujud karena masalah dana. Kanal Banjir Timur sendiri mulai dibangun di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada Juli 2003 dengan menggunakan rancangan van Breen.
Dalam kurun waktu 1911-1938 cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda dan Batavia untuk menanggulangi banjir. Selain membangun pintu air seperti Pintu Air Manggarai, Karet, dan Kampung Gusti, pemerintah juga melakukan pemeliharaan sungai dengan mengeruk beberapa sungai besar yang ada di Batavia seperti Sungai Ciliwung, Kali Angke, Sungai Krukut, Kali Baru, dan Saluran Sentiong.Â
Seperti yang diprediksi sebelumnya oleh Van Breen, kehadiran fasilitas pengendali banjir tersebut tidak sepenuhnya menjamin Batavia terbebas dari banjir. Keberadaan Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai, hanya akan berakibat pada pengalihan wilayah banjir.
Jika sebelumnya banjir melanda kawasan Weltevreden dan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sehingga banjir pun berpindah ke daerah Manggarai dan Jatinegara.
Selanjutnya: Siklus Makin Pendek...
Advertisement
Siklus Banjir Makin Pendek
Siklus Banjir Makin Pendek
Setelah Indonesia merdeka dan Batavia berganti nama menjadi Jakarta, ibukota tak kunjung merdeka dari banjir. Pada Januari 1952, 1953, November 1954, dan 1956, banjir kembali melanda Jakarta sampai ada karikatur untuk banjir yang berulang ini. Tercatat pada Februari 1960 Jakarta mengalami banjir besar, paling parah terjadi di daerah Grogol.
Pascabanjir 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun 6 waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibukota.
Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain: (a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, dan Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya; (b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur; (c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum dibangun hingga kini.
Yang jelas, periode 1960-1970 daerah banjir semakin meluas dan penduduk yang tinggal di bantaran sungai semakin banyak. Ditengarai antara tahun 1970-1980 siklus banjir semakin pendek, artinya banjir semakin sering terjadi. Bahkan, pada 1976 di zaman Gubernur Ali Sadikin, terjadi banjir hebat yang membuat wakil gubernur A Wiriadinata sampai bermalam di Pintu Air Manggarai.
Untuk mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur, kemudian dibangun Banjir Kanal Timur. Proyek Banjir Kanal Timur dicanangkan sejak 1973, mengacu pada masterplan buatan Netherlands Engineering Consultants (Nedeco) melalui "Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta" pada Desember 1973. Rancangan ini didetailkan lagi lewat desain Nippon Koei pada 1997. Namun penggalian kanal pertama kali baru dimulai pada 2003.
Panjang Kanal Banjir Timur ini 23,6 km dengan daya tampung limpahan air 390 meter kubik per detik. Selain itu, Banjir Kanal Timur juga dilengkapi dengan sistem kolam sedimen berukuran 300 x 350 meter di kawasan Ujung Menteng. Sistem kolam ini berguna untuk menangkap sedimen agar badan kanal tetap leluasa.
Tujuan pembangunan Banjir Kanal Timur, selain untuk mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, juga untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Namun hingga saat ini pembangunan Banjir Kanal Timur yang terkendala biaya itu belum juga kelar.
Ketika pemerintah sibuk dengan semua rencana, banjir tetap saja datang, bahkan semakin besar. Seperti terjadi pada 1996, 2002 dan Februari 2007 yang tercatat sebagai banjir terbesar yang pernah terjadi di Jakarta.
Banjir 2002 menurut Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Sutiyoso menggenangi 42 kecamatan di Jakarta (100 persen) dengan 168 kelurahan (63,4 persen). Luas genangan mencapai 16.041 hektare atau 24,25 persen dari luas DKI Jakarta dengan ketinggian air tertinggi 5 meter.
Korban banjir sebanyak 381.266 jiwa dan menelan korban jiwa sebanyak 21 orang. Banjir besar 1996 dan 2002 telah menimbulkan kerugian Rp 9,8 triliun.
Demikian juga banjir besar pada 2007 yang telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi.
Banjir 2007 menyebabkan 55 orang meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar Rp 8,8 triliun, terdiri dari Rp 5,2 triliun kerusakan dan kerugian langsung dan Rp 3,6 triliun merupakan kerugian tidak langsung.
Dan sejarah terus berulang. Pada Minggu pekan lalu, 8 Februari 2015, banjir kembali menerjang Jakarta. Tak terhitung lagi janji, konsep, gagasan dan program dari pemimpin Ibukota untuk menolak banjir. Namun, hingga kini air tetap menggenang di hampir setiap sudut Jakarta ketika musim hujan tiba.
Kita bisa beralasan dengan menyodorkan berbagai faktor yang tak bisa dibantah kenapa dari dulu Jakarta selalu didatangi air dalam jumlah besar. Tapi, apakah memang tidak ada cara dan solusi untuk mencegahnya?
Dengan teknologi yang makin modern serta faktor penyebab yang sudah diketahui, harusnya banyak cara bisa dilakukan. Masalahnya, apakah pemerintah punya komitmen untuk melaksanakan cara itu. Atau, kita hanya berusaha menerima takdir sejarah yang seolah telah menuliskan bahwa Jakarta akan selalu berada di bawah air. (Dari berbagai sumber)