Liputan6.com, Jakarta - Lebaran Idul Fitri semakin dekat. Umat Muslim yang merantau bersiap kembali ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga, populer disebut mudik.
Suasana jalanan akan dipenuhi oleh pemudik yang menempuh perjalanan panjang.
Advertisement
Mudik merupakan kebiasaan tahunan yang dilakukan saat bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri. Momen ini menjadi kesempatan berharga untuk bersilaturahmi dengan keluarga setelah sekian lama merantau.
Advertisement
Namun, bagi pemudik yang menjalankan ibadah puasa, perjalanan jauh bisa menjadi tantangan tersendiri. Banyak yang bertanya-tanya apakah mereka diperbolehkan tidak berpuasa saat dalam perjalanan.
Dai kondang, Buya Yahya, menjelaskan bahwa pemudik diperbolehkan tidak berpuasa jika memenuhi beberapa syarat tertentu. Hal ini merujuk pada aturan dalam fiqih Islam tentang hukum bepergian saat bulan Ramadhan.
Menurut Buya Yahya, salah satu syarat utama seseorang boleh membatalkan puasa saat mudik adalah jika jarak perjalanannya lebih dari 84 kilometer. Selain itu, ada aturan lain yang harus diperhatikan.
Penjelasan ini disampaikan Buya Yahya dalam sebuah video yang dnukil dari kanal YouTube @AlBahjah TV. Dalam video tersebut, ia memberikan rincian mengenai hukum puasa bagi pemudik.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Ikuti Ketentuannya
Salah satu ketentuan yang harus dipenuhi adalah seseorang sudah harus berada di luar wilayah tempat tinggalnya sebelum waktu Subuh. Jika masih berada di dalam wilayahnya saat Subuh tiba, maka ia tetap wajib berpuasa.
Sebagai contoh, seseorang yang tinggal di Cirebon dan hendak pergi ke Semarang yang jaraknya sekitar 200 km diperbolehkan berbuka puasa jika telah keluar dari Cirebon sebelum Subuh.
Misalnya, ia berangkat pukul 02.00 dini hari dan saat Subuh tiba ia sudah berada di Brebes, maka ia boleh tidak berpuasa hari itu. Namun, jika ia masih berada di Cirebon saat Subuh, maka ia tetap wajib berpuasa.
Dalam kondisi seperti ini, pemudik baru boleh membatalkan puasanya di hari berikutnya, ketika saat Subuh ia sudah berada di luar wilayah asalnya.
Buya Yahya juga menjelaskan bahwa ada aturan lain yang harus diperhatikan bagi orang yang bepergian dalam waktu lama. Jika seseorang berniat tinggal di tempat tujuan lebih dari empat hari, maka ia dianggap sudah mukim.
Jika sudah berstatus mukim, maka ia wajib menjalankan puasa seperti biasa dan tidak boleh mengqashar sholat. Hal ini penting dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menjalankan ibadah.
Sebagai contoh, jika seseorang yang mudik dari Cirebon ke Semarang berniat tinggal di sana lebih dari empat hari, maka sejak tiba di Semarang ia wajib berpuasa.
Advertisement
Ketentuan Lainnya
Namun, jika ia hanya berniat tinggal selama tiga hari, maka selama di Semarang ia tetap berstatus musafir dan diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Buya Yahya menegaskan bahwa aturan ini berlaku bagi siapa pun yang melakukan perjalanan jauh. Bukan hanya pemudik, tetapi juga bagi mereka yang bepergian dengan tujuan lain yang memenuhi syarat.
"Siapa pun yang berada di perjalanan panjang (jaraknya tidak kurang dari 84 km), maka saat di perjalanan ia boleh berbuka puasa serta boleh menjamak dan mengqashar shalat," ujar Buya Yahya.
Ia juga menekankan bahwa untuk dianggap mukim tidak perlu menunggu sampai empat hari. Jika seseorang sudah berniat tinggal lebih dari empat hari sejak tiba di tujuan, maka statusnya langsung berubah menjadi mukim.
Pemahaman ini penting bagi umat Muslim yang akan melakukan perjalanan saat bulan Ramadhan. Dengan mengetahui hukum yang berlaku, mereka bisa menjalankan ibadah dengan lebih baik.
Mudik memang menjadi momen istimewa yang selalu dinantikan. Namun, menjaga kesehatan dan memahami aturan agama juga tidak kalah penting.
Dengan memahami hukum puasa bagi musafir, para pemudik bisa menyesuaikan kondisi mereka dengan ketentuan yang sudah diatur dalam Islam.
Pada akhirnya, ibadah puasa tetap harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, serta disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
