Saat Penelantar Anak Mengaku Titisan Raja

Begitu keluar dari poliklinik eksekutif di RS Polri, Kramatjati, Jakarta, UP ayah penelantar anak mengaku sebagai titisan raja Jawa.

oleh Ahmad Romadoni FX. Richo PramonoAudrey Santoso diperbarui 23 Mei 2015, 00:10 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2015, 00:10 WIB
RS Kramat Jati
Orangtua penelantar anak menjalani pemeriksaan di RS Polri Kramat Jati (Liputan6.com/ Richo Pramono)

Liputan6.com, Jakarta - Siang itu ucapan mengejutkan terlontar dari UP yang merupakan suami NS, orangtua penelantar anak di Cibubur saat keluar dari Poliklinik Eksekutif Pusdokkes Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur. Betapa tidak, UP mengaku dia dan istrinya merupakan titisan Raja Jawa.

"Jayalah Majapahit, calon presiden Indonesia," teriak UP yang langsung masuk ke mobil, Jumat 22 Mei 2015.

Usai UP bersama istri meninggalkan RS Polri, sejurus kemudian kuasa hukum mereka menjelaskan apa yang dimaksud UP.

"Riwayatnya sekitar 3 sampai 6 bulan lalu bahwa nggak tahu benar apa nggak, dia meyakini bahwa istrinya titisan Raja Majapahit. Tribuana Tungga Dewi," ujar kuasa hukum UP dan NS, Handika Honggowongso di RS Polri.

Tribuana Tungga Dewi merupakan anak dari Putri Raden Wijaya dan Gayatri, pendiri Kerajaan Majapahit. Bukan hanya istrinya, UP pun menyatakan bahwa dirinya merupakan titisan raja.

"Sedangkan dia (UP) sendiri mengaku keturunan Sanggobuwono atau Sambernyowo. Raja Mangkunegaran di Solo," tambah Handika.

Namun kuasa hukum belum dapat memastikan klaim kliennya itu. Bahkan kuasa hukum meminta agar keyakinan kliennya diverifikasi para pakar di bidangnya. "Perlu dikonfirmasi kepada ahli sejarawan dan antropolog apakah itu relevan atau hanya celotehan saja."

Sabu dan Tirakat

Bukan hanya mengaku sebagai titisan raja Jawa. Orangtua penelantar 5 anak mereka di Perumahan Citra Gran Cibubur, Bekasi, Jawa Barat itu pun menggunakan narkoba jenis sabu untuk kepentingan tirakat.

Seusai UP dan NS menjalani pemeriksaan forensik di Poliklinik Eksekutif Pusdokkes RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Handika Honggowongso sebagai kuasa hukum keduanya menerangkan bahwa narkoba jenis sabu digunakan oleh kliennya untuk memperkuat tubuh saat tirakat atau berpuasa dengan mengasingkan diri.

"Kalau isap sabu, salah satu cara membuat tubuh menjadi kuat. Karena mereka kan harus melakukan tirakat. Sehari bisa membaca 100 ribu bacaan zikir," ujar Handika, Jumat 22 Mei 2015.

Dia menjelaskan, ketika menjalankan tirakat, kliennya menjalani puasa penuh. Tirakat yang dilakukan kliennya pun dapat memakan waktu seharian, menjadikan penelantaran anak merupakan alasan dari kekhusyukannya menjalankan tirakat.

"Tirakatnya juga menjalani puasa. Tirakatnya bisa seharian penuh. Nah nelantarin anak karena fokus pada tirakatnya," jelas dia.

Bisikan Gaib

Tirakat tersebut diakui Handika dijalankan kliennya atas tuntutan dan petunjuk bisikan gaib yang dialami UP dan NS.

Sebelumnya Handika menjelaskan bahwa UP mengaku merupakan titisan Raja Mataram. Sedangkan istrinya NS merupakan titisan Raja Majapahit.

"Tirakat itu merupakan bagian dari prosesi yang harus dijalani karena lantai atas juga ada keris-keris," beber Handika.

Pemeriksaan forensik yang dilakukan awalnya akan mempertemukan UP dan NS dengan kelima anaknya yang ditelantarkan. Namun pertemuan itu tidak terjadi ketika UP dan NS meninggalkan RS Polri lebih dulu pada pukul 12.23 WIB.

(Liputan 6 TV)

Pemeriksaan Visum

UP dan NS, orangtua penelantar anak di Cibubur menjalani pemeriksaan di Poliklinik Eksekutif Pusdokkes RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Pemeriksaan yang meliputi visum itu merupakan rangkaian assessment atau penilaian yang harus dijalani keduanya.

Visum tidak hanya ditujukan kepada kepada orangtua, namun juga kepada 5 anak mereka yang tengah menjalani perlindungan di Safe House SOS Cibubur, Jakarta Timur.

"Anak-anak ke sini juga dalam satu rangkaian visum karena kelanjutan kemarin belum selesai," kata Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda di RS Polri, Jakarta Timur, Jumat 22 Mei 2015.

Erlinda menekankan, keterlibatan KPAI dalam pemeriksaan kali ini adalah sebatas penyidikan dan pendampingan. Hasil visum sepenuhnya menjadi wewenang pihak kepolisian.

Kondisi rumah yang ditinggali oleh 5 anak yang ditelantarkan orangtuanya di Perumahan Citra Gran, Cibubur, Jawa Barat, Jumat (15/5/2015). Dua mobil tampak terparkir di depan rumah yang terlihat mewah tersebut. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Sebelumnya pada Kamis 14 Mei 2015, polisi menangkap pasangan suami-istri, UP dan NS lantaran diduga menelantarkan 5 anaknya di rumahnya, Kompleks Citra Gran Cibubur, Jawa Barat. Dalam pemeriksaan di Mapolda Metro Jaya, kedua orangtua bocah itu positif menggunakan narkoba. Sedangkan kelima bocah itu kini berada di Safe House SOS Children's Village.

5 Anak yang diduga ditelantarkan orangtuanya di Cibubur saat ini berada di Safe House SOS. Di tempat tersebut, mereka dikunjungi oleh keluarga sang ayah setiap hari.

"Mereka juga pernah menitipkan secara financial (memberi uang) semacam itu," kata Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda di Gedung BNN, Jakarta, Kamis (21/5/2015).

Erlinda menjelaskan, KPAI dan Kementerian Sosial (Kemensos) telah merundingkan masalah hak kuasa pengasuhan bagi L (10), C (10), D (8), AL (5) dan DN (4). Ada tiga pilihan terkait pengasuhannya.

Pertama adalah keluarga, atau panti milik Kemensos, atau Safe House SOS tempat mereka tinggal saat ini.

(Liputan 6 TV)

Dia menyebut kemungkinan hak kuasa pengasuhan anak itu akan diserahkan kepada keluarga UP. Untuk itu, KPAI telah mengobservasi tempat tinggal keluarga UP dan hasilnya dianggap layak. Selain itu, KPAI juga menilai hubungan emosional antara lima anak dengan sang kakek dan nenek sudah terjalin erat.

"Kelima anak senang saat dikunjungi keluarga ayahnya, terutama ananda D (dekat) dengan kakek-neneknya," imbuh Erlinda.

Selanjutnya: Rencana Pertemuan Dikecam...

Rencana Pertemuan Dikecam

Rencana Pertemuan Dikecam

5 Anak yang ditelantarkan orangtuanya di Cibubur sempat akan dipertemukan dengan kedua orangtua yang telah menelantarkannya.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai pertemuan itu tidak perlu dilakukan. Terlebih kelima anak masih dalam keadaan trauma.

"Saya dalam posisi tidak sepaham, dan menolak pertemuan tersebut," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait di Jakarta.

Arist menilai, pertemuan yang diinisiasi Sekjen KPAI Erlinda, Polda Metro Jaya, dan Tim Peksos itu tidak tepat. Setidaknya ada 3 alasan yang membuat pertemuan itu tidak seharusnya dilakukan dalam waktu dekat ini.

Polisi dari Polda Metro Jaya memeriksa 11 orang saksi terkait kasus penelantaran 5 anak di bawah umur oleh orangtuanya sendiri di Cibubur.

"Kelima anak khususnya D (8) dan 2 anak perempuan kembar masih dalam keadaan trauma akut dan masih membutuhkan terapi yang intensif," jelas dia.

Selain itu, kedua pelaku sampai hari ini belum ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, sudah terbukti menelantarkan anak dan perlakuan salah.

Arist curiga, penetapan tersangka penggunaan narkoba hanya untuk mengalihkan kasus penelantaran anak yang sebenarnya harus menjadi perhatian. Dia khawatir, kedua orangtua D justru hanya dihukum rehabilitasi.

"Ada dugaan kuat untuk mengalihkan peristiwa penelantaran anak ke kasus penggunaan narkoba yang ujung-ujungnya direkondisi untuk direhabilitasi seolah-olah penelantaran itu dibenarkan karena dampak dari budak narkoba," tegas Arist.

Karena itu, Komnas PA mendesak Polda Metro Jaya segera menetapkan status tersangka penelantaran anak kepada orangtua D.

Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Heru Pranoto sebelumnya menyatakan salah seorang dari 5 anak mengungkapkan rasa rindunya kepada sang ibu, NS (42).

Pihaknya pun akan mempertemukan keluarga tersebut. Pertemuan akan berlangsung di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur pada Jumat 22 Mei 2015. Langkah ini juga dinilainya sebagai bentuk penyidikan yang bersifat observasi.

"Kami akan lihat reaksinya seperti apa saat dihadirkan orangtuanya," kata Heru di Mapolda Metro Jaya, Rabu 20 Mei 2015.

Heru menyebutkan, ekspresi kelima anak yang tersirat dapat dianalisa penyidik dan menunjukkan seberapa jauh bocah-bocah malang itu mengalami trauma.

"Kalau ketakutan artinya ada kemungkinan memang anak mengalami trauma terhadap orangtuanya," jelas Heru.

Kondisi Orangtua Labil

Adapun rencana pertemuan bocah yang ditelantarkan di Cibubur dengan orangtuanya urung dilakukan. Hal itu lantaran kedua orangtuanya, UP dan NS, masih dalam kondisi labil.

Semula pertemuan itu rencananya digelar saat kedua orangtuanya menjalani pemeriksaan forensik di Poliklinik Eksekutif Pusdokkes RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur. Di tempat yang sama, kelima bocah itu juga rencananya menjalani tes visum.

Kuasa hukum UP dan NS, Handika Honggowongso, mengungkapkan rencana pertemuan itu atas dasar keinginan dari sang bocah. Mereka kangen dengan orangtuanya.

"Anak-anak bilang sudah kangen sekali dengan ibunya. Makanya mereka ingin dipertemukan dengan orangtuanya," tutur Handika di RS Polri, Jakarta, Jumat 22 Mei 2015.

Handika mengungkapkan kondisi psikis orangtua yang diduga telantarkan anak itu cukup serius. Terutama sang ibu, NS. "Secara psikologis masih labil sekali. Terutama kondisi istri ya, masih sangat depresi. Jiwanya masih terguncang," papar dia.

Dia pun menerangkan secara gamblang kondisi terkini terkait kejiwaan NS. Menurut Handika, NS mengalami gangguan psikis yang jauh lebih berat ketimbang suaminya.

"Istrinya yang parah. Tatapannya kosong. Kadang tertawa, kadang menangis. Berubah begitu cepat. Bahkan untuk mengurus dirinya sendiri dia nggak bisa, harus dibantu orang lain," pungkas Handika. (Ans)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya