Alasan Hakim Mengabulkan Praperadilan Hadi Poernomo

Meski Hakim Haswandi mengabulkan permohonan praperadilan, Hadi Poernomo tidak menganggap sebagai suatu kemenangan untuk dirinya.

oleh FX. Richo Pramono diperbarui 26 Mei 2015, 18:46 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2015, 18:46 WIB
 Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo Beberkan Kesimpulan di Sidang Praperadilan
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo saat membacakan kesimpulannya dalam sidang praperadilan terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/5/2015). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Sidang praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo mencapai babak final. Permohonan gugatan Hadi terhadap KPK, pun dikabulkan Hakim Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ada hal mendasar yang membuat hakim tunggal tersebut, mengabulkan permohonan gugatan praperadilan Hadi Poernomo.

"Penetapan tersangka oleh termohon (KPK), penggeledahan, dan penyitaan pada pemohon tidak sah," ujar Hakim Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/5/2015).

Selain itu menurut Hakim Haswandi, sengketa pajak bukan merupakan wewenang KPK. Yang semula diduga merugikan negara juga tidak terbukti di persidangan.

"Sengketa pajak merupakan hukum khusus. Keberatan pajak bukan merupakan pidana dan bukan wilayah KPK. Juga negara tidak dirugikan seperti yang diungkapkan termohon," tambah dia.

Tidak Merasa Menang

Meski Hakim Haswandi mengabulkan permohonan praperadilan, Hadi tidak menganggap sebagai suatu kemenangan untuk dirinya. Menurut dia, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah dalam putusan sidang praperadilannya itu. Keputusan yang dikeluarkan hakim merupakan ranah undang-undang yang berlaku.

"Proses hukum sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Fakta dan bukti sudah sah secara hukum. Tidak ada menang kalah," ujar Hadi usai menghadiri sidang putusan.

Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan, terkait keberatan Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan (SKPN PPh) Bank Sentral Asia (BCA).

BCA mengajukan surat keberatan pajak penghasilan pada 17 Juli 2003 terkait Non-Performance Loan (NPL) atau kredit bermasalah Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.

Setelah ditelaah, diterbitkanlah surat pengantar risalah keberatan pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak, yang pada saat itu dijabat Hadi Poernomo, dengan kesimpulan permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.

Mantan Dirjen Pajak itu memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan. Dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima semua keberatan. Hal itu dilakukan sehari sebelum jatuh tempo memberi keputusan kepada BCA.

Hadi Poernomo kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak, yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak. Atas keputusan tersebut, negara merugi hingga Rp 375 miliar.

Hadi Poernomo disangkal Pasal 2 ayat 2 dan atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. (Rmn/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya