Rupiah Anjlok ke Level Terendah Sejak 1998, RI di Ambang Krisis?

Sentimen pelemahan rupiah tidak hanya devaluasi yuan, namun juga karena sentimen rencana kenaikan suku bunga The Fed.

oleh Fiki AriyantiSeptian DenyArthur GideonIfsan Lukmannul Hakim diperbarui 31 Agu 2015, 20:31 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2015, 20:31 WIB
Ilustrasi penurunan rupiah (Liputan6.com)
Ilustrasi penurunan rupiah (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - The People's Bank of China (PBOC) mendevaluasi mata uang yuan selama tiga hari berturut-turut pada 11-13 Agustus 2015 masing-masing kurang lebih sebesar 2 persen. Langkah devaluasi ini sengaja dilakukan oleh PBOC.

Langkah yang dilakukan oleh PBOC tersebut bertujuan untuk mendorong ekspor di pasar global. Dengan nilai mata uang yang rendah, produk-produk dari China akan lebih murah dan bisa bersaing dengan produk dari negara lain.

China memang sedang berjuang mendorong ekspor untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi negara Tirai Bambu tersebut memang sedang tertekan.

Di tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China selalu berada di atas level 10 persen. Namun di tahun ini, pertumbuhan ekonomi China berada di bawah 10 persen. Bahkan di kuartal terakhir tercatat ekonomi China ada di level 7 persen.

"Seperti yang kita tahu, ini adalah langkah-langkah akhir dari negara tersebut untuk mengantisipasi melambatnya perekonomian," kata Khoon Goh, Analis Australia & New Zealand Banking Group Ltd. "Salah satu tujuan dari devaluasi adalah memperbaiki dan memungkinkan meraih lebih banyak basis pasar untuk rezim mata uang baru," tambah Goh.

Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Ryan Kiryanto menjelaskan, pelemahan yuan tersebut sangat berpengaruh ke negara-negara di sekitarnya. Pasalnya, devaluasi yuan tersebut akan membuat persepsi pasar kepada mata uang di negara sekitarnya turun sehingga mereka mendiskon mata uang negara-negara Asia Pasifik.

Beberapa mata uang yang ikut turun dengan devaluasi mata uang China ini antara lain Korea Selatan, Australia dan Singapura yang mengalami penurunan lebih dari 1 persen. Indonesia pun ikut terdampak.

Setelah devaluasi yuan, rupiah melemah hingga menyentuh level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Level terendah yang pernah dicetak oleh rupiah dalam 17 tahun terakhir atau sejak 1998, di mana saat itu Indonesia sedang mengalami krisis moneter.

Sebenarnya, sebelum PBOC mendevaluasi mata uangnya, secara pelan, mata uang rupiah sudah tertekan. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah telah melemah 12 persen. Di awal tahun, rupiah masih berada di angka 12.545 per dolar AS. Sedangkan di akhir Agustus 2015, rupiah sudah menyentuh level 14.035 persen. Bahkan pada 26 AGustus 2015, rupiah sempat menyentuh level 14.133 per dolar AS.

Nah, jika sejak awal tahun, sentimen yang mendorong rupiah melemah sebenarnya tidak hanya devaluasi yuan saja namun karena adanya sentimen rencana kenaikan suku bunga yang akan dilakukan oleh Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed).

Proses pemulihan ekonomi AS setelah krisis subprime mortgage telah terjadi. Terefleksi dari beberapa infikator makro ekonomi yang mulai membaik seperti angka pengangguran telah berada di level 5,2 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga sudah mendekati 2 persen.

Dengan beberapa indikator ekonomi yang membaik tersebut, The Fed berencana untuk mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga yang saat ini masih berada di level mendekati nol persen.

Rencana kenaikan suku bunga ini tidak diantisipasi dengan baik oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Alhasil, dana-dana yang tadinya lagi dari Amerika dan berlabuh di negara berkembang mulai kembali lagi ke AS. Hal ini membuat permintaan akan dolar AS menguat dan rupiah melemah.

Pelarian dana-dana ini diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. "Dari dulu kita sudah rentan kalau soal kurs rupiah, karena terlalu besar dana asing di dalam ekonomi kita," ujar dia.

Menurut Darmin, hal ini bisa terlihat dari kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) Indonesia sebanyak 38 persen atau sama dengan negara tetangga, Malaysia. Namun lebih besar bila dibandingkan Thailand yang hanya mencatatkan 13-14 persen porsi kepemilikan asing pada surat utangnya.

"Begitu pula dengan saham di Indonesia, porsi asing lebih banyak lagi sampai 60 persen. Jadi kalau sebanyak itu asing, batuk sedikit atau asing keluar, kita goyah," terang Darmin.

Pengamat valuta asing (valas), Farial Anwar menambahkan, pelemahan rupiah tidak hanya semata-mata karena faktor eksternal. Faktor dalam negeri juga menjadi pendorong pelemahan rupiah.

Harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional.

"Yang ada justru konflik antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Menteri BUMN dan Wakil Presiden yang diangkat di media massa. Artinya semakin memberi kesan pemerintahan ini tidak mungkin bisa bekerjasama dengan baik. Malah menimbulkan masalah baru," ucap Farial.

Krisiskah Indonesia?

Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Sedangkan kekuatan modal perbankan saat ini juga cukup tinggi jika dibandingkan saat krisis 1998 lalu.

Krisiskah Indonesia?

Jika ditengok, posisi nilai tukar rupiah saat ini hampir sama dengan posisi nilai tukar rupiah saat krisis di 1998 lalu. Lalu, apakah Indonesia saat ini berpotensi krisis seperti 1998 lalu?

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengungkapkan tekanan kurs rupiah terjadi akibat penguatan dolar AS. Penurunan nilai tukar juga terjadi di seluruh mata uang dunia. Kondisi ini berbeda pada saat krisis 1997-1998, nilai tukar rupiah melemah sendiri terhadap dolar AS. Dia menjelaskan, inflasi ketika krisis pun meningkat tajam.

"Ini sangat beda sekali fundamentalnya, jadi tidak ada indikasi akan krisis, karena beda kondisi sekarang aman terkendali seperti inflasi. Kondisi 2008, inflasi luar biasa naik, pertumbuhan negatif sampai 14 persen, sedangkan sekarang aman meski melambat," tegas dia.

Penyebab krisis 1998 lalu juga berbeda dengan kondisi saat ini. Ryan menyebutkan, penyebab krisis di 1998 multi dimensi. “Saat itu kita krisis moneter, krisis perbankan, krisis ekonomi dan krisis politik,” tuturnya. Sehingga, secara ekonomi, tingkat kerusakan yang diakibatkan sangat luar biasa.

Indikator-indikator di 1998 lalu, kekuatan perbankan rentan. Rasio kecukupan modal bank negatif sehingga pemerintah dengan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan rekapitalisasi perbankan dengan total nilai Rp 640 triliun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi di saat itu juga minus 13,7 persen sehingga artinya tidak ada pergerakan apapun di ekonomi nasional.

Angka inflasi di saat pemerintahan Presiden Soeharto tersebut juga cukup mencengangkan yaitu hingga 71 persen yang menyebabkan suku bunga deposito berjalan sampai mendekati angka 55 persen.

Kondisi tersebut jauh berbeda dengan saat ini. Saat ini, Indonesia masi h bisa membukukan pertumbuhan ekonomi 4,7 persen, meskipun pertumbuhan ekonomi tersebut mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat di atas 5 persen.

Sedangkan kekuatan modal perbankan saat ini juga cukup tinggi jika dibandingkan saat krisis 1998 lalu. Saat ini rasio kecukupan modal perbankan berada di atas 20 persen.

Strategi Pencegah Krisis

20150730-Bursa-Saham-Jakarta
Untuk memperkuat rupiah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menyiapkan satu paket kebijakan besar.

Strategi Pencegah Krisis

Meskipun dari indikator-indikator yang ada, Indonesia masih jauh dari terpaan krisis. Lembaga otoritas moneter dan fiskal tetap menyiapkan strategi pencegahan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mempunyai strategi masing-masing.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, secara umum hasil assessment Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menunjukkan stabilitas sistem keuangan masih terjaga dengan baik. Hanya saja, sambungnya, FKSSK akan meningkatkan kewaspadaan akibat tekanan pada pasar keuangan dan nilai tukar.

"Nilai tukar rupiah saat ini tidak mencerminkan nilai fundamentalnya (undervalued). Pelemahan kurs dalam dua hari ini lebih banyak akibat faktor eksternal, khususnya depresiasi Yuan China," ujar dia.

Ada pun tekanan pada pasar saham dan pasar Surat Berharga Negara (SBN) merupakan kombinasi antara sentimen negatif eksternal serta proyeksi kinerja emiten yang lebih rendah dari ekspektasi investor.

Menurut Bambang, guna mengatasi goncangan temporer terhadap nilai tukar, kebijakan dalam jangka pendek adalah menjaga nilai tukar sesuai fundamentalnya. Dalam hal ini, BI akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi kurs rupiah dan stabilitas pasar SBN bersama pemerintah.

"Kebijakan jangka pendek ini fokus pada dua isu utama, yakni meningkatkan investasi dari sisi pemerintah maupun swasta serta kebijakan meningkatkan daya beli masyarakat dalam rangka menjaga konsumsi domestik," terang dia.

Guna peningkatan investasi, tambah Bambang, kebijakan empat lembaga keuangan telah mengeluarkan kebijakan percepatan belanja serta stimulus untuk meningkatkan investasi korporasi dan daya saing produk dalam negeri di samping kebijakan mempercepat pembangunan infrastruktur.

Aggota FKSSK, sambungnya, memperkuat koordinasi kebijakan untuk meningkatkan peran UMKM dalam perekonomian. Sementara dalam rangka menjaga konsumsi domestik dengan meningkatkan daya beli masyarakt, anggota FKSSK telah bersinergi memberi insentif untuk menambah daya beli masyarakat, menurunkan harga barang dan jasa serta meningkatkan ketersediaan kredit.

"Pemerintah juga sudah menyampaikan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) kepada DPR dan akan diselesaikan segera," tegas dia.

Bambang mengaku optimistis terhadap prospek ekonomi Indonesia, termasuk stabilitas nilai tukar serta ketahanan pasar dan lembaga keuangan domestik di semester II 2015 akan semakin membaik.

Secara jangka pendek, Bank Indonesia juga melakukan intervensi di pasar. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, BI selalu aktif di pasar mati-matian untuk menjaga pergerakan rupiah.

"Penangananan kita sudah lakukan. Antisipasi sejak lama dari RDG kemarin, kita juga sudah melakukan intervensi di pasar valas. Kita juga lakukan pembelian SBN di pasar sekunder," ujar‎ Perry. 

Tak tanggung-tanggung sebagai langkah antisipasi, bahkan BI selalu siap jika harus melakukan ‎Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) jika nantinya kondisi cadangan devisi terus tergerus akibat intervensi yang dilakukan di pasar uang.

Selain itu, demi mencegah keterpurukan pasar uang, dikatakan Perry, BI akan berkoordinasi d‎engan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk mendorong perusahaan BUMN melakukan buyback. "Itu bisa mendorong penguatan nilai tukar kita," tegas Perry.

Untuk memperkuat rupiah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menyiapkan satu paket kebijakan besar yang akan dikeluarkan pada pekan ini.

Darmin Nasution mengungkapkan, ada dua poin tujuan inti dalam paket kebijakan tersebut. "‎Tujuannya adalah, Pertama untuk memperlancar kegiatan ekonomi. Kedua mendorong masuknya valuta asing dari luar‎," kata Darmin.

Untuk itu, pihaknya bersama beberapa menteri dan kepala lembaga terkait tengah berkoordinasi untuk segera ‎merampungkan paket kebijakan, terutama dalam penguatan rupiah tersebut.

Dikatakan Darmin, sebenarnya paket kebijakan tersebut tidak hanya mengenai penguatan rupiah, ada beberapa poin lain yang menurutnya tidak kalah penting untuk pembangunan ekonomi Indonesia. (Gdn/Ein)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya