Liputan6.com, Jakarta - Celana panjang hitam dengan sepatu hitam-cokelat di kaki kiri nampak tertelungkup dan mengambang di perairan Kecamatan Pambiang, Majene, Sulawesi Barat. Sosoknya tak utuh lagi. Kepala, lengan, dan telapak kaki kanannya hilang.
2 Nelayan menemukan jasad tersebut saat memancing pada 28 Januari 2015, sekitar pukul 08.00 Wita. Di kantung celana jenazah tersebut ditemukan dompet berisi kartu identitas atas nama Saiful Rakhmad dengan alamat Kelurahan Halim Perdanakusuma, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur.
Hari itu tepat 1 bulan sejak burung besi AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya menuju Singapura ‘karam’ di Selat Karimata, Kalimantan Tengah pada 28 Desember 2014. Saiful tercatat sebagai teknisi pesawat yang dipiloti Kapten Iriyanto tersebut.
Advertisement
Seluruh penumpang maupun awak pesawat dinyatakan tewas dalam penerbangan nahas itu. Termasuk Saiful.
Baca Juga
Dugaan mengemuka, cuaca merupakan faktor penyebab 'karamnya' pesawat tersebut di lautan lepas. Cumulonimbus, si awan dengan massa yang besar disebut-sebut sebagai biang kerok.
Bahkan, awan itu juga yang menjadi penghalang proses pencarian dan evakuasi bagi jenazah korban maupun bangkai pesawat.
Executive Advisor Asosiasi Pilot Garuda (APG) Kapten Shadrach M Nababan menjelaskan, awan ini menjadi ancaman bagi proses penerbangan jika berada di lintasan pendaratan pesawat. Karena awan jenis ini bisa memicu terbentuknya wind shear dan microburst.
Wind shear merupakan perubahan arah dan kecepatan angin yang terjadi tiba-tiba. Sementara microburst adalah angin yang menghempas ke bawah dan turun ke tanah, yang menyebabkan perbedaan atau penyimpangan angin yang kuat. Microburst mampu menghasilkan angin lebih dari 100 Mph dan bisa menyebabkan kerusakan yang signifikan.
"Awan cumulonimbus adalah salah satu jenis awan yang paling besar," jelas Nababan kepada Liputan6.com di Jakarta pada 29 Desember 2014.
Bukan Cuaca
Namun kini menjelang setahun musibah tersebut, hasil investigasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menguak fakta lain penyebab jatuhnya AirAsia. Yang jelas bukan cuaca.
Seperti diungkapkan investigator KNKT Nurcahyo Utomo.
"Hal-hal seperti perizinan rute penerbangan dianggap tidak terkait pada kecelakaan ini. KNKT juga tidak menemukan tanda-tanda atau pengaruh cuaca yang menyebabkan kecelakaan ini," ucap Nurcahyo.
Lalu Apa?
Pria yang akrab disapa Cahyo itu menjelaskan, pesawat yang terbang dari Bandara Juanda, Jawa Timur, pukul 05.35 WIB itu sudah beberapa kali mengalami gangguan setelah terbang sekitar 30 menit.
Cahyo mengatakan, sejak pukul 06.01 WIB, data rekaman penerbangan atau Flight Data Recorder (FDR) mencatat adanya aktivasi peringatan 4 kali. Hal itu disebabkan terjadinya gangguan sistem Rudder Travel Limiter (RTL). Gangguan itu juga mengaktifkan Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM) berupa pesan 'Auto FLT RUD TRV LIM SYS'.
"Berdasarkan pesan ini, awak pesawat melaksanakan perintah sesuai langkah-langkah yang tertera pada ECAM," ucap dia.
Gangguan itu muncul 3 kali. Namun, ketiga gangguan di sistem RTL itu tak membahayakan penerbangan.
Hingga pada pukul 06.15 WIB muncul gangguan keempat. FDR, kata Cahyo, mencatat gangguan ini berbeda dengan 3 gangguan awal tadi. Gangguan keempat ini menunjukkan kesamaan dengan kejadian pada 25 Desember 2014 atau 3 hari sebelum pesawat celaka.
Saat itu ketika masih di darat, pesawat AirAsia QZ8501 menunjukkan gangguan Circuit Breaker (CB) dari Flight Auqmentation Computer (FAC) di-reset.
Retakan
Investigasi KNKT terhadap catatan perawatan pesawat dalam 12 bulan terakhir sebelum celaka menemukan adanya 23 kali gangguan yang terkait dengan sistem RTL pada 2014. Selang waktu antara kejadian menjadi lebih pendek dalam 3 bulan terakhir.
"Gangguan-gangguan itu diawali oleh retakan solder pada electronic module pada RTL Unit (RTLU) yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," ucap dia.
"Sistem perawatan pesawat yang ada saat itu belum memanfaatkan post flight report (PFR) secara optimal, sehingga gangguan pada RTL yang berulang tidak terselesaikan secara tuntas," jelas Cahyo.
Dia menjelaskan, retakan diduga terjadi karena ruangan tempat RTL tak berpendingin. Saat pesawat parkir di bandara dan terjemur matahari, maka suhu di RTL menjadi sangat panas.
Namun, ketika terbang dengan ketinggian 32 ribu kaki, suhu mencapai minus 50 derajat celcius.
"Kondisi seperti itu yang diduga membuat retakan," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT‎ itu.
Namun, perawatan terhadap RTL itu tidak dilakukan de‎ngan baik oleh AirAsia. Maskapai asal Malaysia itu dianggap KNKT tidak memanfaatkan sistem perawatan pesawat menggunakan PFR secara optimal.
Sehingga gangguan di RTL terjadi berulang-ulang dan tidak terselesaikan secara tuntas.
"Jika suatu pesawat telah mendarat, laporan gangguan bisa dicetak dan dilakukan tindakan perbaikan. (Gangguan) ini kurang dianalisa dengan baik, sehingga data tidak mencukupi,'' tutur dia.
Di Indonesia, tidak ada kewajiban pilot melapor kalau pesawat ada gangguan supaya bisa diperbaiki oleh maintenance," imbuh Cahyo.
Kesimpulan KNKT, ada 5 faktor penyebab jatuhnya AirAsia. Faktor-fakto itu, yakni retakan di solder, perawatan yang belum optimal, terjadinya pemutusan arus listrik pada Flight Auqmentation Computer (FAC).
"Keempat, terputusnya arus listrik FAC menyebabkan auto-pilot disengage, flight control logic berubah dari normal law ke alternate law, dan rudder bergerak 2 derajat ke kiri. Kondisi ini mengakibatkan pesawat berguling mencapai sudut 54 derajat," jelas Cahyo.
Faktor kelima, sambung dia, pengendalian pesawat yang selanjutnya secara manual pada alternate law telah menempatkan pesawat dalam kondisi 'upset' dan 'stall' secara berkepanjangan. "Sehingga berada di luar batas-batas penerbangan yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat," kata Cahyo.
Pesawat Miring
Pesawat AirAsia sempat miring. KNKT menyebut, 9 detik pesawat terus miring sampai 54 derajat.
Dalam catatan di FDR, kata Cahyo, 9 detik ada kekosongan input dari 2 kemudi pesawat. Kemungkinannya terjadi miskomunikasi antara pilot dan kopilot. Di mana pilot meminta push down (mendorong) kemudi, tapi kopilot justru melakukan pull down (menarik) kemudi.
Logikanya, jika yang satu mendorong dan satunya lagi menarik, maka hasilnya kosong.
‎"Kami melihat ada komunikasi yang tidak efektif. Satu meminta pull down, yang satu push down. Misalnya, kalau didorong 5, kemudian ditarik 5, maka hasilnya akan 0. Ini yang menyebabkan kekosongan input. Sehingga kendali pesawat jadi tidak saling terkait. Di mana kemudi 1 dan 2 tidak terhubung, jadi pilot saling tidak tahu melakukan apa," ucap Cahyo.
Setelahnya, pesawat bisa ke level stabil. Namun, tiba-tiba ada input di FDR yang menunjukkan hidung pesawat mendongak. Di sini, kata dia, pesawat naik dari ketinggian 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki.
Di ketinggian itu, pesawat kembali miring hingga mencapai 104 derajat. Kemudian turun ke ketinggian sekitar 29 ribu kaki. Di ‎ketinggian ini, pesawat kembali ke level stabil. Namun, pesawat secara terus menerus turun sampai akhirnya terjun ke laut.
Di sini, pilot dan kopilot terus berusaha mengendalikan pesawat yang sudah upset condition alias sudah tak terkendali itu. Usaha tersebut terus dilakukan pilot dan kopilot sampai berakhirnya rekaman FDR atau ketika pesawat sudah jatuh di laut.
"Itu turunnya 12 ribu kaki per menit. Jadi waktu dari ketinggian 29 ribu kaki hingga sampai pesawat jatuh sampai di laut butuh waktu sekitar 2,5 menit," ujar Cahyo.
Tiga hari menjelang tahun baru 2015, dunia penerbangan Indonesia dikagetkan oleh kabar hilangnya pesawat AirAsia bernomor QZ8501 rute Surabaya-Singapura. Burung besi itu hilang dari jangkauan radar saat berada di langit Selat Karimata.
Ketika itu pesawat jenis Airbus A 320-200 membawa 155 penumpang dan 7 kru penerbangan. Ada beberapa warga negara asing yang ikut serta dalam penerbangan tersebut.
Pesawat AirAsia itu baru diketahui jejaknya setelah 2 hari menghilang pada 30 Desember 2014. Saat itu, sebuah serpihan pesawat ditemukan tengah mengambang di perairan Selat Karimata. (Ndy/Rmn)
Advertisement