Liputan6.com, Jakarta - Suatu hari di persidangan tindak pidana korupsi, sumpah kutukan terucap dari bibir seorang terdakwa. Sumpah diucap pada mereka yang dinilai telah memperlakukan sang terdakwa dengan tak adil.
"Mohon jika diperkenankan, di ujung persidangan yang terhormat, tim jaksa penuntut umum dan juga majelis hakim yang mulia melakukan mubahalah. Mubahalah itu adalah sumpah kutukan. Mohon izin, saya meyakini substansi tentang pembelaan saya sebagai terdakwa."
Demikian pernyataan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum setelah diminta tanggapannya oleh hakim atas hukuman 8 tahun penjara yang dijatuhkan padanya pada persidangan Rabu 24 September 2014 lalu.
Baca Juga
Anas merasa putusan terhadap dirinya terkait kasus korupsi Hambalang tidak adil. Ia pun menyematkan sumpah kutukan ini kepada jaksa, pimpinan, dan penyidik KPK yang mengusut perkaranya.
Riuh langsung terjadi di ruang sidang yang dipadati pendukung Anas dan wartawan. Mereka tampak bingung dengan hal yang baru pertama kali terjadi di pengadilan tersebut.
Tidak hanya pengunjung, majelis hakim yang diketuai Haswandi juga langsung menutup sidang. Ia sempat geleng kepala dengan 'ulah' Anas yang masih tampak santun mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam.
Haswandi dan anggotanya memilih langsung meninggalkan ruang sidang tanpa melihat lagi ke wajah Anas yang masih duduk di kursi terdakwa. Begitu pun dengan jaksa KPK yang dipimpin oleh Yudi Kristiana.
Meski tetap melempar senyum kepada Anas dan pendukungnya, Yudi dan rekannya enggan menanggapi tantangan mubahalah yang dikeluarkan mantan Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut.
Namun beberapa saat usai persidangan, KPK melalui juru bicaranya, Johan Budi bersuara. Mereka menolak menerima tantangan sumpah kutukan tersebut. Anas yang juga terkenal dengan janjinya 'Gantung di Monas' ini diminta KPK melakukan sumpahnya kepada rakyat bukan kepada penegak hukum yang mengusut perkaranya.
"Kalau mau bersumpah, bersumpah saja sendiri di depan rakyat," kata Johan Budi saat itu.
Meski begitu, Johan mengatakan pihaknya tidak merasa dilecehkan atas tantangan sumpah Anas itu. KPK tidak akan menanggapi itu semua karena bukan bagian mekanisme persidangan.
Advertisement
Tak cuma sumpah, santet juga dikirim pada jajaran sang Ketua KPK kala itu, Abraham Samad.
Santet Politikus Cantik
Berhadapan dengan pihak yang memiliki jabatan dan kekuasaan bukan hal yang mudah. Cercaan hingga ancaman secara terang maupun tersembunyi sudah pernah dirasakan oleh para pegawai KPK.
Bahkan, ancaman berupa 'kiriman ilmu hitam' atau yang biasa disebut santet juga pernah terjadi di gedung yang berada di Kavling C-1 Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan tersebut.
Menurut salah satu sumber Liputan6.com di KPK, serangan itu dilakukan oleh salah satu politikus wanita yang tidak terima dengan penetapan tersangka pada dirinya oleh KPK. Karena itu dia menyantet seluruh pimpinan KPK agar kelimanya tidak dapat lagi mengusut perkara yang menjeratnya.
Namun, ulah politikus berparas cantik yang sempat meminta salah satu dukun di Jakarta untuk menyantet pimpinan KPK itu tidak membuahkan hasil. "Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Karena kita bekerja juga dengan niat baik," kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Selain santet, ada juga serangan ilmu hitam yang sempat dilakukan pihak tak bertanggung jawab kepada lembaga antikorupsi ini. Saat itu KPK sedang mengusut korupsi salah satu kepala daerah.
Tiba-tiba, saat tersangka hendak diperiksa, seluruh lantai di ruang pemeriksaan tercium aroma harum yang tidak biasa di gedung itu. Setelah kejadian itu, banyak pegawai KPK yang mengalami demam meski tidak berlangsung lama.
"Baunya itu enggak biasa. Tapi ya cuma itu saja, alhamdulillah enggak ada macam-macam," kata pegawai KPK tadi.
Di luar serangan tadi, petugas keamanan yang berjaga di KPK juga kerap mendapati perilaku aneh orang-orang di luar gedung itu melalui kamera CCTV. Mulai dari menyiram air dari sebuah botol sambil mulutnya komat-kamit seperti membaca matra, hingga menyebarkan bunga warna-warni sambil mengelilingi gedung.
Namun apapun serangannya, KPK tetap menjalankan fungsinya. Mereka tak takut dengan santet atau apapun itu. Semua karena Tuhan. Seperti diungkapkan Ketua KPK kala itu, Abraham Samad.
"Selama KPK tetap berada di jalan Tuhan, membersihkan negeri ini dari para pencuri uang rakyat, serangan itu akan dipatahkan," ucap Samad.
Jalan Tuhan... Sebagian percaya, jalan itu kerap terbuka pada 'Jumat Keramat'.
Advertisement
Jumat Keramat
'Jumat Keramat' adalah hari yang paling menakutkan bagi mereka, tikus-tikus pemakan uang rakyat.
Makna 'Jumat Keramat' sangat melekat pada orang-orang yang biasa bekerja di Gedung KPK. Mulai dari pimpinan, pegawai, petugas keamanan, wartawan, bahkan sejumlah pedagang di sekitar gedung KPK paham betul makna kalimat ini.
'Jumat Keramat' dapat menjadi akhir dari karier atau jabatan seseorang sebagai penyelenggara negara. Bahkan mampu melepaskan jabatan puncak seseorang di sebuah partai politik jika terkena efek 'Jumat Keramat'.
Pada hari itu, KPK mengumumkan seseorang sebagai tersangka pada suatu perkara tertentu atau bahkan menahan mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sudah banyak pejabat dan politikus yang terkena 'Jumat Keramat'. Mulai dari mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda S Gultom, Anggota DPR Angelina Sondakh alias Angie, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan matan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Belakangan, mantan Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella pun akhirnya mendekam di Rutan KPK pada 'Jumat Keramat'.
Pada dasarnya, tidak ada aturan di KPK yang menyatakan penahanan atau penetapan tersangka bagi pelaku korupsi dilakukan pada hari Jumat. Dan istilah ini pun muncul dari wartawan yang biasa meliput di KPK.
Tradisi 'Jumat Keramat' dipastikan dapat terus lestari meskipun era Abraham Samad atau pimpinan KPK jilid III berakhir. Apalagi Agus Rahardjo selaku penerus Samad mengakui sangat menyukai proses penindakan yang dilakukan KPK.
Dan tentunya, dari proses ini akan banyak koruptor yang kembali terjerat atau ditahan pada 'Jumat Keramat'.