Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menghentikan kasus dugaan pelanggaran kode etik mantan Ketua DPR Setya Novanto. Setya dilaporkan ke MKD karena diduga mengirim surat ke Direktur Utama PT Pertamina Dwie Soetjipto.
Surat itu disebut-sebut terkait adendum permintaan bantuan jasa penerimaan, penyimpanan, dan penyerahan bahan bakar minyak (BBM) di PT Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak.
Penghentian kasus ini, menurut Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad karena saat verifikasi di sidang pleno, pelapor kasus tersebut tidak bisa dihubungi.
"Ketika kita ingin verifkasi lagi alat buktinya, kita telepon-telepon sampai 7 hari pelapornya, tidak bisa dihubungi. Karena alat bukti kurang, kita butuh tambahan alat bukti. Akhirnya sidang MKD memutuskan untuk menghentikan laporan tersebut," ujar Sufmi di Jakarta, Minggu 17 Janurai 2016.
Kasus ini dilaporkan oleh LSM yang menamakan diri Pemerhati Penyelenggara Negara. Namun, politikus Golkar itu membantah tudigan tersebut. Dia mengatakan surat untuk bos Pertamina itu palsu.
Hal itu bisa terlihat dengan adanya ciri khas dari surat yang biasa dibuat Setya.
"Kelihatan kan kalau surat saya itu biasanya sebelah kiri semua. Ini kan di tengah. Berbeda itu," kata Setya di kediamannya di Jakarta, Rabu (18/11/2015).
Setya juga mengaku heran dengan adanya tanda tangan dirinya di surat itu. "Surat saya ada tanda tangan, saya enggak tahu siapa yang memberikan itu. Saya tidak merasa memberikan surat-surat, kop surat yang demikian," kata Setya.
Baca Juga
Kasus Lain
Selain Setya Novanto, MKD juga menghentikan kasus anggota Komisi III Herman Herry dan Wakil Ketua MKD Junimart Girsang.
Menurut Sufmi penghentian kelanjutan kasus dugaan pelanggaran kode etik itu didasari beberapa hal yang di antaranya yakni legal standing pelapor.
"Ada 2 yang berhubungan dengan legal standing, yaitu kasus Pak Junimart, pelapornya tidak memenuhi legal standing. Satu lagi kasus Herman Hery, ini sama tidak memenuhi unsur verifikasi dari pelapor. Selain itu yang melapor data-datanya tidak jelas kelengkapannya," kata Sufmi.
Junimart Girsang dilaporkan oleh seorang warga Sumatera Utara bernama Agus Susanto pada 4 Januari lalu. Dia dianggap melanggar kode etik karena Pimpinan MKD itu dinilai tidak dapat menjaga kerahasiaan materi sidang dan justru mengungkapkannya ke media massa.
Junimart sendiri tidak mempermasalahkan laporan tersebut. Ia menilai apa yang dilakukannya sesuai dengan aturan dan semangat transparansi tanpa melanggar HAM. Ia pun telah berkonsultasi mengenai laporan tersebut kepada pimpinan MKD lainnya.
"Masalah etik saat bicara saya sudah tanyakan pada pimpinan lain. Kalau tidak setuju, saya tidak akan bicara. Saya bicara atas asas transparansi tanpa melanggar HAM," kata Junimart.
Sementara kasus Herman Hery yaitu, buntut laporan seorang perwira polisi Direktorat Reserse Narkoba Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), AKBP Albert Neno ke Polda NTT. Neno melaporkan Herman Hery ke Polda NTT karena tidak terima dimaki oleh politikus PDI Perjuangan itu pasca-penggerebekan usaha miliknya.
Kemudian Forum Pemuda dan Mahasiswa (FPM) Nusa Tenggara Timur (NTT) juga melaporkan Hery ke MKD DPR. Hery dianggap telah melanggar kode etik anggota dewan dengan memaki aparat hukum.
Herman sendiri membantah telah memaki Albert. Dia mengatakan, stafnya bernama Roni yang memakai handphone-nya dan menelepon Albert.