Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyebut tuduhan barter sebagai fitnah, karena faktanya hanya berupa kontribusi tambahan. Perjanjian ini dibuat berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya sesuai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Diskresi yaitu keputusan atau tindakan yang dilakukan pejabat pemerintahan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan dan mengisi kekosongan hukum. Namun, KPK menilai diskresi itu melanggar aturan.
Pakar Hukum Administrasi Negara Dian PN Simatupang menilai diskresi yang dilakukan Ahok ini tidak dapat dipidanakan.
Menurut dia, keputusan yang diambil mantan Bupati Belitung Timur itu sudah tepat untuk mengatasi stagnasi kebijakan, mengingat belum ada regulasi yang mengaturnya.
Baca Juga
"Sepanjang sudah sesuai AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik), maka berwenang mengambil kebijakan tersebut. Harus dipahami bahwa kebijakan menurut teori HAN (Hukum Administrasi negara) tidak dapat dipidanakan," jelas Dian melalui keterangan tertulis kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menilai diskresi yang dilakukan Ahok sudah sesuai dengan tata cara dalam UU Administrasi Pemerintah. Apabila ada tuduhan dan dugaan terhadap diskresi, maka sesuai Pasal 20 UU Adpem, maka BPKP dapat melakukan penilaian.
"Apabila BPKP menyatakan terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara, maka dalam waktu 10 hari Pemda DKI dan Gubernur mengganti kerugian. Jika keberatan, keduanya dapat mengajukan permohonan ke PTUN," jelas Dian.
Namun, apabila BPKP menyatakan tidak ada kesalahan administrasi atau ada kesalahan administrasi tapi tidak ada kerugian negara, aparat penegak hukum tidak boleh masuk dan memprosesnya lagi.
"Oleh sebab itu, cara yang tepat menurut saya, diskresi tersebut dilaporkan kepada presiden sebagai pejabat atasan sesuai prosedur dalam UU Adpem," ujar Dian.
Advertisement
Sebelumnya, Ahok sangat geram dengan pemberitaan yang menyebut ada barter antara dirinya dengan Agung Podomoro Land. Barter ini terkait anggaran penggusuran Kalijodo dan kontribusi tambahan reklamasi.
Menurut dia, istilah barter tidak tepat dan merupakan fitnah.
"Bukan barter namanya, tapi kontribusi tambahan. Anda memfitnah saya, seolah-olah saya barter dapat 300 sekian miliar di kertas dari mana dan KPK juga tidak mengakui," ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Kamis 19 Mei 2016.
Perjanjian ini dibuat berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya sesuai UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Sementara, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan tanpa payung hukum, barter kontribusi tambahan dengan izin pelaksanaan reklamasi menjadi tanda tanya besar. Harusnya, peraturan mengenai barter kontribusi tambahan ini disiapkan dahulu oleh Pemprov DKI.
"Kalau tidak ada peraturannya, ada tanda tanya besar dong. Peraturannya mestinya disiapkan dulu. Itu sempurnanya begitu," kata Agus Raharjo di kantornya, Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Menurut dia, Ahok seharusnya bertindak berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dia juga melanjutkan, setiap tindakan yang dilakukan seorang birokrat harusnya ada dasar peraturan yang mengatur.
Jika kontribusi tambahan belum diatur, lanjut dia, Pemprov Jakarta atau Ahok bisa menerbitkan peraturan daerah atau peraturan gubernur.