Liputan6.com, Jakarta - Eks Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin 'selamat' dari vonis majelis hakim. Sedianya, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis kepada Nazaruddin yang didakwa menerima gratifikasi dan pencucian uang selama menjabat anggota DPR hari ini. Namun, majelis yang diketuai Ibnu Basuki Widodo menunda sidang pembacaan vonis.
Alasannya, masih ada yang belum final saat mengambil putusan. Oleh karena itu, majelis hakim masih harus melanjutkan rapat permusyawatan kembali‎.
"Masih melanjutkan musyawarah. Masih ada yang mengganjal. Jadi ditunda," kata Ibnu di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (9/6/2016).
‎Majelis hakim menunda sidang vonis ini pada pekan depan. Tepatnya, Rabu 15 Juni 2016 pukul 13.00 WIB.
"Ditunda sampai satu minggu ke depan, Rabu 15 Juni 2016, jam 1 siang," kata Ibnu.
Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan. Jumlah gratifikasi yang diterimanya mencapai Rp 40,37 miliar. Saat menerima gratifikasi Nazaruddin masih berstatus sebagai anggota DPR.
Eks Bendahara Umum Partai Demokrat itu diketahui merupakan pemilik dan pengendali perusahaan Anugrah Grup yang berubah nama menjadi Permai Grup.
Selain gratifikasi, Nazaruddin didakwa melakukan pencucian uang hasil penerimaan gratifikasi itu, yakni dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan. Pembelian sejumlah saham yang dilakukan Nazaruddin itu dilakukan melalui perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia menggunakan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup.
Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup berasal dari fee dari pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang didanai oleh APBN.
Atas perbuatan Nazaruddin itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutnya dengan pidana tujuh tahun‎ penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Selain hukuman fisik, jaksa meminta majelis hakim agar harta kekayaan mantan Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat itu sekira Rp 600 miliar dirampas untuk negara.