Ahli Kubu Jessica: Kesimpulan Psikolog Jaksa Tak Konsisten

Ahli psikologi Universitas Indonesia (UI) ini melihat, ada ketidakkonsistenan pada kesimpulan pemeriksaan yang dilakukan ‎oleh Ratih.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 19 Sep 2016, 12:57 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2016, 12:57 WIB
20160815- Ekspresi Jessica Saat Mendengar keterangan Saksi Ahli Psikologi-Jakarta- Johan Tallo
Jessica Kumala Wongso bersama kuasa hukumnya saat menjalani sidang lanjutan di PN Jakarta Pusat, Senin (15/8). Sidang tersebut dengan agenda pendengaran Saksi ahli psikologi klinis Antonia Ratih Handayani. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ahli psikologi yang dihadirkan kubu terdakwa Jessica Kumala Wongso, Dewi Taviana Walida Haroen, kembali mengkritisi keterangan ahli psikologi klinis Antonia Ratih Andjayani yang sempat dihadirkan kubu jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan beberapa waktu lalu.

Ahli psikologi Universitas Indonesia (UI) ini melihat ada ketidakkonsistenan pada kesimpulan pemeriksaan yang dilakukan ‎oleh Ratih. Menurut Dewi, inkonsistensi itu terlihat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) keterangan Ratih.

Berawal ketika pengacara Jessica, Otto Hasibuan, membacakan keterangan Ratih dalam BAP. ‎Saat bersaksi sebagai ahli pada persidangan Senin 18 Agustus lalu, Ratih mengatakan kalau Jessica dalam keadaan waras dan sadar.

"Tapi ada kesimpulan kalau Jessica itu berkepribadian narcissistic, dan ada kesimpulan mental disorder pada Jessica, bagaimana itu?" tanya Otto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016).

Dewi lantas menjawab bahwa dua kesimpulan ahli psikologi yang dihadirkan JPU itu bertolak belakang. Ratih dianggap tidak konsisten dengan menyebut Jessica sehat secara mental, sementara dia juga menyebut Jessica mengalami mental disorder, yakni gangguan kejiwaan.

"Itu kontradiktif. Mental disorder itu ada gangguan mental, dan narcissistic itu dia pribadi yang sehat, waras, dan cerdas. Sehingga di satu sisi dia jelaskan profilling tapi kontra di sisi lainnya," tutur Dewi.

Atas dasar itu, kata Dewi, kesimpulan Ratih sulit dijadikan bahan bagi majelis hakim ‎untuk mempertimbangkan kasus ini. Sebab, dalam keilmuan yang dia pelajari, ketika ada ketidaksinkronan kesimpulan, maka sulit dijadikan sebagai dasar.

"Ketidaksinkronan tujuan dan kesimpulan berarti pemeriksaan tidak bisa dipertanggungjawabkan," tandas Dewi.

Pada persidangan ke-12, Ratih yang dihadirkan JPU menyingkap beberapa perilaku Jessica. Berdasar‎kan analisis saat kejadian dan pemeriksaan psikologis terhadap Jessica, disimpulkan bahwa terdakwa memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Ratih juga mendiagnosis bahwa Jessica memiliki kepribadian jenis amorous narcissistic. ‎Kesimpulan itu didapat usai melakukan wawancara dengan Jessica sekitar enam jam di kantor polisi.

Amorous narcissistic, kata Ratih, merupakan kategori kepribadian yang membuat seseorang seringkali menggunakan kebohongan yang rumit untuk beralih dari pembicaraan yang satu ke yang lain.

Ratih menjabarkan, sifat amorous narcissistic merupakan turunan dari kepribadian jenis narcissistic. Kepribadian jenis itu punya definisi kecenderungan seseorang yang memiliki dorongan untuk menjadi pusat perhatian melalui pujaan di lingkungan sekitar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya