Liputan6.com, Yogyakarta - Pembangunan bandara baru Kulonprogo Yogyakarta telah dimulai. Secara resmi presiden RI Joko Widodo atau Jokowi telah meletakkan batu pertama sebagai simbol proses pembangunan bandara internasional Yogyakarta dimulai.
Jokowi telah meresmikan pembangunan bandara Kulonprogo di Dusun Jangkaran, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ia pun menekan tombol sirine dan meletakkan batu sebagai tanda awal pembangunan.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan jika rencana ini sudah direncanakan 6-7 tahun lalu. "Segera kita mulai bersama. Setiap pekerjaan dan keputusan umum ada risikonya," ujar dia dalam sambutannya, Jumat (27/1/2017).
Advertisement
Jokowi menegaskan, apa yang dilakukan hari ini bukanlah groundbreaking tapi babat alas nawung kridha. Sehingga awal pembangunan ini akan menandai sebuah peradaban yang baru sesuai dengan prediksi leluhur. Istilah babat alas nawung kridha ini yang diangkat oleh PT Angkasa Pura I, berarti membersihkan, merapikan, dan menata lahan untuk pembangunan bandara internasional Yogyakarta.
"Leluhur kita sudah melihat di Kulon Progo akan ada bandara besar. Ada istilah yang berarti akan ada burung besi, pesawat. Di wilayah ini akan menjadi kota besar. Glagah (salah satu desa terdampak pembangunaan bandara) akan menjadi mercusuarnya dunia, bukan hanya Indonesia," ujar Jokowi.
Acara yang dihadiri pejabat negara ini, Jokowi menyatakan, bandara baru kulonprogo ini akan menggunakan lahan seluas 587 hektare. Nantinya, bandara baru itu akan memiliki terminal seluas 130 ribu meter persegi dengan kapasitas 15 juta penumpang per tahun. Sementara, nilai investasi yang PT Angkasa Pura I siapkan sebesar Rp 9,3 triliun dan pembangunan ditarget rampung pada 2019.
"Wisatawan banyak yang datang ke Yogyakarta. (Pembangunan bandara) orientasi global sangat internasional," ujar Jokowi.
Tidak jauh dari lokasi itu kelompok Wahana Tri tunggal (WTT) menggelar aksi penolakan terhadap pembangunan bandara baru Kulonprogo. Ketua WTT Martono mengatakan aksi penolakan dilakukan warga yang ada di tiga desa dengan luas lahan sekitar 350 bidang. Penolakan ini sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu.
"Diikuti sekitar tiga tahun lalu dan ini akan jalan dan berdoa karena setelah sekian lama kita bersuara tidak ada yang mendengar. Sehingga kita mengadakan pengajian agar para pimpinan itu tahu suara kami," ujar dia.