Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggali informasi terkait kasus dugaan korupsi dalam pengurusan paspor dengan metode reach out dan calling visa pada 2016. Kali ini, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan pembantu Atase Imigrasi KBRI Malaysia Idul Adheman dan mantan lokal staf KBRI Malaysia Elly Yanuarni Dewi.
"Mereka akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DW (Dwi Widodo)," tutur Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta Selatan, Kamis (20/4/2017).
Sebelumnya, penyidik KPK telah menetapkan Atase Imigrasi KBRI Malaysia Dwi Widodo sebagai tersangka penerbitan paspor RI dengan metode reach out pada 2016. Dia diduga menerima uang Rp 1 miliar.
Advertisement
Dwi diduga meminta ongkos melebihi tarif yang ditentukan perusahaan pengurus paspor dan visa tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Tarif ini berlaku untuk pembuatan paspor baru yang hilang atau rusak.
Oleh karena itu, KPK menduga dia melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Perkara ini bermula dari inspeksi pelayanan publik yang dilakukan lembaga antikorupsi Malaysia (MACC) di Kuala Lumpur, terkait layanan pembuatan paspor dengan cara "reach out" dan "calling visa". Selanjutnya KPK menjalin kerja sama dengan MACC terkait perkara ini sejak 2016 sesuai kewenangan masing-masing.
MACC menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi suap, termasuk beberapa negara Indonesia. Sedangkan ketua KPK menyidik Dwi selaku PPNS yang menjabat sebagai atase imigrasi.
Penyidik KPK pun sudah menggeledah kediaman Dwi di daerah Depok dan menyita sejumlah dokumen.
"KPK memiliki perhatian khusus dalam kasus ini mengingat salah satu pihak yang dirugikan adalah TKI. Padahal TKI memberikan sumbangan uang ke negara dari remitansi lebih dari Rp 80 triliun per tahun, tapi terbebani dengan biaya dan pungli yang liar. Calo pembuat paspor reach out mendekati kantong-kantong TKI untuk membantu pembuatan paspor dengan biaya lebih tinggi dan kelebihannya dinikmati oknum pejabat," jelas Febri.