Soeharto Lengser, Tegang di Istana dan Riuh di DPR

Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Kedua RI pada 19 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998.

oleh Ahmad Romadoni Taufiqurrohman diperbarui 21 Mei 2017, 19:14 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2017, 19:14 WIB
[Bintang] 17 tahun reformasi pada 20 Mei
Mahasiswa duduki gedung DPR saat reformasi 1998 (Via: votreesprit.wordpress.com)

Liputan6.com, Jakarta - Istana Kepresidenan, 21 Mei 1998, sedikit berbeda dari hari biasanya. Sebagian besar pegawai istana kala itu sudah berada di kantor, jauh sebelum waktu masuk yang ditentukan.

Bukan karena mereka ingin bekerja lebih awal, melainkan terpaksa menginap di kantor lantaran tak berani pulang. Situasi di Jakarta saat itu sangat mencekam dan membahayakan karena terjadinya kerusuhan. Para pegawai istana akhirnya memutuskan menginap.

Hal ini dialami oleh Arrachim. Saat itu dia masih berdinas di bagian Tata Usaha Sekretariat Presiden. Dia sudah dua malam menginap di istana karena tak bisa pulang.

Pria yang karib disapa Rachim itu melihat tak ada yang berbeda dari pengamanan di Istana. Semua berjalan seperti biasa. Pegawai istana bekerja seperti hari-hari sebelumnya.

Tak ada ketegangan apa pun yang terasa di lingkungan istana. Berbeda dengan kondisi jalan Jakarta khususnya di Kompleks Parlemen yang terus didatangi rakyat meminta Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

"Suasananya biasa saja. Enggak tegang, enggak mencekam, pegawai juga kerja seperti biasa. Kalau di luar Istana iya memang tegang," kata Rachim saat berbincang dengan Liputan6.com, Minggu (21/5/2017).

Massa saat itu memang tidak bisa mendekat ke Istana. Selain Paspampres yang menjaga di dalam istana, prajurit TNI lainnya sudah mengadang massa dari kejauhan. Setidaknya 500 meter hingga 1 km dari istana.

"Seperti demo sekarang. Jalan sudah steril dari Pasar Baru, Harmoni, Masjid Istiqlal. Jadi tidak bisa mendekat ke Istana," imbuh dia.

Baru menjelang siang, desas-desus soal pengunduran diri Presiden Soeharto sampai di telinga para pegawai. Hanya saja, tak ada yang berani membahas lebih dalam soal kabar ini.

Isu semakin menguat ketika Presiden Soeharto memanggil tiga tokoh, yakni Yusril Ihza Mahendra, Abdurrahman Wahid, dan Wapres RI saat itu, BJ Habibie. Para pegawai pun tidak tahu persis bagaimana ketiga tokoh itu bisa sampai di Istana.

"Tahu-tahu, kita tahu (mereka) sudah ada di dalam saja. Padahal, di luar itu dikepung tapi bisa sampai Istana," kenang Rachim.

Sampai akhirnya, Soeharto mengumumkan pemberhentian dirinya sebagai presiden kedua sekaligus menunjuk BJ Habibie sebagai penggantinya. Sudah mengetahui adanya pengunduran diri itu, Rachim tak ikut bersama rekannya menyaksikan siaran televisi yang menayangkan peristiwa tersebut.

Hanya saja, masih ada pikiran yang mengganggu dirinya saat itu. Dia masih tak percaya Presiden Indonesia berganti dengan cara seperti itu.

"Aneh saja, kok pergantian presiden seperti ini," ucap dia.

Selepas peristiwa bersejarah tersebut, tidak ada yang berubah dari istana. Tidak ada larangan memasuki kawasan Istana Merdeka ataupun Istana Negara. Bahkan, pegawai masih bisa melaksanakan ibadah salat di Masjid Baiturrahim yang berada tepat di sisi Barat Istana Merdeka.

Sebagian pegawai malah sibuk naik ke atas gedung untuk melihat kondisi di luar Istana. Mereka masih bisa melihat aksi pembakaran yang dilakukan demonstran saat itu. Para pegawai mulai khawatir karena memikirkan keluarga di rumah.

"Lebih banyak pegawai yang ibu-ibu yang ramai mengeluh bagaimana bisa pulang," kata Rachim.

Sore harinya, Rachim akhirnya memberanikan diri untuk pulang. Dia terpaksa melepas seragam khas pegawai istana agar terlihat seperti warga biasa.

Dia pun terpaksa berjalan kaki dari Istana Kepresidenan menuju kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, untuk bisa sampai di rumahnya saat itu. Cara ini juga diikuti pegawai lain yang ingin kembali ke rumah.

"Ada yang rumahnya di Sunter juga jalan kaki. Tapi tidak terasa karena banyak hal yang dilihat. Ada motor dibakar di jalan, warga yang menjarah, jadi perjalanan tidak terasa jauh," Rachim memungkasi.

Takbir di Gedung DPR

Sementara itu, di sudut lain, lautan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR lebih dari sepekan menuntut Soeharto lengser. Detik-detik sebelum Soeharto mengundurkan diri, gelombang mahasiswa bercampur masyarakat sipil terus menyemut di Kompleks Parlemen Senayan.

Petugas kebersihan Kompleks Parlemen, Ahmad Jaenudin yang menjadi saksi hidup detik-detik lengsernya Soeharto menceritakaan suasana puluhan ribu massa saat itu di Senayan. Ia mengatakan, yel-yel kemenangan terus diteriakkan massa saat mendengar kabar Soeharto akan mengumumkan pengunduran dirinya hari itu.

"Pagi-pagi sebelum Soeharto mengundurkan diri di Istana, mahasiswa yang sudah menginap di DPR itu semakin ramai, mahasiswa dan masyarakat biasa yang di luar pada datang ke DPR ikut gabung," kata Jaenudin saat berbincang dengan Liputan6.com.

Jaenudin yang bekerja sebagai petugas kebersihan Gedung DPR sejak 1997 ini mengungkapkan, saat Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, puluhan ribu massa langsung meneriakkan takbir berulang-ulang. Tidak sedikit dari mereka yang menangis atas 'kemenangan' tersebut.

"Takbir, pada sujud syukur di seluruh sudut Gedung DPR pas Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya itu," ungkap Jaenudin.

Abdullah, rekan satu pekerjaan dengan Jaenudin menambahkan, saat pengumuman lengsernya Soeharto, suasana di depan Gedung DPR tidak bisa digambarkan.

"Teriak, nangis, macam-macam pokoknya," kata Jaenudin yang sudah bekerja petugas kebersihan Gedung DPR sejak 1996 ini.

Abdullah berujar, para mahasiswa telah menduduki Gedung DPR dari sebelum lengsernya Soeharto dan secara bergantian bertukar jam jaga. Seluruh akses masuk ke Kompleks Parlemen Senayan pun dijaga ribuan mahasiswa, agar tidak bisa sembarang orang masuk.

"Dari depan, samping, dan belakang penuh dijaga mahasiswa, tidak ada satpam atau aparat. Setiap yang keluar masuk ditanya. Bergantian, jagainnya juga bergantian. Mereka kan pada menginap di seluruh lantai gedung, sampai banyak yang buka tenda kayak mau kemping," kata Abdullah.

Soeharto Mundur

"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ujar Soeharto saat membacakan surat pengunduran dirinya sebagai presiden.

Seperti ditulis Majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto, Februari 2008, upacara serah terima jabatan pun langsung dilakukan dan berlangsung singkat. Usai berpidato, Soeharto berdiri sejenak menunggu Ketua Mahkamah Agung mengambil sumpah BJ Habibie.

Begitu selesai, Soeharto menyalami mantan wakilnya itu, termasuk sejumlah Hakim Agung. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut Soeharto. Dia langsung balik badan menuju Ruang Jepara, tempat menunggu pimpinan MPR/DPR.

Syarwan Hamid, salah satu Wakil Ketua DPR saat itu, melukiskan Soeharto waktu itu hanya bicara satu menit. Berdiri setengah membungkuk dengan tangan menyilang di perut, mantan penguasa Orde Baru itu berpamitan.

"Saudara-saudara, saya tak menjadi presiden lagi. Tadi sudah saya umumkan kepada rakyat. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, Habibie sudah mengucapkan sumpah di depan MA. Saya harap MPR dan DPR dapat menjaga bangsa ini. Terima kasih," ucap Soeharto.

Ketua MPR/DPR Harmoko dan wakilnya Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hassan Metareum, serta Syarwan Hamid hanya mengangguk.

Soeharto keluar ruangan. Menggamit lengan Tutut, mantan presiden itu menuruni anak tangga Istana sambil menyunggingkan senyum tipis kepada pewarta foto. Sesaat kemudian, ia kembali ke Cendana dengan pengawalan ketat.

Itulah pertemuan terakhir Soeharto dengan anak buahnya. Setelah lengser sebagai Presiden Kedua RI, Soeharto lebih sering mengurung diri di Cendana, meski petinggi militer dan kerabat berusaha bertamu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya