Liputan6.com, Jakarta - Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) menginginkan agar Partai Golkar segera melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Hal ini berkaitan dengan penetapan tersangka Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"(GMPG) mengajak semua elemen Partai Golkar, sesepuh, senior, tokoh, pimpinan DPP, DPD, dan kader seluruh Indonesia untuk sama-sama melakukan 'penyelamatan partai'," ujar Ketua GMPG Ahmad Doli Kurnia dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Baca Juga
"Dengan segera melakukan persiapan menuju Munas Luar Biasa, guna memilih Ketua Umum Partai Golkar yang baru, demi Partai Golkar yang bersih, berwibawa, dan dicintai oleh rakyat," dia melanjutkan.
Advertisement
Doli mengatakan GMPG juga meminta agar Novanto mengundurkan diri baik dari kursi Ketua DPR maupun Ketua Umum Partai Golkar, demi menjaga kewibawaan partai berlambang pohon beringin ini.
"(GMPG) meminta agar Setya Novanto mengundurkan diri dari Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR RI, agar kedua institusi tersebut dapat bebas dan tidak terbawa-bawa oleh masalah dan kepentingan pribadi Setya Novanto, khususnya dalam menghadapi sangkaan keterlibatannya dalam kasus mega skandal korupsi e-KTP," dia memaparkan.
Doli menilai meski dalam rapat pleno Partai Golkar yang dilakukan pada Selasa 18 Juli lalu sudah memutuskan untuk tidak melaksanakan Munaslub dan tetap mendukung Novanto sebagai Ketua Umum juga Ketua DPR, Doli menilai, keputusan tersebut bukan demi kepentingan partai.
"Keputusan itu adalah sikap yang mengedepankan kepentingan yang sangat bersifat pribadi, kelompok, dan tidak berfikir tentang kepentingan yang lebih besar, masa depan Partai Golkar, bangsa, dan negara," ujar dia.
Dukungan itu, kata Doli, seakan menutup mata dan telinga terhadap realitas dan pandangan rakyat terhadap kasus mega skandal korupsi e-KTP saat ini.
"Keputusan itu juga dapat memunculkan persepsi pada publik bahwa Partai Golkar merupakan 'Rumah yang Nyaman' bagi para orang yang tersangkut masalah hukum dan korupsi," ujar dia.
Doli juga menilai keputusan tersebut justru tampak sebagai perlawanan terhadap lembaga antirasuah, KPK.
"Keputusan itu juga dapat diindikasikan sebagai bentuk perlawanan terhadap
pemberantasan korupsi, dan KPK yang berusaha dilakukan secara kolektif dan melibatkan Partai Golkar dan DPR RI secara institusi," ujar dia.
Elektabilitas Menurun
Menurut Doli sangat tidak menutup kemungkinan Golkar dan DPR kembali 'diperalat' untuk melindungi kepentingan individu yang tersangkut masalah korupsi, dan disandera untuk berhadap-hadapan dengan institusi KPK.
Doli mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh, kepercayaan masyarakat terhadap Partai Golkar menurun, begitu pula dengan elektabilitasnya.
Dari data yang diperolehnya, kata Doli, kepercayaan publik terhadap Partai Golkar dan elektabilitasnya telah menurun drastis, akibat Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto menjadi tersangka kasus e-KTP.
"Salah satu penyebabnya adalah karena 'tersanderanya' Partai Golkar dengan kasus mega skandal korupsi e-KTP, yang diduga kuat melibatkan Setya Novanto yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar," kata dia.
"Begitu juga institusi DPR yang menurut survei Transparansi Internasional Indonesia sebagai lembaga terkorup di Indonesia," Doli menambahkan.
KPK resmi menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka keempat kasus e-KTP. Penyidik menetapkannya sebagai tersangka setelah mencermati fakta persidangan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN (Setya Novanto), anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan Negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Dia menjelaskan Setya Novanto memiliki peran penting dalam mengatur proyek e-KTP. Penyidik menduga Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama-sama mengatur proyek e-KTP sejak awal.
"Saudara SN (Setya Novanto) melalui AA (Andi Narogong), diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa e-KTP," tutur Agus.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Terkait statusnya ini, Setya Novanto secara tegas membantah menerima uang Rp 574 miliar seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa KPK. Dia pun mengutip pernyataan mantan anggota Partai Demokrat Nazaruddin yang menyebut, kalau dirinya tidak terlibat korupsi e-KTP.
Setya Novanto berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang menyerang dirinya, terutama dalam kasus proyek e-KTP. "Saya mohon betul-betul, jangan sampai terus dilakukan penzaliman terhadap diri saya," tegas Ketua Umum Partai Golkar itu.
Saksikan video menarik berikut ini: