Pidato Ketua MPR RI Sebelum Menutup Sidang Tahunan MPR 2017

Pada sidang tahunan MPR ini, Zulkifli juga mengingatkan masyarakat tentang cita-cita pendiri bangsa, demokrasi, hingga pancasila

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 16 Agu 2017, 11:11 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2017, 11:11 WIB
PHOTO: Pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan salam Sidang Tahunan MPR RI 2017
Ketua MPR Zulkifli Hasan saat memberikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2017 di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/08). Ketua MPR Zulkifli Hasan meminta bangsa Indonesia mencontoh kehidupan para bapak bangsa. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Sidang Tahunan MPR 2017 baru saja usai digelar di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017). Dalam sidang tahunan dalam rangka HUT ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia ini, Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi dan seluruh pimpinan Lembaga Negara atas dukungannya mewujudkan demokrasi yang lebih baik. 

Pada sidang tahunan MPR ini, Zulkifli juga mengingatkan masyarakat tentang cita-cita pendiri bangsa, demokrasi, pancasila, dan beberapa kisah para pejuang Kemerdekaan. Selengkapnya pidato Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan sebelum menutup sidang tahunan MPR 2017.

Terima kasih kita sampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, Saudara Joko Widodo yang telah menyampaikan pidato kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai kinerja lembaga-lembaga negara. Dengan demikian kita dan seluruh rakyat Indonesia dapat mengetahui perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara yang telah berjalan.

Tahun ini kita menjalani tahun ke-19 era reformasi. Inilah era kebebasan dan era demokrasi yang telah dan sedang dijalani bangsa dan negara Indonesia. Kita patut bersyukur atas anugerah ini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan perjuangan gerakan reformasi.

Tahun ini kita menjalani tahun ke-19 era reformasi. Inilah era kebebasan dan era demokrasi yang telah dan sedang dijalani bangsa dan negara Indonesia. Kita patut bersyukur atas anugerah ini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan perjuangan gerakan reformasi. Karena itu kita harus sebaik-baiknya mengisinya di segala lapangan.

Para pendiri bangsa dan negara Indonesia telah merumuskan empat tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Hal itu bisa dibaca pada Pembukaan UUD 1945, yaitu, pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia. Karena itu, seluruh usaha dan daya upaya
kita sebagai bangsa dan negara harus ditujukan kepada empat cita-cita tersebut.

Di tahun ke-72 kemerdekaan Indonesia ini, kita sedang menghadapi tantangan yang tak mudah. Demokrasi dan kebebasan telah memberi peluang kepada siapa saja untuk melaju dan bahkan melakukan akselerasi diri atau
kelompok. Ini memang sesuatu yang niscaya dalam kehidupan demokrasi.

Di satu pihak, ada orang-orang yang frustrasi atas ketertinggalannya. Lalu mereka mencari pegangan sendiri karena mengganggap apa yang disepakati bersama tak memberi perlindungan dan tak memberi jaminan bagi dirinya untuk bisa maju bersama. Pada bagian ini mereka menganggap pentingnya negara dan bangsa menekankan aspek memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di pihak lain, ada orang-orang yang sudah melampaui kesejahteraan umum dan mencapai apa yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka yang harus mendapat prioritas adalah masalah perlindungan bangsa dan tumpah darah Indonesia. Kita sebagai para pemimpin bangsa dan negara ini harus bisa melihat semua itu dengan jernih dan terbuka. Kembalikan semuanya kepada empat cita-cita seperti yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dan negara ini. Kita tidak boleh membiarkan Indonesia ini robek dan koyak. Kita tidak boleh membiarkan Pancasila dan UUD 1945 dicampakkan atau hanya menjadi simbol. Pancasila dan UUD 1945 adalah kesepakatan bersama dan rujukan bersama
dalam bernegara dan dalam berindonesia. Itu tidak bisa ditawar-tawar dan menjadi harga mati.

Ihwal ideologi negara, falsafah negara, dan dasar negara telah final. Mari kita simak perjalanan bangsa dan negara kita. Perjalanan bangsa kita ini telah mekar dengan baik. Mereka tumbuh secara alami hingga kemudian dicabik-cabik oleh kolonialisme. Seiring lahirnya abad modern dan hadirnya paham negara kebangsaan, para pendahulu kita mulai merumuskan ide-ide tersebut sejak era kolonial. Hingga kemudian pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengemukakan gagasan tentang Pancasila. Sebuah gagasan luar biasa dari seorang pemimpin terbesar sepanjang sejarah.

Setelah melalui penyempurnaan dan masukan dari Panitia Sembilan, maka lahirlah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Rumusan Pancasila yang baku kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Di masa revolusi, UUD 1945 diganti oleh UUD RIS dan kemudian UUDS 1950. Setelah Konstituante tak kunjung berhasil mencapai kata sepakat, sekali lagi Bung Karno menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin.

Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu kemudian diterima secara bulat oleh parlemen, tanpa ada pertentangan sedikit pun. Itu menunjukkan jalan yang ditunjukkan Bung Karno memang yang terbaik dan menjadi jiwa dari seluruh kekuatan politik saat itu. Dalam dekrit itu, Bung Karno tak hanya menyatakan kembali ke UUD 1945 – ingat, bukan kembali ke UUDS 1950 yang saat itu berlaku atau ke UUD RIS yang runtuh oleh Mosi Integral -- tapi juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian satu kesatuan.

Sejak saat itu, kita sebagai negara tak pernah mengutak-atik lagi tentang ideologi negara, falsafah negara, maupun ideologi negara Pancasila. Memang ada amandemen terhadap konstitusi tapi tak pernah menyentuh Pancasila. Bahkan Pembukaan UUD 1945 sudah diputuskan oleh DPRGR dan MPRS agar tak boleh diutak-atik. Mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara. Hingga kini Memorandum DPRGR 9 Juni 1966 dan Tap MPRS No XX/MPRS/1966 tetap berlaku, belum pernah dicabut, dan tak pernah ada yang berupaya untuk mencabutnya. Kami percaya, Pancasila dan UUD 1945 bukanlah palugada terhadap pihak yang tidak satu pandangan, tidak satu barisan atau tidak satu partai dalam berindonesia. 

Pancasila dan UUD 1945 adalah muara bersama dari beragam mata air. Karena itulah Pancasila disebut sebagai ideologi terbuka. Kita ingat bagaimana kisah persahabatan Pak Kasimo dan Pak Natsir yang bersepeda bersama setelah debat sengit di parlemen. Pak Prawoto, mantan wakil perdana menteri dan saat itu menjadi wakil ketua Konstituante, adalah pribadi yang jujur, berdedikasi, dan sangat sederhana. Ia tak kunjung memiliki rumah. Ketika hendak membeli rumah yang sudah lama ia kontrak, Pak Kasimo membantunya.

Kita juga ingat persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta yang tetap hangat dan akrab, meski mereka berbeda pandangan yang tak ada titik temunya tentang demokrasi. Kita juga ingat kisah persahabatan Pak Simatupang dengan Pak Kasman dan Pak Prawoto ketika sama-sama bergerilya akibat agresi Belanda. Kita juga ingat kisah Buya Hamka bergegas untuk mengimami solat jenazah Bung Karno kendati telah dipenjarakan tanpa proses peradilan.

Keteladanan para Bapak Bangsa tersebut sangat penting untuk dibuka lagi di masa kini. Karena itu, mari kita renungkan kata-kata yang begitu dalam yang diwasiatkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari. Beliau berwasiat, “Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan, dan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya.”

Saat ini kita sedang dihadapkan pada kondisi memprihatinkan akibat abai pada keteladanan para Bapak Bangsa kita. Kita kurang empati pada sesama anak-anak Bangsa. Selalu menganggap diri yang paling benar. Padahal, para Bapak Bangsa kita sudah mencontohkan bahwa perbedaan pendapat dalam bernegara tak membuat hubungan pribadi merenggang dan menjauh. Saat di balik pangggung politik mereka adalah pribadi-pribadi yang agung, rendah hati, dan bersahabat.

Di balik panggung tersebut, para pendiri bangsa ini tak menyimpan kedengkian dan dendam. Indonesia adalah bangsa besar. Bukan hanya besar di atas kertas berupa gagasan dan dokumen, tapi juga besar dalam perilaku sehari-hari, keteladanan, dan budaya serta nilai-nilai.

Karena itu, jika ada pihak-pihak yang melakukan klaim-klaim sebagai yang Pancasilais dan menuduh yang lain tidak Pancasilais, maka yang bersangkutan harus belajar lagi tentang sejarah Pancasila. Mari kita berlaku bijak, dewasa, dan satria. Sekarang adalah masanya Kerja...Kerja...Kerja... seperti yang ditekadkan Presiden Jokowi di awal pemerintahannya. Presiden telah menunjukkan dengan melakukan pembangunan infrastruktur di mana-mana,
dari Aceh hingga Papua, dari Miangas hingga Pulau Rote. Presiden Jokowi melakukan akselerasi pembangunan jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan, bandara. Sebuah prestasi yang luar biasa dan sangat membanggakan kita
semua. Ini semua membuat interkonektivitas antarkita menjadi makin mudah dan cepat.

Selaku Ketua MPR, saya melakukan perjalanan keliling Indonesia. Berdialog dengan masyarakat, melihat hasil-hasil pembangunan, dan mendengarkan pendapat dan aspirasi masyarakat. 

Sebagai pimpinan MPR, kami atas nama rakyat Indonesia menyatakan terima kasih dan memuji prestasi, capaian, dan keberhasilan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun demikian, kami juga menyampaikan hal-hal yang masih dikeluhkan masyarakat. Mereka menyampaikan keluhan tentang kesempatan kerja, penurunan daya beli,
kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.

Pak Natsir pernah berucap: “Dan dasar satu-satunya bagi satu bangsa, ialah tidak persamaan agama atau persamaan keturunan, tapi bersamaan keyakinan hidup, bahwa bangsa itu mempunyai tanah air yang satu, dan bernegara yang satu.” Itulah yang menyatukan kita semua. Kita sebagai sesama anak bangsa harus saling yakin meyakini dan saling percaya mempercayai. Bukan saling menuduh dan saling mencurigai. Sekali lagi kita harus memiliki persamaan keyakinan hidup tentang berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: INDONESIA.

Akhirul Kalam, Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, selalu memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, agar dapat berkiprah dan mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Amin Ya Rabbal Alamin. Sebelum mengakhiri Sidang ini, izinkan saya membacakan petikan sebuah puisi karya Radhar Panca Dahana.

apa yang tersisa dari kemenangan?
anggur, pesta, dansa,
salam, jabat tangan, dan harapan?
rasa syukur, puas, bahagia,
harta, kesempatan, dan kekuasaan?
dusta … dajjal itu semua
kemuliaan sebuah kemenangan
hanyalah amanah, kepercayaan
yang sisa: sepi, kepercayaan
dan airmata …

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya