Produktivitas Jagung Indonesia Lebih Tinggi Dibanding Thailand, Ini Fakta Dilapangan

"Bagi saya, pernyataan CPIS merendahkan dan menyepelekan kemampuan petani kita."

oleh stella maris diperbarui 17 Feb 2019, 13:05 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2019, 13:05 WIB
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mendampingi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan panen raya padi di Desa Sonorejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mendampingi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan panen raya padi di Desa Sonorejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. (Foto: Kementerian Pertanian)

Liputan6.com, Jakarta Pernyataan Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CPIS) Assyifa Szami Ilham yang menyatakan produktivitas jagung indonesia hanya 2.81 ton per hektare dinilai sangat tendensius. Hal itu dikatakan oleh Kepala Sub Direktorat Jagung dan Serealia Kementerian Pertanian (Kementan) Andi Saleh.

"Apalagi secara jelas ujung-ujungnya menyimpulkan semua ini akibat program upaya khusus padi jagung kedelai (upsus pajale) yang dinilai tidak efektif. Buat saya itu sangat tendensius dan ada muatan kepentingan lain," kata Andi Saleh di Jakarta, Minggu (17/2).

Dengan pernyataan itu, Andi menyarankan agar Assyifa dan teman-teman CIPS membuka lagi data yang tertera di Food and Agriculture Organization (FAO). Menurut FAO, kata Andi, produktifitas jagung Indonesia sudah 5,2 ton per hektare.

"Coba CPIS lihat data FAO yang secara resmi menyatakan bahwa di tahun 2017, rata-rata produktivitas jagung Indonesia sudah 5,2 ton/ha. Angka itu kongkrit menunjukan bahwa jagung kita jauh lebih unggul, dibandingkan Thailand yang hanya sebesar 4,5 ton/ha. Jadi data yang diambil CIPS mengacu pada apa?" katanya.

Andi mengharapkan agar CPIS sebagai lembaga penelitian, bisa lebih jujur dalam menampilkan data dan menyampaikan fakta. Terlebih dalam menerima sponsor dana penelitian. Jangan sampai, lanjut Andi, kucuran dana penelitian ini dibarengi dengan pesanan kesimpulan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu atau sponsor.

"Bagi saya, pernyataan CPIS merendahkan dan menyepelekan kemampuan petani kita. Faktanya BPS sebagai lembaga resmi penyedia dan pencatat data, masih menyatakan bahwa produktivitas jagung Indonesia sudah mencapai diatas 5,2 ton per ha," terangnya.

Seperti yang diketahui bersama, produktivitas jagung disejumlah daerah terus mengalami peningkaan, bahkan mencapai 7 ton lebih per hektare. Produksi jagung ini meningkat tajam setelah adanya upsus yang digalakan Kementan di bawah pimpinan Amran Sulaiman.

"Misalnya untuk produksi 2014, dari 19 juta ton PK terus meningkat tajam hampir dua kali lipat menjadi 30 juta ton PK. Ini semua karena teknologi budidaya jagung sudah dikuasai oleh masyarakat petani Indonesia," katanya.

Andi menjelaskan, peningkatan itu juga didukung dengan berbagai program lain, seperti bantuan benih yang didorong oleh produsen dari dalam maupun luar negeri yang sangat intensif menambah perluasan areal tanam jagung.

"Para produsen benih ini berkepentingan mengembangkan pasar jagung, sehingga mereka menyebarkan tenaga penyuluh lapangannya atau biasa disebut agronomis memberikan pendampingan teknis kepada petani jagung," katanya.

Secara terbuka, Andi mengaku telah membuka ruang dialog kepada peneliti CPIS, untuk turun secara langsung ke lapangan dan mengevaluasi program pengembangan jagung nasional yang dilaksanakan dalam kerangka upsus pajale.

"Kami undang CPIS turun ke lapangan, lihat fakta, baru bicara. Upsus pajale diarahakan pada daerah-daerah baru karena menggunakan pendekatan pengembangan areal tanam baru (PATB). Pangsa pasar konvensional juga tidak akan terganggu karena produsen sangat diuntungkan dengan perluasan pasar," katanya.

Oleh karena itu, Andi menduga kesimpulan Assyifa Szami sangat disasarkan pada penelitian CPIS tahun 2018 yang didanai oleh pihak lain.

Diketahui pada 2018, CPIS menerima dana sponsorship penelitian dari Pemerintah Australia melalui Departemen Luar negeri dan Perdagangan dengan judul Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan.

"Sayangnya CPIS sama sekali tidak melibatkan atau meminta data kita pada penelitian tersebut, sehingga tidak mendapat fakta yang sebenarnya. Ya pastilah hasil penelitiannya bias kepentingan," jelasnya.

 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya