Liputan6.com, Jakarta - Tensi politik dikhawatirkan naik jelang dan pasca-pengumuman pemenang Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019 mendatang.
Berdasarkan perhitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, juga real count KPU sejauh ini, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, untuk sementara, dinyatakan unggul.
Di sisi lain, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai, pemilu kali ini sebagai pesta demokrasi terburuk pasca-reformasi. Sejumlah wacana muncul, dari rencana mengepung KPU, diskualifikasi pasangan capres-cawapres petahana melalui gerakan yang mengatasnamakan tokoh agama, hingga people power.
Advertisement
Belakangan, melalui Kementerian Politik Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam), pemerintah kemudian menginisiasi pembentukan Tim Hukum Nasional.
Tim ini bertugas memantau dan mengkaji ucapan dan tindakan dari tokoh tertentu yang dianggap melanggar hukum.
Walau sebatas rencana, namun pembentukannya bukan sekedar wacana kosong. Sudah ada sejumlah tokoh yang dicalonkan. Ada pakar hukum tata negara, ahli hukum, dan akademisi dari berbagai universitas.
Menko Polhukam Wiranto menyebut, ada 15 nama pakar dan profesor hukum yang bakal mengisi tim tersebut, termasuk Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, mantan menteri kehakiman Muladi, dan para akademisi dari sejumlah universitas negeri.
"Ada dari Unpad, ada dari UI juga ada. Nanti mudah-mudahan Prof Mahfud MD masuk di dalamnya," ucap Wiranto saat mengumumkan rencana pembentukan tim pemantau ucapan tokoh itu, Selasa, 7 Mei 2019.
Dia mengatakan, negara tidak bisa membiarkan potensi ancaman terhadap pemerintahan yang masih sah. Yang dianggap ancaman, salah satunya adalah hujatan dan cercaan terhadap Presiden Jokowi sebagai kepala negara -- setidaknya hingga Oktober 2019.
"Siapapun yang mengatakan, apakah mantan tokoh, mantan jenderal, tidak ada masalah. Tapi, tatkala dia melanggar hukum maka harus kita tindak dengan tegas," kata dia.
Staf khusus Kemenko Polhukam, Sri Yunanto tak menampik, Tim Hukum Nasional merupakan respons dari keresahan terhadap munculnya potensi ancaman yang ada saat ini, seperti hujatan dan cercaan terhadap pemerintah yang sah, dari tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh di masyarakat pasca-pemilu dan Pilpres 2019.
"Di masa-masa akhir kampanye ini muncul suatu statement, ucapan, provokasi, ujaran kebencian, hasutan, dan gerakan-gerakan massa, yang berpotensi melanggar hukum," ucap Sri Yunanto kepada Liputan6.com, Kamis (10/5/2019).
Menurut Sri, tim ini justru akan bekerja secara terbuka. Jauh dari kesan represif. Dia menambahkan, masyarakat juga akan dilibatkan dalam menentukan apakah ucapan tokoh tertentu dinilai provokatif dan meresahkan publik.
Sementara, dalam penegakan hukum, pihaknya tetap menyerahkan sepenuhnya kepada institusi kepolisian dan Kejaksajaan Agung.
"Tim ini memberi rekomendasi kepada pemerintah, melalui Menko Polhukam apa yang akan dilakukan. Kemudian akan diteruskan pada aparat penegak hukum sesuai tupoksi yang dimiliki. Misalnya, harus dilakukan tahapan penegakan hukum, ini kan polisi. Nanti yang memanggil, meminta keterangan dan seterusnya," ucap Sri Yunanto.
Rencana pembentukan tim itu memicu pro dan kontra dalam masyarakat. Sejumlah pihak menilai, itu adalah cara Orde Baru yang mengedepankan cara-cara represif atas nama stabilitas politik dalam negeri.
"Kalau pemerintah Orde Baru, enggak usah diumumkan, langsung tangkap-tangkapin saja. Justru saat diumumkan publik jadi tahu," kata Sri Yunanto, menangkis tuduhan pemerintah saat ini meniru cara Orba.
Ia menekankan, tim pemantau ucapan tokoh tidak dibentuk untuk memberangus kaum oposisi yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Sasarannya, tambah pria tersebut, bukan lah mereka yang berseberangan dengan pemerintah, namun siapa saja yang provokatif dan memicu terjadinya kekacauan di masyarakat.
"Harus dibedakan antara yang kritis dengan mereka yang memprovokasi, menyerukan ujaran kebencian, dan merusak simbol-simbol negara dan mengajak orang melakukan tindakan inkonstitusional. Mereka yang mengembuskan people power lah, revolusi lah, kepung KPU. Ini yang merusak tatanan demokrasi dan ini mengancam kehidupan kebangsaan kita," kata dia.
Dihubungi terpisah, Romli Atmasasmita menjelaskan, 15 pakar hukum yang ada dalam Tim Hukum Nasional itu, layaknya seorang penasihat.
"Nanti didengarkan 15 orang ini, dibahas apakah bisa memenuhi unsur pidana atau tidak," kata Romli saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (8/5/2019).
Tim tersebut juga bertugas menelaah, dari berbagai macam aspek hukum, ucapan tokoh tertentu sebelum disimpulkan bisa atau tidak masuk ke ranah hukum. "Kalau nanti ada pelanggaran hukum pidana maka nanti diserahkan ke polisi dan jaksa," beber Romli.
Pria 74 tahun itu menambahkan, polisi dan jaksa nantinya berada dalam satu atap dalam tim. Dua institusi hukum ini akan berperan mengumpulkan fakta-fakta hukum sebelum masuk ke penuntutan.
Selain polisi dan jaksa, juga turut serta perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM. Romli menjamin, tim khusus ini tidak akan beririsan dengan fungsi-fungsi yang ada di kepolisian.
Justru, kata dia, tim ini untuk menghindari kecurigaan masyarakat jika ucapan tokoh tertentu yang diduga provokatif langsung ditangani oleh aparat hukum. "Supaya tidak ada kecurigaan terhadap aparat," ujar Romli.
Bagaimana dengan anggapan Tim Hukum Nasional bisa mengancam demokrasi dengan membatasi hak berpendapat orang lain?
Pria kelahiran Cianjur itu membantah. "Enggak ada urusannya, justru dengan ini, hukum dikedepankan," ujar Romli.
Romli justru menilai, mereka yang melempar kritik pedas belum mengetahui mekanisme kerja tim hukum tersebut.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, I Gede Panca Aastawa, yang turut dilibatkan dalam tim tersebut, juga menganggap bahwa pemerintah membutuhkan tim untuk meredam kecenderungan sekelompok orang melakukan tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Dia pun menilai, Tim Hukum Nasional bisa dibentuk sebagai pemberi referensi hukum. "Misalnya, kalau ada ajakan deligitimasi KPU, pemerintah perlu second opinion untuk mengambil tindakan," ucap Gede dalam keterangan tertulisnya.
Terkait peran instusi Polri, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal mengatakan, dalam Tim Hukum Nasional, pihaknya akan banyak mendengar masukan dari para pakar mengenai apakah ucapan seseorang dapat dianggap sebagai tindakan provokatif atau bentuk ujaran kebencian.
"Perspektif hukum para pakar itu akan kami dengar," ucap Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (10/5/2019).
Menurutnya, hasil kajian dari para pakar dalam tim tersebut nantinya akan diserahkan kepada Polri untuk ditentukan apakah ada unsur pelanggaran. Tak hanya sebagai eksekutor, Polri juga punya hak memberi saran dan masukan kepada tim tersebut.
"Kami diminta untuk saling memberikan saran tentang unsur yang terpenuhi ihwal perspektif hukum terhadap satu perbuatan melawan hukum," ucap dia.
Pada intinya, Iqbal mengatakan, pihaknya bekerja profesional dan berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. "Siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum pasti akan diproses, tapi dengan catatan, minimal dua alat bukti terpenuhi," tambah dia.
Berkaitan dengan strategi dan cara kerja Tim Hukum Nasional, Iqbal mengaku belum mengetahui secara pasti. Apalagi, itu masih dalam pembahasan awal.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pro dan Kontra
Pakar hukum Tata Negara Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berharap, pembentukan Tim Hukum Nasional jangan sampai memunculkan isu bahwa pemerintah represif.
"Hukum tidak boleh menjadi alat represif ke oposisi atau bagi tokoh-tokoh masyarakat dalam berekspresi," jelas Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (10/5/2019).
Menurutnya, hukum di negara ini sudah mengatur semua jenis pelanggaran, termasuk mengenai ucapan dan tindakan yang membahayakan negara. Dia beranggapan, pemerintah tidak bisa menjerat secara serampangan pihak manapun yang menyuarakan hal-hal yang diduga provokasi.
"Pada era demokrasi tidak boleh ada tindakan yang bernuansa otoritarianisme, sekalipun dengan menggunakan hukum," kata Fickar.
Senada, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani memandang rencana pembentukan tim hukum nasional sebagai tindakan yang berlebihan, tidak proporsional, cenderung subjektif tanpa parameter yang jelas dan akuntabel.
Lebih jauh, pembentukan tim tersebut berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul, termasuk berpotensi mencederai kebebasan pers.
"Ini seolah menunjukkan negara tidak memercayai instrumen serta mekanisme penegakan hukum yang ada. Dan juga menunjukkan lemahnya koordinasi antar lembaga negara mengingat solusi yang ditawarkan dalam menghadapi dinamika politik dan situasi sosial," ucap Yati dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/5/2019).
Dia memandang, pembentukan tim baru ini justru berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan lembaga penegakan hukum dan pengawasan yang ada.
"Kekhawatiran atau kepanikan pemerintah atau kelompok mana pun atas dinamika dan situasi politik yang muncul pascapemilu tetap harus direspons secara proporsional, terukur dan akuntabel. Di antaranya dengan tetap mengedepankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," katanya.
Menurut Yati, kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi dinamika politik tidak boleh mencederai nilai-nilai demokrasi dan HAM, yang menjamin hak kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul. Ancaman terhadap pers, pengawasan terhadap tokoh dan warga masyarakat lainnya yang tidak jelas parameternya dan akuntabilitasnya hanya akan memundurkan demokrasi.
"Sementara aturan negara yang lainnya seperti UU ITE telah cukup ampuh merenggut kebebasan berekspresi warga negara," tambah dia.
Kekhawatiran juga disampaikan oleh Profesor Bidang Hukum Tata Negara, Refly Harun, Menurutnya kegaduhan dan embusan provokatif yang kini terjadi hanya ramai di media sosial tidak sampai ke realitas. Hal tersebut terbukti dengan amannya penyelenggaraan pemilu pada 17 April lalu.
"Tidak ada korban jiwa yang terkait dengan bentrokan kan? Tapi kalau terkait penyelenggara yang kelelahan itu soal manajemen pemilu yang harusnya kita tinjau kembali ya," kata Refly saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (10/5/2019).
Refly menekankan bahwa tugas negara bukan untuk mengganggu kebebasan sipil dengan mengawasi ucapan dan pemikiran warga negara, namun menjaga dan memelihara situasi menjadi lebih kondusif.
"Kalau memang ada yang melanggar hukum, misalnya, dari kegiatan masyarakat sipil, maka diproses saja secara hukum. Tapi hukum yang fair adil dan demokratis, bukan hukum yang menyasar orang-orang kritis misalnya," tegas Refly.
Menurutnya pemerintah tidak perlu merasa khawatir dengan warga negaranya. Karena tidak ada warga negara Indonesia yang berniat negaranya rusak.
"Kita tidak usah bicara 01 dan 02 sekarang ini, yang kita harus bicarakan adalah bagaimana kita memelihara demokrasi konstitusional kita yang sudah kita nikmati dan saya pikir tinggal mengelolanya," kata Refly.
Advertisement
Cegah Seruan Makar
Menanggapi pro dan kontra soal Tim Hukum Nasional, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, lembaga tersebut tidak akan membatasi kebebasan berdemokrasi di Tanah Air.
"Tidak ada upaya pemerintah untuk menghalangi kebebasan demokrasi, tidak sama sekali," ucap Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Mantan Panglima TNI ini menjelaskan, Tim Hukum Nasional nantinya menjadi instrumen Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dalam melihat, mendengar, dan membaca pelbagai isu yang berkembang di masyarakat. Terutama ucapan tokoh berupa hasutan dan seruan makar terhadap pemerintah yang sah.
"Saya sering mengatakan bahwa sebuah negara yang memiliki demokrasi kuat seperti Indonesia, kalau tidak diimbangi oleh instrumen hukum yang kuat, maka ada kecenderungan anarkis," ujar dia.
Moeldoko mengatakan, tujuan pembentukan Tim Hukum Nasional adalah untuk menyeimbangkan kebebasan berdemokrasi dan penegakkan konstitusi di Indonesia. Sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat, pemerintah memberikan kebebasan kepada rakyatnya namun tetap menjunjung tinggi konstitusi.
"Di Amerika itu boleh berbicara menegakkan kebebasan tetapi lihat Patung Liberty sebelah tangan kirinya itu memegang konstitusi yang maknanya kebebasan tanpa diimbangi oleh konstitusi maka kecenderungan itu akan anarkis," kata Moeldoko.