Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Terkait hal ini, Ketua KPU Arief Budiman menyebut lembaganya gagal mendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) lantaran ada peningkatan anggaran untuk pemilu.
Baca Juga
"Yang jelas ada peningkatan kan jumlah anggaran yang harus dikelola KPU. Bukan jumlah nominal anggarannya saja yang naik, tapi juga jenis kegiatannya kan jadi lebih banyak," kata Arief di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Advertisement
Arief menjelaskan anggaran KPU setiap tahunnya sekitar Rp 1,6 triliun. Namun, selama tiga tahun terakhir ada peningkatan anggaran karena ada penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Menurut dia, anggaran yang paling tinggi digunakan untuk membayar honor ad hoc, seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bahkan, Arief menjelaskan lebih dari 50 persen anggaran tersebut digunakan untuk membayar ad hoc.
"Anggaran paling tinggi itu untuk membayar honor penyelenggara ad hoc, penyelenggara ad hoc itu KPPS. Itu hampir 60 persen anggaran itu digunakan untuk pembayaran ad hoc itu," jelas dia.
Naik Turun
Arief mengakui lembaganya dalam tiga tahun terakhir naik turun mendapat opini dari BPK. Pada 2018, KPU berhasil meraih opini WTP. Namun, di 2016 dan 2017 mendapat WDP.
Dia mengaku akan evaluasi agar tahun depan KPU bisa mendapat opini WTP. Terlebih, Presiden Jokowi meminta agar kementerian dan lembaga yang mendapat opini WTP melakukan pembenahan.
"Saya pikir ini pelajaran penting bagi KPU, ya mudah-mudahan sebagaimana harapan Presiden tidak ada lagi nanti lembaga negara yang wajar dengan pengecualian, semua harus balik ke WTP lagi, apalagi yang disclaimer," jelas dia.
Advertisement