Eks Perumus UU KPK: Revisi Memenuhi Unsur Yuridis, Filosofis dan Sosiologis

KPK juga harusnya melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Sep 2019, 20:25 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2019, 20:25 WIB
Pakar Hukum Pidana Penuhi Undungan Pansus Angket KPK
Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita bersama dengan Dr. M. Sholehuddin memenuhi undangan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (11/7). (Liputan6.com/Johan Tallo)

 

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Perumus Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Romli Atmasasmita menilai revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah melalui pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, dan alasan komparatif. Pertimbangan filosofisnya, perjalanan KPK selama 17 tahun telah menyimpang dari tujuan awal.

Menurut Romli, lembaga antirasuah itu harusnya memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan dengan tujuan pengembalian kerugian negara secara maksimal. KPK juga harusnya melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.

"Namun hal tersebut sudah tak terlaksana, khususnya sejak KPK jilid III," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (9/9/2019).

Romli memberikan contoh soal menghilangnya peran strategis KPK dewasa ini. Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari tugas lembaga antikorupsi soal masalah kordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung), Polisi dan Kementerian terkait.

Pasalnya, kata dia, untuk saat ini, pihak KPK terkadang tidak melakukan kordinasi dan supervisi apabila melakukan penindakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal, tugas utama dari KPK adalah melakuan kordinasi selain penindakan.

"Kenapa perlu koordinasi karena KPK dianggap superbody lembaga independen. Karena kewenangan lebih dari jaksa, polisi. Lebihnya KPK bisa kordinasi supervisi kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah bisa ambil alih. Sebaliknya polisi jaksa tak bisa ambil dari KPK," ujar Romli.

Selain itu, dia juga mengkritisi soal kewenangan penyadapan KPK. Menurutnya, KPK boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Berbeda dengan pihak dari Kejagung dan Polisi. Lalu, soal penanganan perkara yang dibawah Rp 1 miliar.

Jika ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, seharusnya apabila menemukan adanya indikasi praktik korupsi, KPK harus mengutamakan kordinasi dengan lembaga terkait.

"KPK kordinasi sama menterinya datangin, kasih tahu berhenti itu kordinasi. Lalu supervisi diawasi kalau bandel baru tangkep sudah jangan banyak cerita. Karena sudah dikasih tahu bandel," tutur Romli.

Apabila memang masih ditemukan permainan setelah terjalinnya kordinasi itu, baru KPK melakukan penindakan. Mengingat, tugas utama KPK ada kordinasi, supervisi baru penindakan.

"Baru penyidikan baru tuntutan ke pengadilan itu maksudnya tugas KPK korsup dan penyidikan jangan kebalik," ujar Romli.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pertimbangan Sosiologis

Sementara dari pertimbangan sosiologis, Romli menyebut dukungan masyarakat terhadap KPK tetap stabil walaupun tidak pada semua level birokrasi dan lapisan masyarakat.

"Adanya pro dan kontra revisi UU KPK membuktikan bahwa secara sosiologis KPK tidak lagi memperoleh legitimasi yang kokoh secara total dari seluruh masyarakat. Dukungan masyarakat berbeda ketika pembentukan awal KPK," kata Romli.

Dia juga menyebut keberadaan Wadah Pegawai KPK telah menyimpang dari tujuan pembentukan berdasarkan PP Nomor 65 tahun 2005 tentang sistem manajemen sumber daya manusia. PP tersebut memberikan kewenangan kepada Wadah Pegawai untuk menyampaikan aspirasi kepada pimpinan KPK melalui Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.

"Dalam kenyataan, Wadah Pegawai KPK telah berfungsi sebagai pressure group terhadap kebijakan pimpinan untuk memaksakan tuntutannya," tukas Romli.

Selain itu, keterangan calon pimpinan KPK petahana Alexander Marwata saat uji publik bahwa penyidik KPK menolak memberikan berita acara penyidikan kepada yang bersangkutan juga menjadi sorotan. Romli menilai hal itu menunjukkan telah terjadi pelanggaran disiplin di kalangan pegawai dan penyidik KPK.

"Tindakan pelanggaran disiplin mencerminkan pimpinan KPK tidak memiliki wibawa di hadapan pegawainya, dan keadaan tersebut membuktikan sistem manajemen kepegawaian dan disiplin kerja yang tidak profesional dan diragukan akuntabilitasnya, kata Romli.

Pertimbangan Aspek Yuridis

Lalu dari aspek yuridis, Romli menuturkan dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi UU KPK. Dalam putusan itu disebutkan, KPK adalah lembaga independen cabang kekuasaan eksekutif yang menangani permasalahan korupsi.

"Kalau itu putusan MK, maka dampaknya UU KPK direvisi karena UU KPK tak menyebut lembaga independen yang tugasnya lidik sidik dan tuntutan. Dengam putusan MK itu, UU KPK harus diperbaiki secara struktural dan organisatoris," ujar Romli.

Dari pertimbangan yuridis itu, Romli juga menyebut usul revisi UU KPK telah memenuhi persyaratan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Romli juga menyinggung pelanggaran prosedur hukum acara serta prosedur standar KPK dalam penyelidikan dan penyidikan. Ini khususnya dalam hal penetapan tersangka, perampasan aset terdakwa, dan pelaksanaan penyadapan yang dilanjutkan dengan penangkapan.

Ia mengutip laporan BPK RI yang menyatakan akuntabilitas proses penyadapan oleh KPK belum sepenuhnya dipenuhi karena belum didukung oleh SDM yang kompeten dan belum adanya standard operating procedure (sop) eksaminasi penyadapan.

Laporan Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPKIP) tahun 2016 menemukan data bahwa selama tahun 2009 s/d tahun 2014, KPK tidak dapat melaksanakan tugas pengembalian keuangan negara yang maksimal, yaitu hanya sebesar Rp 722.697.955.008. Angka itu berbanding terbalik dengan kepolisian sebesar Rp 3.135.124.232,282 dan Kejaksaan sebesar Rp 6.637.161.971.801.

Peringkat IPK Indonesia

Selain itu, laporan Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan bahwa peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dibandingkan negara lain khususnya di ASEAN tidak pernah berhasil menempati 50 persen negara terbersih di dunia. Laporan TII menunjukkan bahwa keberadaan KPK selama 17 tahun tidak berhasil meningkatkan Indonesia sebagai negara yang patut dibanggakan.

Romli pun berkesimpulan KPK tidak lagi merupakan lembaga independen yang dapat bekerja sendiri dalam pemberantasan korupsi.

"Penolakan sekelompok masyarakat terhadap perubahan UU Nmor 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak dilengkapi dengan data dan fakta hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan karena hanya mengandalkan opini dan prasangka buruk publik semata-mata," sambung dia.

Dia menyarankan setiap aspirasi masyarakat terhadap perubahan UU KPK agar disampaikan di dalam rapat dengan DPR.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya