Gaya Soeharto Zaman Orde Baru Pangkas Partai Politik

Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah naungan Golkar, ini merupakan cara Presiden kedua RI Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Okt 2019, 07:30 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2019, 07:30 WIB
Presiden kedua RI Soeharto memangkas partai politik pada era Orde Baru
Presiden kedua RI Soeharto memangkas partai politik pada era Orde Baru. (Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pada zaman Orde Baru, hanya ada tiga partai politik yang diperbolehkan ikut Pemilihan Umum atau Pemilu kala itu.

Ketiga partai Orde Baru itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah naungan Golkar, ini merupakan cara Presiden kedua RI Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.

Pemilu pertama era Orde Baru digelar pada 1971. Ini adalah pemilu kedua di Indonesia. Satu-satunya Pemilu sebelumnya yang pernah digelar adalah 1955 pada era Soekarno.

Dalam Pemilu 1971, ada 360 kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber Golongan Karya. Jumlah ini ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau TNI. Jumlah total kursi di DPR menjadi 460.

Golkar tak masuk ke dalam sembilan parpol itu. Dia merupakan gabungan dari sekitar 200 organisasi penyokong Orde Baru yang kemudian menjadi satu bendera Golongan Karya.

Golkar tercatat sebagai pemenang dengan 227 kursi di DPR. NU mendapat 58 kursi, Parmusi 24 kursi, dan PNI mendapat 20 kursi. Sisanya direbut Parkindo, Murba, dan Partai Katolik.

Berikut kisah partai politik era Orde Baru Presiden kedua RI Soeharto:

 

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Diperas Jadi Tiga

Presiden kedua RI Soeharto memangkas partai politik pada era Orde Baru
Presiden kedua RI Soeharto memangkas partai politik pada era Orde Baru. (Merdeka.com)

Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu terlalu banyak partai di Indonesia. Dia berkaca pada kegagalan konstituante 1955-1959, di mana, seluruh partai politik cuma berdebat dan ngotot sehingga tak ada keputusan yang bisa diambil.

Soeharto memanggil para ketua parpol dan menjelaskan pemikirannya. Menurutnya, parpol harus menyeimbangkan antara material dan spiritual. Kira-kira nasionalis religius atau religius nasionalis, kalau diistilahkan parpol zaman sekarang.

"Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa dipaksa," kata Soeharto dalam biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.

Partai Katolik, PNI, dan IPKI mengerucut menjadi satu di PDI. Sementara parpol Islam yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti mengelompok jadi satu.

"Saya tekankan jangan menonjolkan agamanya. Karena itu namanya pun tidaklah menyebut-nyebut Islam. melainkan Partai Persatuan Pembangunan dengan program spiritual-materil," kata Soeharto.

Sementara organisasi di bawah Golkar tumbuh sebagai satu kekuatan sendiri. Maka di DPR kemudian terbentuklah tiga fraksi, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya.

 

Partai Nurut Soeharto

6 Tokoh yang Berzodiak Gemini
Soeharto, lahir 8 Juni 1921, sosok presiden yang mendapat julukan bapak pembangunan itu tak lepas dari kontroversi. Dimasa kejayaannya Soeharto begitu disegani di ASEAN (Istimewa)

Tak ada penolakan dari partai-partai politik itu. Menurut Soeharto tidak ada pimpinan parpol yang ngotot-ngototan soal konsep tadi.

Menurutnya kalau cukup tiga, tak perlu lagi sembilan partai. Tujuannya hanya satu yaitu Pancasila dan UUD 1945. Soeharto mengibaratkan seperti mobil berkendara. Tidak perlu balapan dan kebut-kebutan kalau satu tujuan. Parpol atau kendaraan

"Mari kita perkecil saja jumlah kendaraan itu. Tidak perlu terlalu banyak begitu. tetapi tidak perlu pula hanya satu kendaraan, dua atau tiga kendaraan, baiklah," kata Soeharto.

 

Tentara Tetap Jadi Kekuatan Politik

20 Tahun Reformasi
Mahasiswa mencopot foto Presiden Soeharto di gedung parlemen Senayan, Jakarta pada 21 Mei 1998. Soeharto yang telah telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun mundur setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya. KEMAL JUFRI/AFP)

Dalam rapat dengan parpol tersebut juga dibahas soal politik tentara. IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik yang bertanya soal peran ABRI dalam politik dan Pemilu.

"ABRI jadi polisi militernya saja. Menggunakan kendaraannya sendiri, sambil mengatur lalu lintas," balas Soeharto sambil tertawa.

Artinya, ABRI tetap menjadi fraksi sendiri dalam DPR. ABRI tak perlu masuk ke Golkar atau salah satu parpol tersebut.

Konsep Pemilu dengan tiga Partai dan Fraksi ABRI ini bertahan selama lima kali Pemilu selama Orde Baru. Mulai dari Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Golkar yang selalu mendapat dukungan dari aparatur sipil dan militer selalu menang telak di setiap Pemilu.

Peta politik berubah setelah reformasi dan Soeharto tumbang. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik. PDI Perjuangan memenangkan Pemilu untuk pertama kali.

 

Reporter : Ramadhian Fadillah

Sumber   : Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya