Liputan6.com, Jakarta - Menjelang bulan Ramadan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sejumlah komoditas penting seperti gula, daging, dan gandum mengalami fluktuasi pada awal 2025.
Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia A. Widyasanti, menyampaikan pada Januari 2025, total impor gula, baik untuk konsumsi maupun industri tercatat mencapai 308,8 ribu ton dengan nilai USD162,8 juta.
Advertisement
Baca Juga
Jika dibandingkan dengan Desember 2024, impor gula ini mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 42,39%. Ia menilai penurunan ini dapat menjadi pertanda adanya perubahan kebutuhan atau kebijakan yang mempengaruhi pasokan gula di pasar domestik menjelang Ramadan.
Advertisement
"Ini secara bulanan, kalau kita bandingkan dengan Desember 2024, nilainya turun sebesar 42,39%," kata Amalia dalam konferensi pers Ekspor-Impor Janauri 2025, Senin (17/2/2025).
Sementara itu, impor daging jenis lembu juga mengalami penurunan pada Januari 2025. Impor daging tercatat sebesar 18,2 ribu ton dengan nilai USD61,2 juta, turun sebesar 39,62% dibandingkan dengan bulan Desember 2024.
Meskipun terjadi penurunan, impor daging tetap menjadi salah satu komoditas penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di bulan Ramadan.
"Untuk impor daging jenis lembu, pada Januari 2025, ini sebesar 18,2 ribu ton atau sekitar USD61,2 juta, di mana nilainya turun juga 39,62%," ujar dia.
Impor Gandum Mengalami Kenaikan Nilai
Berbeda dengan gula dan daging, impor gandum tercatat mengalami sedikit kenaikan dalam nilai pada Januari 2025. Impor gandum dan meslin tercatat mencapai 728 ribu ton dengan nilai USD208,4 juta, mengalami kenaikan sebesar 8,29%.
Namun, secara volume, impor gandum ini mengalami penurunan sebesar 34,77% dibandingkan bulan sebelumnya. Indonesia, yang memang tidak memproduksi gandum, sangat bergantung pada impor komoditas ini untuk kebutuhan industri pangan.
"Karena memang Indonesia tidak memproduksi gandum, tidak menghasilkan gandum, ini untuk kategori gandum dan meslin, pada Januari 2025, impornya adalah sebesar 728 ribu ton atau nilainya sebesar USD208,4 juta, yang naik nilainya sekitar 8,29% dan secara volume ini turun 34,77%," jelasnya.
Â
Impor Kurma
Untuk impor Kurma pada Januari 2025 mencapai 16,43 ribu ton dengan nilai total mencapai USD20,68 juta. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan impor kurma yang signifikan menjelang bulan Ramadan dan Lebaran, yang biasanya diikuti oleh permintaan tinggi terhadap komoditas tersebut.
"Pada Januari 2025, impor kurma tercatat sebesar 16,43 ribu ton atau senilai USD20,68 juta," ujar Amalia.
BPS mencatat, Mesir menjadi negara asal terbesar untuk impor kurma Indonesia dengan kontribusi mencapai 10,15 ribu ton, atau sekitar 61,8% dari total impor kurma. Setelah Mesir, Arab Saudi tercatat sebagai negara kedua terbesar pengirim kurma ke Indonesia, dengan jumlah impor sebesar 1,88 ribu ton atau sekitar 11,42% dari total impor.
Selain itu, Uni Emirat Arab (UEA) menempati posisi ketiga sebagai negara asal impor kurma terbesar, dengan volume 1,76 ribu ton yang setara dengan 10,71% dari total impor Indonesia.
Dia menilai, peningkatan impor kurma ini mengindikasikan adanya persiapan pasar yang semakin intensif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, terutama menjelang Ramadan. "Dapat dilihat tren impor kurma yang dalam beberapa bulan terakhir ini sudah mulai terlihat persiapannya menjelang periode Ramadan dan Lebaran," pungkasnya.
Advertisement
Lonjakan Harga Pangan Akibat Cuaca Ekstrem Diperkirakan Berlanjut pada 2025
Sebelumnya, analis rantai pasokan memperkirakan cuaca ekstrem akan menyebabkan fluktuasi harga pangan yang tidak stabil sepanjang tahun 2025. Hal ini terjadi setelah harga kakao dan kopi meningkat lebih dari dua kali lipat dalam setahun terakhir.
Penelitian oleh konsultan Inverto menemukan kenaikan tajam harga sejumlah komoditas pangan pada tahun hingga Januari yang berkorelasi dengan cuaca yang tidak terduga, mengonfirmasi peringatan bahwa kerusakan iklim dapat menyebabkan kekurangan pangan.
Beberapa otoritas menyatakan tahun 2024 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat dan tren menuju suhu yang lebih tinggi diyakini berlanjut hingga tahun 2025. Inverto mengatakan tren jangka panjang menuju peristiwa cuaca yang lebih ekstrem akan terus menghantam hasil panen di berbagai wilayah, yang menyebabkan lonjakan harga.
Menurut penelitian tersebut, kenaikan harga tertinggi terjadi pada kakao dan kopi, masing-masing naik 163 persen dan 103 persen karena kombinasi curah hujan dan suhu yang lebih tinggi dari rata-rata di daerah penghasil.
Harga minyak bunga matahari meningkat 56 persen setelah kekeringan menyebabkan hasil panen yang buruk di Bulgaria dan Ukraina, yang juga terpengaruh oleh invasi Rusia. Komoditas pangan lain yang mengalami lonjakan harga termasuk jus jeruk dan mentega, yang naik lebih dari sepertiga, serta daging sapi yang naik lebih dari seperempat.
"Produsen pangan dan pengecer harus mendiversifikasi rantai pasokan dan strategi pengadaan mereka untuk mengurangi ketergantungan berlebihan pada satu wilayah yang terdampak gagal panen," kata Katharina Erfort dari Inverto, seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (16/2/2025).
Contoh Nyata
Pada Desember, pemerintah Inggris mengungkapkan bahwa kerusakan iklim dan inflasi pangan terkait telah menyebabkan meningkatnya jumlah rumah tangga yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi.
Ilmuwan iklim mengatakan bahwa temuan Inverto sesuai dengan prediksi mereka.
"Peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia akan terus meningkat dalam intensitas dan frekuensinya seiring dengan peningkatan suhu global," kata ahli keamanan pangan di lembaga meteorologi nasional Inggris (Met Office) dan Universitas Bristol Pete Falloon.
"Tanaman sering kali rentan terhadap cuaca ekstrem dan kita dapat memprediksi adanya gangguan berkelanjutan pada produksi pertanian global dan rantai pasokan. Hal ini pada akhirnya akan memengaruhi masalah ketahanan pangan."
Max Kotz, dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, menuturkan data menunjukkan bahwa ekstremitas panas sudah memengaruhi harga pangan secara langsung.
"Tahun lalu menunjukkan banyak contoh fenomena ini terjadi nyata, seperti panas ekstrem di Asia Timur yang menyebabkan lonjakan harga beras di Jepang dan harga sayuran di China," ujarnya.
Kotz juga mengatakan bahwa pasar komoditas sangat terpengaruh oleh panas ekstrem dan kekeringan.
"Di negara-negara penghasil kakao di Afrika Barat dan daerah penghasil kopi di Brasil dan Vietnam, kondisi ini menyebabkan lonjakan harga yang signifikan. Hingga emisi gas rumah kaca benar-benar dikurangi menjadi nol bersih, panas dan kekeringan ekstrem akan terus meningkat di seluruh dunia, menyebabkan masalah yang lebih besar bagi pertanian dan harga pangan daripada yang kita hadapi saat ini," imbuhnya.
Â
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)