Liputan6.com, Jakarta - Jajaran menteri dalam Kabinet Indonesia Maju milik Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin telah resmi dibentuk dan dilantik pada Rabu, 23 Oktober 2019.
Ada 34 menteri dan empat pejabat setingkat menteri yang dilantik kala itu. Tak hanya itu, pada Jumat, 25 Oktober 2019, Presiden Jokowi kembali melantik 12 wakil menteri.
Baca Juga
Dengan sudah rampungnya Kabinet Indonesia maju di periode kedua kepemimpinan Jokowi, ragam tanggapan dari masyarakat pun bermunculan.
Advertisement
Sebagian masyarakat menilai, kabinet baru bentukan Jokowi sudah ideal. Tetapi ada juga yang menilai kabinet kurang ideal.
Berikut 4 hal tentang jajaran menteri, pejabat setingkat menteri, dan wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju:
Â
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kualitas Menteri
Kualitas para menteri yang baru saja dilantik dinilai peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara justru mengalami penurunan dibanding periode pertama Jokowi.
Menurutnya, penurunan kualitas terjadi karena pemilihan menteri yang tidak sesuai kapasitas pada pos kementerian strategis.
Hal itu, kata Bhima, disebabkan faktor politis mendominasi pemilihan menteri dibanding faktor profesionalitas menteri.
"Saya kasih catatan merah ke Menko Perekonomian, Pak Airlangga. Idealnya memang bukan politisi yang menduduki jabatan itu karena pos menko sangat strategis. Lagipula kinerja Pak Airlangga di Kementerian Perindustrian bisa dibilang jauh dari harapan," ujar Bhima.
Dia memberi contoh deindustrialisasi prematur terus berlanjut, dan Airlangga gagal menahan laju deindustrialisasi.
Pada 2015 kuartal II, share manufaktur terhadap PDB sebesar 20,8 persen kemudian di 2019 kuartal yang sama turun ke 19,5 persen. Laju pertumbuhan manufaktur pun 3,54 persen jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yakni 5,05 persen.
"Saya kira pak Darmin lebih paham kebijakan makro ekonomi dibandingkan Airlangga," ucapnya.
Dia menilai, usai pengumuman kabinet tidak ada Jokowi effect, apalagi Sri Mulyani Indrawati (SMI) effect. Setelah pengumuman kabinet pun dana asing keluar Rp 230 miliar, artinya ada distrust atau ketidakpercayaan pasar.
"Banyak yang kasihan kenapa SMI mau mengemban tugas yang amat berat. Nanti soal CAD ke Bu SMI, nanti soal neraca dagang dan rupiah ke Bu SMI. Padahal fungsi utamanya kan menjaga APBN agar efektif," tandas Bhima.
Â
Advertisement
Terlalu Banyak Politikus
Bhima juga menilai, komposisi kabinet jauh dari ekspektasi pelaku usaha dan investor karena terlalu banyak politisi yang menduduki jabatan strategis bidang ekonomi. Padahal yang dibutuhkan adalah profesional sehingga antisipasi resesi global bisa lebih optimal.
"Pak Jokowi tersandera koalisi gemuk," kata Bhima.
Dampaknya, lanjut dia, menyebabkan kredibilitas tim ekonomi otomatis menurun. Sebab yang diharapkan untuk menangani persoalan perekonomian nantinya hanya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Â
Tak Fokus Jelang 2024
Menurut Bhima, selain kredibilitas, biasanya menteri titipan partai politik juga berisiko terpecah fokusnya menjelang Pemilu 2024.
"Kemungkinan menteri titipan parpol, bekerja efektif hanya sampai tahun 2022, setelah itu memikirkan pemenangan partainya di pemilu berikutnya," ucap Bhima.
Karena itu, menurutnya, investasi yang mau masuk akhirnya berpikir ulang karena ada masalah kredibilitas dan kebijakan yang dibuat nantinya lebih ditumpangi kepentingan politis.
Â
Advertisement
Tantangan Global ke Depan
Sementara itu, Dosen Program Studi Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Agus Heruarto Hadna mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat mengkhawatirkan.
Karenanya, kata Agus, langkah-langkah antisipasi mutlak diperlukan agar mampu menghadapi berbagai kendala yang menghadang di depan.
"Aspek pertama adalah ekonomi. Luar biasa tantangan kita. Di masa depan kita tidak lagi mengandalkan sumber daya alam (SDA), sebab semua SDA akan berkurang. Jadi mau tidak mau keunggulan komparatif yang menjadi keunggulan kita dan harus ditingkatkan, adalah keunggulan kompetitif," ucap Agus.
Dia menjelaskan keunggulan kompetitif yang dimaksud adalah penguasaan teknologi tinggi melalui digitalisasi dan industri digital di Indonesia menjadi pasar besar yang menjadi potensi melimpah yang harus dioptimalkan. Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang berpeluang terhadap pasar digital.
"Teknologi digital bersifat populis sehingga sangat mungkin untuk dioptimalkan. Sementara itu, selama periode pertama Jokowi hanya menghasilkan 1 teknologi Gesit atau motor listrik. Padahal anggarannya mencapai sekitar Rp26 triliun. Jadi penguasaan teknologi di Indonesia, bermasalah, dan riset belum menjadi dasar bagi pembangunan Indonesia," tuturnya.
Aspek kedua, kata dia, adalah perekonomian dunia ke depan yang sangat tidak pasti atau uncertainty. Dengan demikian, kondisi ini harus direspons segera, utamanya melalui digitalisasi untuk menopang ekonomi Indonesia.
Menurutnya, tantangan ke depan adalah soal ketidakpastian dalam kancah globalisasi, menjadi penting untuk diperhatikan serius.
"Pemerintah harus bisa mengembangkan kebijakan perekonomian yang inovatif dengan berbagai terobosan atau breakthrough. Maksud saya, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak boleh dipandang sebagai business as usual, harus ada terobosan besar," pungkas Agus.
Â
Reporter : Mardani, Fellyanda Suci Agiesta
Sumber : Merdeka