Pemerhati Anak Anggap Pembelajaran Toleransi Sejak Dini Alami Kemunduran

Dia mengaku, pembelajaran toleransi pada zaman saat dia kecil tak ada batasan dalam bermain.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 10 Nov 2019, 20:36 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2019, 20:36 WIB
Diskusi soal Radikalisme
Pemerhati sekaligus pegiat perlindungan anak, Roostien Ilyas dalam diskusi 'Kupas Tuntas Gerakan Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Indonesia' di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (10/11/2019).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerhati sekaligus pegiat perlindungan anak, Roostien Ilyas menyatakan pentingnya pencegahan radikalisme sejak dini. Menurut dia, pembelajaran intoleransi di Tanah Air mengalami kemunduran.

Contoh kecilnya terjadi dalam keseharian pelajar Taman Kanak-kanak (TK) sederajat. Dia mengaku heran, ada anak yang belum masuk ke Sekolah Dasar (SD) yang membatasi pertemanan karena berbeda agama maupun jenis kelamin.

"Ini di Jakarta saja, mereka (anak-anak) sudah diajarkan bahwa aku muslim, kamu enggak muslim, sampai anak kecil-kecil itu mau keluar kelas saja dia mengintip, oh enggak mau ah, ada cowok, kan bukan muhrim, kayak gitu," ujar dia dalam diskusi 'Kupas Tuntas Gerakan Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Indonesia' di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (10/11/2019).

"Itu bayangin saja, anak paud (pendidikan anak usia dini), saya sampai, ya, ampun kok sampai gitu," dia menambahkan.

Menurut dia, pembelajaran toleransi di sekolah untuk anak usia dini sudah sangat mengalami kemunduran. Dia mengaku, pembelajaran toleransi pada zaman saat dia kecil tak ada batasan seorang anak kecil untuk bermain.

"Belum lagi anaknya nanya ke Ibu-nya, Bu boleh enggak saya main sama dia, tapi dia itu Kristen, dia China," kata Roostien.

Dia meminta agar di sekolah untuk anak usia dini maupun Sekolah Dasar (SD) diajarkan toleransi agar tertanam jiwa menyayangi antar sesama.

"Kalau di rumah mungkin diajarkan dia intoleransi, kita enggak tahu orang tua masing-masing, tapi kalau di sekolah, dia ajarkan toleransi itu akan terbawa ke rumah juga. Kalau dua-duanya (rumah dan sekolah) enggak (mengajarkan) toleransi, repot kita," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Penyebab Radikalisme

Sementara menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola, radikalisme terjadi karena kurangnya pehamanan keagamaan. Selain itu, ia juga meminta agar sesama bangsa Indonesia memperbaiki hubungan sosial di masyarakat.

"Yang paling dasar bagaimana kita membenahi hubungan-hubungan ketetanggaan kita, hubungan di tempat kerjaan kita, hubungan antar kelompok di antar sekolah-sekolah itu, membenahi di organisasi-organisasi supaya orang bisa menerima yang berbeda," kata Tamrin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya