Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami perintah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo kepada Sekjen KKP Antam Novambar. Perintah tersebut terkait pembuatan surat perintah tertulis penarikan jaminan bank (bank garansi) dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
Adanya perintah ini diketahui dari penyitaan uang tunai sebesar Rp 52,3 miliar yang dilakukan tim penyidik. Duit tersebut diduga berasal dari para eksportir benur yang telah mendapatkan izin ekspor dari KKP.
"Tersangka EP (Edhy) dikonfirmasi terkait dengan perintah dan kebijakan untuk dibuatkannya bank garansi bagi para eksportir yang mendapatkan izin ekspor benih bening lobster di KKP tahun 2020," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (17/3/2021).
Advertisement
Edhy sendiri diperiksa pada, Selasa, 16 Maret 2021 kemarin. Sementara pada hari ini, tim penyidik menjadwalkan memeriksa Sekjen KKP Antam Novambar dan Irjen KKP Muhammad Yusuf. Yusuf diketahui sudah memenuhi panggilan penyidik KPK.
Pemeriksaan Antam Novambar dan Yusuf dilakukan untuk melengkapi berkas penyidikan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan tersangka lainnya.
Ali belum merinci lebih dalam soal pemanggilan Antam Novambar. Namun kuat dugaan Antam akan diselisik soal penyitaan uang Rp 52,3 miliar dalam kasus ini.
Ali mengatakan, Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekjen KKP Antam Novambar agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan Bank (Bank Garansi) dari para eksportir kepada Kepala BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan).
Selanjutnya Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut. Padahal, menurut Ali, aturan penyerahan jaminan bank tersebut tak pernah ada.
"Aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih bening lobster tersebut diduga tidak pernah ada," kata Ali.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Jerat 7 Tersangka
Dalam kasus ini KPK menjerat Edhy Prabowo dan enam tersangka lainnya. Mereka adalah Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP, Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo, Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP, Amiril Mukminin (AM) selaku sespri menteri, dan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP).
Edhy diduga telah menerima sejumlah uang dari Suharjito, chairman holding company PT Dua Putera Perkasa (DPP). Perusahaan Suharjito telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
Untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp 1.800/ekor. Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyita Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp 750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp 3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima USD 100 ribu yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp 9,8 miliar.
Advertisement