Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tes wawasan kebangsaan sebagai alat untuk mengusir para pegawai yang memiliki pandangan politik berbeda. Cara seperti ini, justru mundur dari orde baru.
"Itu sama saja mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990, ketika setiap pegawai negeri harus melalui “litsus atau penelitian khusus” atau “bersih lingkungan” yang diskriminatif," ucap Usman, Kamis (6/5/2021).
Baca Juga
Usman menjelaskan, mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadi merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan.
Advertisement
Hal ini dianggap melanggar hak sipil dan merupakan stigma kelompok yang sewenang-wenang.
"Menurut standar hak asasi manusia international maupun hukum di Indonesia, pekerja seharusnya dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya, bukan ‘kemurnian’ ideologisnya," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Langkah Mundur Penghormatan HAM
Di masa lalu, imbuh Usman, Litsus seperti ini menimbulkan masalah ideologis atas pendidikan dan menjauhkan banyak orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai negeri akibat kriteria yang tidak jelas dan diterapkan secara tidak merata.
Usman menambahkan, screening ideologis yang diduga dilakukan melalui Tes Wawasan Kebangsaan seperti ini merupakan langkah mundur dalam penghormatan HAM di Indonesia, dan sekaligus mengingatkan kembai kepada represi Orde Baru, saat ada Penelitian Khusus (Litsus) untuk mengucilkan orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia.
Advertisement